BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kala umat manusia dalam kegelapan
dn kehilangan pegangan hidupnya, lahirlah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muthalib. Ketika menginjak usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW lebih banyak
bertahannuts, yang pada malam 17 Ramadhan / 06 Agustus 610 M di Gua Hiro,
datanglah malaikat Jibril dengan membawa wahyu pertama, yaitu surat Al-‘Alaq
ayat 1-5. dengan wahyu tersebut beliau telah menjadi rasul pilihan Allah yang
bertugas menyampaikan perintah Allah kepada segenap umat manusia. Semasa
kerasulannya, beliau banyak membawa pengikut kepada ajaran Allah. Hingga
peradaban Islam pun tertanam pada hati segenap umatnya dan dalam lingkungannya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,
kekhalifahan dipegang oleh Khulafaur- Rasyidin. Banyak upaya yang dilakukan
pada masa-masa tersebut hingga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Dengan meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka bentuk pemerintahan
kekhalifahan telah berakhir. Berubahnya bentuk pemerintahan dari khalifah ke dinasti
(kerajaan) tidak membuat ajaran Islam berubah pula, melainkan peradabannya
mengalami perkembangan yang pesat. Kemudian dilanjutkan dengan bentuk
pemerintahan dinasti (kerajaan), yaitu dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani
Abbasiyah. Dalam pembahasan ini penulis akan membahas tentang “Pembentukan
Bani Umayyah Serta Kemajuan dan Kemundurannya”
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah
didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan
berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah
seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam
pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil
alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib.
Tepatnya Setelah Husein
putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala . Kekuasaan dan
kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan
sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi
Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim
(Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah
(Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti
Umayyah.
Umayyah adalah pedagang
yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai
kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu
Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang
Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan
kekuasaan. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan
untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa
masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya
Nabi.[1]
Hal ini berlanjut pada
masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin
tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi
jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan
daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan
kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman,
maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak
yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah
kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat.
Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang
panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4
tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah
sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan.
Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh,
yaitu sepanjang masa kekhilafahannya.[2]
Kekuasaan Muawiyah pada
wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier
politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan
yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya
di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan[3]
Pada realitasnya banyak
sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya
dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang.
Dia juga dituduh
sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah
yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena
banyak kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan
penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam
kekuasaannya.Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina
Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah
Afrika Utara sampai Spanyol. Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam
pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun
ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir
ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu
dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta
angkatan bersenjatanya yang kuat.[4]
B. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah
mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin
dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun factor keberhasilan
tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan
dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu
berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan
penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai
negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang
dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm
seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil
keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah
mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti
ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah”dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada
al Qur’an (2:30).
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Atas dasar ini Dinasti
menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah,
siapa yang menentangnya adalah kafir. Dengan kata lain pemerintahan Dinasti
Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata
karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya,
sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama
Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan
demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi
dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang
empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya
Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan
dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaanBani
Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan
tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana
dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah
Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja
menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang
bersifat kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak mentaati
isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik
tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah
akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai. Dinasti
Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, denganempat belas
Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yangdicapai,
lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.
Dimulai oleh kepemimpinan
Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad.
Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M).
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
14.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi
Daulah Bani Umayyah
1. Sistem
Sosial
Dalam lapangan sosial,
Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab)
dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju
seperti Persia ,
Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi
budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa
lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam.
Hubungan tersebut kemudian
melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan
(arsitektur) dan ilmu pengetahuan. Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan
Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705- 715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah
ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan
pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik
dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah yang berlalu
lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga
masa kini di Damaskus.
Disamping itu ia
menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin,
dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya. Akibat lainnya
adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk Islam. Mereka
adalah pendatang pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan,
yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan
inferioritas di tengah tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat
fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh
orang-orang muslimin Arab. Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin
Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang
Arab memandang dirinya “saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan
mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan
negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara.[5]
Pada saat itu banyak
Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan
para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan
orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti
untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita
cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji
oleh pemerintah secara tetap.[6]
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling
menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya
adalah:
a. Politik dalam Negeri
Pemindahan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada
pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum
Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim
dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam mantar
dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang
terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman
Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini
sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab.
b. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri
Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan
ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah. Pada zaman Khalifah
ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut
belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian
dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah
dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam,
dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah
berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi
perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum
muslimin.
Berdasarkan kedaan
semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani Umayah dan
negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin.
Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul .
Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke
timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia
mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk, Bukhara , Khawarizm, Ferghana dan Samarkand . Tentaranya sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[7]
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran
dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat
suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua
Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq
bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara
Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota
Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville , Elvira dan Toledo yang
dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.[8]
Pada saat itu, pasukan
Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul
Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini
dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers . Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan diluar kota Tours , al-Qhafii
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di
zaman Bani Umayyah. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di
Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.[9]
Perluasan yang dilakukan
pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang
telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah
Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut:
1. Front pertempuran melawan bangsa
Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan BaniUmayyah, pertempuran di front ini
telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan
penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2. Front Afrika Utara. Front ini meluas
sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai
ke Spanyol.
3. Front Timur. Ini meluas dan terbagi
kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara,ke daerah-daerah diseberang sungai
Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah
Sind, wilayah India
di bagian Barat.[10].
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah
ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang
begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi
negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke
Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri
taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya
mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
Tetapi bukan hanya
eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani umayyah, tetapi
ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihatdari
kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia
berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris ,
memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan
keuangan.[11]
F. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan
akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur
rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis
jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu,
sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh
dan filsafat. Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana
al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian
diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra. Kebanyakan masyarakat dan
Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair
terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al- Farazdak. Kota-kota
yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti
zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah,
Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba,
Granada dan lain-lainnya.[12]
Ilmu pengetahuan pada
masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
-Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist,
al-Fiqh, al-ulumul Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
-Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh
kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta
lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah
dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair,
khitabah dan amsaal.
Pada permulaan masa Daulah
Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber
pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap
tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah
Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad. Kesulitan-kesulitan
kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an dicari dalam al-Hadist.
Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha untuk
mencari riwayat dan sanad al Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala
cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh
orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu,
yaitu: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab
az-Zuhry, Ibnu ,Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky,
Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi.[13]
Berdasarkan Penlelasan di atas penulis
dapat menyimpulkan bahwa kemajauan. Kemajuan dicapai pada masa Bani Umayyah
adalah:
Pertama,
Bani Umayyah berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke berbagai penjuru
dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia,
Irak, sebagian kecil Asia, Persia, Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan
dan Kirgis.
Kedua,
Islam memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat luas. Sikap fanatik Arab
sangat efektif dalam membangun bangsa Arab yang besar sekaligus menjadi kaum
muslimin atau bangsa Islam. Setelah pada saat itu bangsa Arab merupakan
prototipikal dari bangsa Islam sendiri.
Ketiga,
telah berkembang ilmu pengetahuan secara tersendiri dengan masing-masing tokoh
spesialisnya. Antara lain, dalam Ilmu Qira’at (7 qira’at) yang terkenal yaitu
Ibnu Katsir (120H), Ashim (127H), dan Ibnu Amr (118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya
ialah Ibnu Abbas (68H) dan muridnya Mujahid yangpertama kali menghimpun tafsir
dalam sebuah suhuf, Ilmu Hadits dikumpulkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri atas
perintah Umar bin Abdul Aziz, tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin
Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu
Amir bin Syurahbil. Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu
Nahwu, dan sebagainya.
Keempat,
perkembangan dalam hal administrasi ketatanegaraan, seperti adanya Lembaga
Peradilan (Qadhi).
G.
Sebab-Sebab
Runtuhnya Bani Umayyah
Adapun faktor-faktor runtuhnya Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
Pertama: Pertentangan
antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab
Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (Himyariyah)
yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani Umayyah persaingan antar
etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung kepada satu pihak
dan menafikan yang lainnya.
Kedua:
Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru
darikalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status
tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang
mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim
Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka
untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan Seperti
tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil
dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
Ketiga: Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru
yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
Pengaturannnya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga
Istana.
Keempat: Kerajaan
Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas wilayahnya,
sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik, tambah lagi
dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat
menguasai
sepenuhnya wilayah yang luas itu.
Kelima: Latar
belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik
politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang
kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
Keenam: Adanya
pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak
sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di
samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.
Ketujuh: Penindasan
terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan terhadap Bani
Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat.
Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al-Muthalib dan
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini menjadi
penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Bani Umayyah merupakan
penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi
monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur
rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka
memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya
“Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Kekuasaan
Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M).
Dinasti ini dipimpin
oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn
Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid
ibn mAbdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn
Abdul Malik, Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid
III), Ibrahim ibn Malik dan Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan
yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas.
Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang
disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah. Di samping
melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam.
Bani Umayyah juga berjasa
dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan
dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli,
yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang
dengan mpesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang
bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran,
mereka mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka
timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al Hadist, yang akhirnya
menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A.
Hasyimi, Sejarah
Peradaban Islam, Cetakan V, Jakarta: Bulan Bintang. 1995.
Ahmad Al-Usairi, Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad xx, (Jakarta ,
Media Grafika, 2006.
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya Jilid I Cetakan V,
Jakarta: UI Press, 1985.
Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal 3.
[2] Ahmad Al-Usairi, Sejarah
Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad xx, (Jakarta, Media Grafika), hal.
187.
[4] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 44.
[6] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam…, hal. 139.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayan Islam…, hal. 91.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya –
Jilid I Cetakan V, (Jakarta: UI Press, 1985), hal. 62.
[11] Ibid., hal 76.
0 Comments
Post a Comment