BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat
pendapat pro dan kontra tentang pengaruh tasawuf terhadap kehidupan umat Islam.
Pada satu sisi, tasawuf dituduh sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Tasawuf dituduh mengajarkan kepasifan dan anti vitalitas. Tasawuf dituduh
melahirkan apatisme terhadap eksistensi kekinianmanusia. Di sisi lain, tasawuf
justru diklaim sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip agama dan
kemanusiaan di tengah ketidak-menentuan tata aturan kehidupan yang dipraktekkan
manusia.”[1]
Perbincangan
tentang tasawuf menjadi semakin menarik dengan munculnya fenomena kesadaran
yang semakin intens di kalangan intelektual terhadap spiritualitas untuk
memperteguh eksistensi manusia. Kesadaran semacam itu menjadi motivasi orang
tertarik dan butuh dengan hidup secara spiritual. Salah satu jawaban terhadap
kebutuhan hidup secara spiritual ditemukan dalam tasawuf.
BAB II
P E M B A H
A S A N
A. Pengertian Tasawuf
Dari
segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang di-hubungkan para ahli
untuk menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah
yang ber-dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang nindah
dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (baris-sufi (suci), sophos (bahasa
Yunani: hikmat), dan suf (kain Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan
dengan wuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi Mekkah ke
Madinah) misalnya menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa raganya,
harta benda dan lain-lainya hanya untuk Allah.”[2]
Mereka
ini rela meninggalkan jung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya
kah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada iman dan kecintaan pada
Allah, tak mungkin mereka ukan hal yang demikian. Selanjutnya kata sa/juga
meng-rkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam adah kepada Allah dan
melakukan amal kebajikan. Demi-pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang
selalu ielihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (Kain wol)
menggambarkan orang yang hidup sederhana dan mementingkan dunia. Dan kata
sophos (bahasa Yunani) mbarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung ke pada
kebenaran.
Dari
segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah
sikap mental yang selalu memelihara cian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang
demikian pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.”[3]
Adapun
pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung
kepada sudut pandang yang diguna-kannya masing-masing. Selama ini ada tiga
sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang1 ber-Tuhan. Jika dilihat dari
sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
B. Asal – Usul Tasawuf
Tasawuf Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya
seperti tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara umum Islam mengatur
kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat
batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir
tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari
sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan
sahabatnya.
Lebih jauh,
al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling
mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54 sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي
اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ
لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ)
المائدة:
٥٤(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Maidah: 54)
Perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim:
8)sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى
رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ)
التحريم:
٨(
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mu'min yang bersama dia.
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Qs. at-Tahrim:
8)
Petunjuk bahwa manusia akan senantiasa
bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110) sebagai berikut:
وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُواْ لأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ
تَجِدُوهُ عِندَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ) البقرة:
١١٠(
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa
saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.(Qs.
al-Baqarah: 110)
Allah dapat memberikan cahaya kepada orang
yang dikehendaki (an-Nur: 35) sebagai berikut:
اللَّهُ
نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ
مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ
يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ) النور:
٣٥(
Artinya: Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) ,
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya
siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. An-Nur: 35)
Pada pertengahan Abad ke 1 H: Khalifah
Usman Bin Affan gugur dibunuh oleh umat muslim sendiri, kemudian Perang Jamal -
Peperangan Ali VS Aisyah, kemudian di lanjutkan dengan Perang Shiffin –
Peperangan Ali VS Muawiyah, kemudian Perang Nahrawan – Peperangan Khalifah Ali
VS Golongan Khawarij (Ali gugur ditikam
Abdurahman di Masjid Kuffah (17 Ramadhan 40 H)), dan kemudian Karbala - Pembunuhan
atas putranya Ali bin Abi Thalib, Husein Bin Ali.”[4]
Keadaan diatas menunjukkan kacaunya masa umat Islam pada era saat
itu, pecah dalam bermacam-macam golongan, masing-masing golongan menganggap
sesamanya sebagai kafir. Efeknya, para sahabat, tabiin mengalami ketakutan,
sebagian resah, diantaranya memilih hidup zuhud, menjauhkan diri dari kehidupan
sosial, berkhalwat, berzikir dan berpuasa untuk memelihara kebersihan hati,
menjaduhkan diri dari pengaruh lingkungan yang telah tercemar dengan fitnah dan
maksiat. Mereka inilah yang kemudian disebut Zahid.
Dalam sejarah yang
lain disebutkan bahwa munculnya tasawuf adalah sebagai berikut :
Pada mulanya Islam
menanamkan kepada pengikut-pengikutnya yang awal, dalam tingkatan yang
berbeza-beza, perasaan yang mendalam pada pertanggungjawapan di hadapan Tuhan.
Oleh kerana itulah, kunci kesalehan pada abad ini--abad ke-1 H--adalah takut
kepada Tuhan. Meskipun demikian, praktik hidup asketis yang dijalankan oleh
Nabi tersebut pada gilirannya diikuti oleh para sahabat.
Berkembangnya
kesalehan asketis di kalangan sahabat itu, sebagaimana dicatat oleh Fazlur
Rahman, paling sedikit mendapat dorongan daripada dua arah: Pertama,
persekitaran yang mewah dan kenikmatan duniawi yang pada umumnya merata di
kalangan masyarakat Islam. Yang disebutkan terakhir merupakan akibat langsung
dari kemantapan dan konsolidasi Dinasti Umawiyah yang luas. Kedua,
pertentangan-pertentangan politik yang ditimbulkan, khususnya oleh paham
Khawarij dan Syi’ah, sehingga muncul anjuran untuk berlepas tangan tidak hanya
dari masalah politik, tetapi bahkan juga dari pentadbiran pemerintahan dan
masalah-masalah umum masyarakat. Lebih jauh lagi, berupa anjuran berisi
himbauan untuk berkhalwat di dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.”[5]
Lingkungan mewah
dan kenikmatan duniawi yang melimpah itu mendapat reaksi keras daripada para
sahabat yang mempraktikkan kesalehan asketis dalam hidupnya. Mereka mendesak
agar penguasa menerima, mentaati, dan memberlakukan hukum keagamaan syariah dan
tidak menjadikan kehendak dan rancangan mereka sendiri sebagai hukum negara.
Jika ini diterima, mereka berharap ruh Islam yang asli akan hidup dengan
sebenar-benarnya.
Namun, himbauan
positif dan perlawanan terhadap kehidupan materialisme ini tidak mudah untuk
direalisasikan, justru perlawanan ini semakin lemah setelah Ahli Bayt banyak
yang mati syahid. Para ulama dihadapkan kepada pilihan yang dilematis antara
sikap bersatu dan atau memutus hubungan dengan pemerintah.
Masa Umayyah adalah
masa yang berdarah-darah (‘isyr iraqah al-dzima’). Pelanggaran pun dilakukan di
Makkah dan Madinah, yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh Bani Umayyah,
seperti ‘Ubaydillah bin Ziyad dan Hajjaj bin al-Tsaqafi. Tidak sedikit nyawa
kaum Muslim yang melayang, banyak dia antara kaum Muslim yang hidup dalam
kondisi ketakutan, menganjurkan asketis dalam dunia, kerana mereka menganggap
bahawa dunia tidak ada harganya.”[6]
Kehidupan sosial
umat Islam pada masa Umayyah berubah drastis, tidak seperti kehidupan pada masa
Nabi dan Khilafa al-Rasyidin. Di mana pada masa Umayyah, kaum Muslim telah
menjelajah dan memperluas daerah kekuasaan. Semakin banyak daerah yang
ditaklukkan, maka semakin banyak harta rampasan perang diraih. Para pembesar
tenggelam dalam kehidupan hedonis dan gelamor.
Terhadap gejala
yang sedemikian, terdapat sebahagian umat Islam yang rajin mengingatkan, dengan
menganjurkan kepada kehidupan asketis, tidak hedonis, dan tidak tenggelam dalam
lumpur syahwat. Antaranya adalah Sahabat Abu Dzar al-Ghifari telah mengkritik
kehidupan mewah Umayyah dengan kritikan tajam. Al-Ghifari adalah salah seorang
penganjur tegaknya ‘sosialisme Islam’ yang adil. Dan pada masa itu, muncul
seorang asketis Islam, yang tergolong al-tabi’ien (generasi setelah sahabat),
iaitu Sa’ied bin al-Musayyab, yang wafat pada tahun 90 H., yang telah memusuhi
kepemerintahan Umyyah.”[7]
Dari keterangan di
atas, nampak sekali pada masa ini (akhir abad ke-1 sampai abad ke-2 H.) adanya
kecenderungan kehidupan tasawuf yang murni etis yang didominasi oleh interiorisasi
(pembatinan) motivasi etikal. Antara wakil-wakil yang kemudian sangat terkemuka
dari kesalehan etikal ini adalah Hasan al-Basri (w. 110/728) yang tidak hanya
memperoleh pengakuan pada zamannya, tetapi juga memberikan salah satu pengaruh
yang luar biasa besarnya di dalam seluruh sejarah spiritual Islam selama
berabad-abad.
Atas dasar inilah
kemudian al-Taftazani mencirikan tasawuf, tepatnya asketisme pada abad ke-1 dan
ke-2 Hijriah sebagai berikut: Pertama, tasawuf pada masa ini ditandai oleh
kesalehan asketis yang bertujuan menjauhi segala hal yang bersifat duniawi demi
meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka. Kedua, tasawuf yang
berkembang pada masa itu bercorak praktis. Para pendirinya belum berminat dan
tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas tasawufnya
itu. Oleh kerana itu, tasawufnya hanya mengarah kepada tujuan moral sahaja.
Ketiga, tasawuf atau sikap asketis yang berkembang dimotivasi oleh rasa takut
kepada Tuhan. Suatu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh-sungguh. Tidak heran jika Nicholson menyebut tasawuf pada masa ini
sebagai “bentuk tasawuf yang paling dini”, atau “para sufi angkatan pertama”.”[8]
Dalam bentuk
tasawuf yang paling dini atau para sufi angkatan pertama itu belum ditemukan
upaya untuk mengembangkan konsep-konsep dalam mendekatkan diri dengan Tuhan.
Dari pada membangun konsep, tampaknya mereka lebih mengarahkan diri dalam usaha
mempraktikkan jalan hidup sufi, atau tepatnya sufi sebagai way of life. Oleh
kerana itu tidak salah jika dikatakan bahawa sufisme pada dua abad pertama
Hijriah merupakan fenomena individual yang spontan dan belum tersusun dalam
doktrin yang baku.
Sebenarnya sulit
menentukan secara tepat bila peralihan waktu antara gerakan asketisme dan
tasawuf. Perkembangan pemikiran sendiri jelas tidak terhad oleh masa. Meskipun
demikian, kurang lebih pada permulaan abad ke-3 H. terjadi suatu peralihan yang
boleh dikatakan bersifat kongkrit dari asketisme menuju tasawuf. Para asketis
pada masa ini mulai mendapat julukan sufi. Mereka mulai mendiskusikan
konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya tentang moral, jiwa, dan
tingkah laku; pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju
Allah yang dikenal dengan istilah maqam ((مقامات, hal ( احوال), makrifat metode-metodenya; ittihad, fana, dan hulul. Selain itu,
mereka juga menyusun prinsip teoritis dari semua konsepnya itu. Bahkan selain
menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat, di kalangan mereka juga berkembang
bahasa simbolis yang hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Sejak itulah muncul karya-karya tentang
tasawuf di dunia Islam.”[9]
C. Tokoh – Tokoh
Pengukir Tasawuf
Tokoh pertama yang
ahli tasawuf adalah Imam Ali r.a, kemudian diikuti oleh Imam Al-Hasan al-Basri r.a
(wafat:110 H.), Imam Hubaib al-‘Ajami r.a, Imam Daud ath-Tha,i r.a, Imam Ma’ruf
al-Karkhi r.a, Imam Sarry al-Saqathi r.a, Imam Junaedi al-Bagdadi r.a.”
Kemudian disusul abad
ke 3 dan ke 4 adalah yang bernama Zunnun al-Misri. Konon, Zunnun adalah sufi pertama
yang menampilkan paham ma’rifat. Al-Ma’rifat menurut Zunnun, adalah cahaya yang
dilontarkan oleh Tuhan kepada kalbu sufi. Sufi berusaha kemudian ia menunggu
kasih dan rahmat Allah.”
Sedangkan pada abad
ke-5 Hijriah, muncul Al-Imam al-Ghazali. Ia sepenuhnya hanya mengakseptasi
tasawuf yang bercorak Qurani dan Sunni serta tasawuf dalam bentuk ma’rifat, dan
mahabbah dengan bertujuan hidup zuhud (sederhana), penyucian jiwa dan pembinaan
moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikaji, dibahas, dan diamalkannya sedemikian
mengakar. menurut Al-Ghazali, tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk
memperoleh kebenaran yang hakiki (pengetahuan yang keabsahannya benar-benar
dapat diyakini). Pengetahuan (ma’rifat) seperti ini adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui kasyf (tersingkapnya tabir ketuhanan). Al-Ghazali berhasil
menanamkan konsep dan prinsip tasawuf amali (akhlaki atau sunni). Tasawuf
semacam ini semakin meluas dalam dunia Islam. Maka muncullah kemudian
tokoh-tokoh sufi yang mengembangkan tariqat dalam rangka mendidik murid-murid
mereka, seperti Sayyed Ahmad Rifa’i (w. 470 H.), yang melahirkan tarikat
Rifaiyyah dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani yang melahirkan Tarekat Qadiriyah.
Dalam perkembangan
berikutnya, yakni pada abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh sufi yang
mensintesakan tasawuf dengan falsafah, seperti Suhrawardi al-Maqtul (550--587
H.) yang di antaranya mengarang kitab Hikmat Isyraq (Tasawuf falsafi atau
Iluminatif) dan syekh Akbar Muhyiddin Ibn Arabi (560--638 H.) yang di antaranya
mengarang kitab tasawuf terkenal, Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Sufi
ini memformulasikan tasawuf falsafi “wahdat al-wujud, haqiqat muhammadiyyah,
dan wahdat al-adyan”. Konsep tasawuf falsafi Ibnu Arabi menjelaskan bahawa
al-Khalq dan al-Haqq merupakan dua aspek dari setiap makhluk (semua benda,
bukan hanya yang bernyawa saja). Aspek luar disebut al-khalq dan aspek dalam
disebut al-haqq. Dengan begitu, dalam setiap makhluk ada aspek ketuhanan.”[10]
Jadi bukan hanya
dalam diri manusia sebagaimana yang disebut al-Hallaj dalam konsep tasawufnya
hulul. Aspek batin itulah yang terpenting dan merupakan esensi dari setiap
makhluk. Tasawuf Al-Ghazali dan Ibn Arabi berkehendak untuk mewujudkan
kehidupan yang islami dengan perilaku sufistik. Oleh kerana itu, Al-Ghazali mengajarkan
paradigma hidup sufistik yang disebut dengan tasawuf ortodok. Sedangkan Ibn
Arabi melanjutkan dengan tasawuf filosofis. Betapapun demikian, tidak sedikit
daripada ulama yang meragukan keabsahan tindakan mistisisme dalam Islam.
Dengan munculnya para
sufi yang bercorak falsafi, maka sufisme oleh sebahagian ahli dikategorikan
menjadi sifisme sunni dan non-sunni. Sufisme non-sunni berupaya memadukan
tasawuf dan falsafah. Sufisme ini ditandai dengan ungkapan mereka yang banyak
mengandung isyarat dan simbol yang sukar dipahami. Para sufi yang juga filosof
ini banyak mendapat kecaman, serangan, hujatan, dan debat dari para ulama
(terutama kaum teolog dan fuqaha), yang justru semakin keras, kerana pernyataan
mereka dalam bentuk “syathahat”. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian
muncul polemik dan kontroversi pemikiran antara teologi, fiqh, dan tasawuf.”[11]
Harun Nasution
mengklasifikasikan tasawuf menjadi paham syi’i dan sunni. Tasawuf Sunni hanya
sampai pada kajian ma’rifat (bercorak amali dan akhlaki), sedangkan tasawuf
syi’i sampai kepada kajian ittihad (bercorak falsafi). Sementara itu, Abu
al-Wafa al-Ghanimi mengemukakan bahawa klasifikasi tasawuf adalah sunni (amali,
akhlaki, atau praktis), dan nazari (falsafi atau teoritis).
Di kalangan
penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori seperti fana, baqa dan
ittihad (yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami, hulul (yang dipelopori
oleh al-Hallaj), Wahdat al-Wujud (yang dipelopori oleh Ibn Arabi), Insan Kamil
(yang dipelopori oileh al-Jilli), yang tidak diakui oleh kalangan tasawuf
sunni. Kendati sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan Tuhannya,
hanya saja masih dalam batas-batas syariat yang tetap membezakan manusia dengan
Tuhan.
Paham
"kesatuan" dalam tasawuf mengarahkan sufi melacak asal-usul dirinya
dan segala wujud yang ada. Menurut mereka, manusia sebagai makhluk sempurna
merupakan pancaran atau turunan dari wujud sejati yang menurunkan
wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud
secara berurutan (gradasi wujud, hierarki wujud). Proses penurunan wujud ini
dalam perbendaharaan sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui
bentuk poenyingkapan diri (tajalli), baik tajalli dzati (ghaib) maupun tajalli
syuhudi seperti yang dikonsepsikan oleh Ibnu Arabi.
Konsep tanzil dan
tajalli ini juga dapat ditemukan dalam pemikiran al-Jilli. Menurutnya proses
tanazzul berupa tajalli Tuhan yang berlangsung secaraterus-menerus pada alam
semseta terdiri atas lima martabat secara berturut-turum, iaitu uluhiyyah,
ahadiyyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah. Memang, konsep ini mirip
dengan teori emanasi dari al-Farabi.”[12]
Kedua-dua Konsep
pemikiran tentang tanazzul, sama ada Ibn Arabi maupun al-Jilli memiliki
pandangan yang sama, iaitu bahawa manusia sebagai manifestasi Tuhan merupakan
akhir dari manifestasi-Nya dan sekaligus menjadi titik tolak untuk mengenal dan
kembali kepadaNya. Dengan mengenali diri manusia maka Tuhan akan dikenal kerana
segenap citra-Nya telah terangkum dalam diri manusia itu sendiri sebagai
manusia sempurna (insan kamil). Inilah yang dimaksud dengan ungkapan,
"barang siapa mengeal dirinya maka ia mengenal Tuhannya."
Selain penggambaran tanazzul yang telah disebutkan
diatas, terdapat penggambaran lain yang khas yang digambarkan melalui dunia
wujud. Penggambaran tersebut dilihat dari sudut pandang peringkat perwujudan
dan diperolehi melalui ma'rifat, diistilahkan dengan al-hadharat
(kehadiran-kehadiran), meliputi martabat asasi bagi wujud alam semesta yang
tersusun dari tajalli-tajalli.
BAB III
P E N U
T U P
Berdasarkan pembahasan diatas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Dari segi bahasa
terdapat sejumlah kata atau istilah yang di-hubungkan para ahli untuk
menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang
ber-dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang nindah dengan
Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (baris-sufi (suci), sophos (bahasa Yunani:
hikmat), dan suf (kain Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan
wuf.
2.
Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan
Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan
antara Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada
pendahuluan di atas. Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat
lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur
kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf.
3.
Tokoh
pertama yang ahli tasawuf adalah Imam Ali r.a, kemudian diikuti oleh Imam
Al-Hasan al-Basri r.a (wafat:110 H.), Imam Hubaib al-‘Ajami r.a, Imam Daud
ath-Tha,i r.a, Imam Ma’ruf al-Karkhi r.a, Imam Sarry al-Saqathi r.a, Imam
Junaedi al-Bagdadi r.a.
B.
Saran
- Saran
1.
Disarankan
kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu tasawuf.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak membaca, karena dengan banyak
membaca banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.
Disarankan kepada mahasiswa agar dapat mengabdikan ilmunya ditengah-tengah
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar..Ilmu Tasawuf, .Bandung:CV
Pustaka Setia, 2006.
Asmaran, A.,Pengantar Studi Tasawuf, , Jakarta:
Rajawali,1994.
Arberry, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, Judul Asli
“Sufism: An
Account of the Mystics of Islam”
diterjemahkan oleh Bambang Herawan, Bandung:
Mizan 1985.
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, al-Thasawwûf bayna
al-Ghazâli wa Ibn Taimiyah, (terj. Muhammad Muchson Anasy), Jakarta:
Khalifa, 2005.
Anis Ahmad Karzun, Manhâj al-Islamî fî Tazkiyah
al-Nafs, Beirut: Dâr Nurul Maktabah, 1997.
Badruzzaman
Busyairi, Setengah Abad Al Azhar, Jakarta: PT. Abadi, 2002.
Barwari Umairi, Sistematika Tasawuf, Solo: Siti Syamsiyyah, 1961.
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943):
Pembaharuan dan Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Al Kautsar, 1999.
Crapps, Robert W., , Gaya Hidup Beragama, Disadur dari judul
asli “An
Introduction
to Psychology of Religion” oleh A.M. Hardjana,
Yogyakarta: Kanisius,1993.
Dagun, Save M., Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka
Cipta,1990.
Hamka. Tasawuf Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta:P.T.Citra
Serumpun Padi, 1986.
Hamka, Tasawuf Moderen, , Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, cetakan XVIII, Jakarta: Pustaka Panjimas,1994.
Hamka, Akhlaqul Karimah, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1992.
[2]
Lidinillah, Mustofa Anshori, Tasawuf dan Keterlibatan Sosial Sufi, (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UGM,. 1995),hal. 28.
0 Comments
Post a Comment