BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara,
setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung
setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Upacara yang tetap berlangsung
hingga saat ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah:
upacara turun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara
kehamilan anak pertama, upacara kematian, dan lain-lain.
Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena
dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat
Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita harus mematuhinya
juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk meupat jeurat, matee
adat pat tamita. Bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang
istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang
dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini,
apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang
telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat
terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat
Aceh.
Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah
kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan
dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak
bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Namun,
diharapkan upacara ini janganlah sampai hilang, karena upacara ini telah
menjadi bahagian dari adat Aceh yang harus kita lestarikan. Dari upacara ini
terwakili beberapa nilai ketauladanan, di antaranya nilai penghormatan dan
nilai kebersamaan dalam menyambut kebahagian.
Upacara merupakan rangkaian kegiatan ritual masyarakat,
dalam buku the Rites of Passage (van Gennep) berpendapat bahwa kejadian dalam
kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian. Ia yakin terdapatnya kecenderungan
pada manusia untuk mengonsepsikan perubahan status sebagai suatu model
perjalanan dari satu kota atau negeri kekota atau kenegeri yang lain,
sebagaimana dikatakannya suatu teritorial passage.
Perjalanan teritorial meliputi tiga aspek yaitu pemisahan
dari tempat asal, peralihan dan penggabungan ke dalam tujuan. Seperti halnya
oposisi antara tangan kanan dan tangan kiri bisa berlaku lebih umum, oposisi
moral. Dengan demikian perjalanan teritorial dapat berlaku bagi setiap
perubahan status dalam masyarakat. Ritual kelahiran, memasuki masa dewasa, kematian,
semuanya memiliki struktur yang sama. Sebagaimana ditekankan van Gennep ia
ingin mengangkat ekstraksi berbagai ritus dari seperangkat upacara seremoni dan
menanggapi ritus-ritus tersebut terisolasi dan mengangkatnya dari konteks yang
memberi makna kepadanya dan menunjukkan posisinya dalam keseluruhan dinamika.
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara,
setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung
setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara
yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara
turun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak
pertama, upacara kematian dan lain-lain. Upacara-upacara tersebut masih
dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat.
Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita
harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk
meupat jeurat, matee adat pat tamita.
Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak itu
diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada
bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke
mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran
masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan
yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya
masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat
tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna
adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai
sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa
upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya
merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam
masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran
bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan.
Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan
dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ba
Gateng Dalam Masyarakt Aceh
Khanduri Apam [Kenduri Serabi]
adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh [buleun
Apam] dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan
dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah.
Buleun artinya bulan, dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi. Sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun
Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan
sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara,
Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Kegiatan toet apam [memasak apam]
dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok.
Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh
bit [menumbuk tepung dari beras nasi]. Tepung tersebut lalu dicampur santan
kelapa dalam sebuah beulangong raya [periuk besar]. Campuran ini direndam
paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang
sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung
inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya,
yakni neuleuek berupa cuprok tanoh [pinggan tanah][1].
Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor
atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho [daun kelapa kering]. Malah
orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on “ue tho
ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang
, sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata [tidak bopeng] Apam paling
sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan
santan dicampur pisang klat barat [sejenis pisang raja] atau nangka masak serta
gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya [gurih], kue Apam
dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang
memakan Apam saja [seunge Apam], yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb.
Selain dimakan langsung, dapat
juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara
demikian disebut Apam Leu'eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam
itu dimakan. Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada
para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan
rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi,
kenduri Apam juga diantar ke Meunasah [surau di Aceh] serta kepada para
keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari
rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam [bulan
Rajab] sebulan penuh.
B. Sejarah
Khanduri Ba Gateng
Tradisi Khanduri Apam ini adalah
berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang
bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam.
Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat
disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang
menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang
sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk
mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak
Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam
[memasak Apam] yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam [bulan
Rajab], kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah
selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri
Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran
kelapa yang diberi gula [dilhok ngon u]. Khanduri Apam juga diadakan di kuburan
setelah terjadi gempa hebat, seperti gempa tsunami, hari Minggu, 26 Desember
2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar [peusijuek] kembali bagi
famili mereka yang telah meninggal.
Akibat gempa besar; boleh jadi si
mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita
atas keadaan itu; disamping memohon rahmat bagi si mati, maka diadakanlah
khanduri Apam tersebut. Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar
belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada laki-laki yang
tidak shalat Jum'at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya
diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid
dan dikendurikan [dimakan bersama-sama] sebagai sedekah.
Dengan semakin seringnya orang
membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh
masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat jumat.
C. Adat Masyarakat
Aceh Pada Tujuh Bulan Kehamilan
Upacara tujuh bulanan dalam adat Aceh terdiri dari
beberapa tahap yaitu[2]:
1. Ba bu/ Mèe bu (Mengantar Makanan)
Upacara ba bu atau meunieum berlangsung dua kali. Ba bu
pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan
keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh
sampai dengan bulan kedelapan. Bahan-bahan persiapan ba bu atau mengantar nasi
terdiri dari bu kulah (nasi bungkus), dan lauk pauk yang terdiri dari ikan,
daging ayam panggang, dan burung yang dipanggang. Ada juga di kalangan
masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung
kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil
saja dan adapula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang
diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini
dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat
jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil
harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat.
Semua yang dihantarkan ke rumah dara barô oleh mertuanya
itu mempunyai makna tertentu salah satunya dari daging burung yang dipanggang
mempunyai makna supaya anak yang dikandung menjadi cerdik dan lincah, secerdik
dan selincah yang dimakan. Jenis burung yang biasa dipilih adalah burung
merpati. Tujuan dari upacara ini agar dara barô mendapat makanan yang
enak-enak, sebagai penghormatan dari mertua untuk menghadapi masa kelahiran
bayi.
2. Pantangan
Pantangan yang harus diikuti antara lain ialah duduk di
ujung tangga (ulee reunyeun ), berada di luar rumah pada senja dan malam
hari,melangkahi kuburan-kuburan, datang ke tempat-tempat yang suram,
membicarakan hal yang senonoh, melihat benda-benda dan hewan
yang ajaib, dan pantangan yang lainnya.
3. Meuramin
Meuramin adalah acara makan-makan bersama antara kedua
belah pihak keluarga. Biasanya acara ini berlangsung di pantai, bahan-bahan
yang dibawa hampir sama dengan acara upacara ba bu yaitu bu kulah beserta lauk
pauk, nicah dan buah-buahan yang asam. Makanan yang pertama dimakan adalah
nicah, buah-buahan, dan yang terakhir makan bu kulah.
Seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah
menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk
membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini
disebut ba bu atau mee bu. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang
cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang
sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan
daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian masyarakat
mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur pada api
yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun
tidak kena layur semuanya.
Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila
anak telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping
nasi juga terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi.
Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau kateng (wadah). Idang ini
diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran
(orang yang berdekatan tempat tinggal). Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung
dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia
kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung
dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan
masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung
kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil
saja dan adapula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang
diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini
dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat
jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil
harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat[3].
Dalam ilmu kesehatanpun memang dianjurkan untuk kebutuhan
gizi cabang bayi yang dikandungnya, namun apabila itu tidak dituruti maka
berakibat buruk pada anak yang dikandungnya kalau istilah bahasa Aceh roe ie
babah (ngences). Masyarakat Aceh upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang
harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat. Lain
halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi
bu bidan (memberi nasi untuk ibu bidan) maksudnya seorang anak yang baru kawin
dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah
dicarikan ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Pada upacara kenduri
dimaksud kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh utusan keluarga ke
rumah bidan lalu dibawa kerumah yang melakukan hajatan. Acara serah terima,
melewati beberapa persyaratan antara lain :
1. Pihak keluarga yang melakukan hajatan
mendatangi ibu bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub) sebagai
penghormatan kepada ibu bidan dan sebagai tanda meulakee (permohonan).
2. Setelah ibu bidan hadir di rumah hajatan, maka
keluarga yang melakukan permohonan tersebut dengan acara adat menyerahkan
anaknya yang hamil tersebut agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.
3. Sebagai ikatan bagi bidan pihak keluarga
menyerahkan seperangkap makanan yang sudah dimasak, untuk dibawa pulang ke
rumah bidan, lengkap dengan lauk pauknya sesuai dengan kemampuan keluarga yang
melakukan hajatan disertai juga dengan menyerahkan selembar kain dan uang
sekedarnya[4].
Acara puncak bi bu bidan adalah kenduri dengan didahului
pembacaan tahlil dan doa, acara tersebut biasanya dilakukan pada jam makan
siang dan ada juga pada malam hari setelah shalat Isya. Setelah upacara selesai
maka ibu bidan diantar kembali ke rumahnya, mulai saat itu anaknya yang hamil
telah menjadi tanggungjawabnya ibu bidan.
BAB
III
P E
N U T U P
Berdasarkan pembahasan pada bab –
bab diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa kesmpulan dan saran – saran
sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Seorang isteri pada saat hamil
anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami
mempersiapkan untuk membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya.
Acara bawa nasi ini disebut ba bu atau mee bu.
2. Upacara ba gateng dilaksanakan
dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita
sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang
diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk pyramid, ada juga
sebahagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dahulu daun
tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau
apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya.
B.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam untuk dapat memperdalam ilmu tentang hukum Islam.
2.
Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat belajar dengan giat
terutama tentang hukum Islam.
3.
Disarankan kepada pihak orang tua agar dapat mendidik anak sesuai dengan tuntunan
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Cut Zahrina, S.Ag. adalah Tenaga Honorer pada Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/09/ritual-masyarakat-aceh-dalam-menyambut.html
0 Comments
Post a Comment