Aliran Kriticisme Dalam Filsafat Pendidikan
BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Filsafat pendidikan menjadi sangat penting,
sebab menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah aktivitas pemikiran sebagai hasil pengkajian secara teratur
dan mendalam yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses
pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan dan menerangkan nilai-nilai dan
tujuan yang akan dicapai.
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai
cabang-cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang
terus berkembang secara dinamis, sedangkan filsafat pendidikan sesuai dengan
hakekatnya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan
pelaksanaan pendidikan. Kedua bidang pengetahuan ini harus menjadi pengetahuan
dasar (know ledge basic) bagi setiap pelaksana pendidikan.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian
Filsafat Pendidikan
Filsafat
pendidikan pada umumnya dan filsafat Islam pada khususnya adalah bagian dari
ilmu filsafat, maka dalam mempelajari filsafat pendidikan perlu memahami
terlebih dahulu tentang pengertian filsafat terutama dengan hubungannya dengan
masalah pendidikan khususnya pendidikan Islam.[1]
Kata
filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata
philoshophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang
berarti cinta, senang, suka dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah dan
kebijaksanaan. Hasan Shadily mengatakan bahwa filsafat menurut arti katanya
adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada
hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang
mencintai akan kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Berbagai
pengertian (definisi) tentang Filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan oleh
para ahli, Al-Syaibany mengartikan bahwa filsafat pendidikan ialah aktifitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa
filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang
diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman
kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan. Sementara itu,
filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah tersebut menggambarkan satu aspek
dari aspek-aspek pelaksana falsafah umum dan menitik beratkan kepada
pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat
umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
B.
Aliran Kriticisme Dalam Filsafat Pendidikan
Aliran ini muncul pada abad ke-18
suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan
antara rasionalisme dengan emperisme. Zaman baru ini disebut zaman pencerahan
(aufklarung) zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan
belum dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman
Immanuel Kant (1724-1804) mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah
pengetahuan akal.[2]
Sebagai latar belakangnya, manusia
melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan
sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya
filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat
berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.
Pada rasionalimse dan emperisme
ternyata amat jelas pertentangan antara budi dan pengalaman, manakah yang
sebenarnya sumber pengetahuan, makanah pengetahuan yang benar? Seorang ahli
pikir Jerman Immanuel Kant mencoba mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada
umumnya, Kant mengikuti nasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh
emperisme (hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena
ia mengetahui bahwa emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan
dapat mencapai kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik)
pengetahuan budi serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini
mungkin. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme.[3]
Akhirnya, Kant mengakui peranan budi
dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua
pengetahuan bersumber pada budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul
dari benda (emperisme) budi metode berpikirnya disebut metode kritik.
BAB III
P E N U T U P.
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis
kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A. Kesimpulan
1.
Filsafat pendidikan pada
umumnya dan filsafat Islam pada khususnya adalah bagian dari ilmu filsafat,
maka dalam mempelajari filsafat pendidikan perlu memahami terlebih dahulu
tentang pengertian filsafat terutama dengan hubungannya dengan masalah
pendidikan khususnya pendidikan Islam
2. Aliran kriticisme
muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme.
B.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa
STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu filsafat.
2.
Disarankan kepada pihak STIT Almuslim agar dapat menyediakan staf
pengajar yang ahli dibidang filsafat, karena dengan adanya staf pengajar yang
ahli dapat meningkatkan kualitas para mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Wijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hoesin, Oemar
Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1961.
Jurnal
Filsafat, Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Langgulung,
Hasan, Asas Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Purtaka A1 Husna, cet. II,
1992.
Louis O. Kattsoff,
Pengantar Filsafat, Alih bahasa, Soerjono Soemargono, Yoryakarta: Tiara
Wacana, 1986.
[1] Hasan Langgulung, Asas Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Purtaka
A1 Husna, cet. II, 1992),hal 28.
[2] Harun Hadi Wijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hal. 27.
[3] Harun Hadi Wijono, Sari
Sejarah .......................hal. 36