Batas Umur Pemberian ASI
A.
Batas Umur Pemberian ASI
Dalam al-Qur’an telah disebutkan bahwa batas umur
pemberian air susu ibu (ASI) bagi anak yang telah lahir dari seorang ibu adalah
dua tahun. Hal ini disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ) البقرة: ٢٣٣(
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan keridhaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah: 233)[1]
Merujuk
pada tafsir al-Mishbah karya Prof.
Quraish Shihab berdasarkan ayat tersebut diatas mengatakan bahwa hukum menyusui
bagi seorang ibu adalah wajib. Wajib artinya harus dilaksanakan. Atau dengan
kata lain sesuatu yang hukumnya wajib jika dilaksanakan akan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Hukum wajib dikenal dengan baik pada
aktifitas shalat, puasa, zakat dan sejumlah kebaikan lain pada orang yang
mumayyiz. Pengecualian pada hukum ini hanya terjadi jika
ditentukan oleh hukum yang menjelaskan, misalnya puasa ramadhan bersifat wajib,
tetapi bagi orang yang sakit diizinkan tidak berpuasa dengan syarat
menggantinya pada hari yang lain. Shalat wajib tidak bisa ditinggalkan dalam
keadaan apapun. Orang sakitpun saat kesadarannya masih ada dia tetap diwajibkan
untuk shalat bahkan walaupun hanya mampu dengan berkedip sekalipun.
Sayangnya
hukum wajib menyusui belum dikenal luas. Dengan demikian pelaksanaan menyusui
lebih ditentukan oleh kehendak ibu masing-masing. Jika ibu berkehendak dan
bersedia menyusui juga tidak apa-apa. Tidak banyak yang merasa bersalah apalagi
merasa berdosa pada Tuhannya. Apalagi pada zaman industri yang menghasilkan
susu formula dengan berbagai macam merk-nya dengan iklan yang menjanjikan bayi
sehat dan montok, keputusan mengganti ASI dengan susu formula malah justru
dianggap lebih baik meningggalkan kegiatan menyusui atau mengganti ASI dengan
susu formula pada awal-awal kehidupan bayi menjadi hal biasa, bukan dosa karena
meninggalkan perintah-Nya. Kewajiban menyusui merupakan sesuatu yang ditekankan
dalam ayat tersebut diatas. Pelaksanaan penyusuan hendaklah dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, ibunyalah yang wajib menyusui bayi yang
dilahirkannya. Bayi punya hak untuk disusui oleh ibunya sendiri. Uraian akan
hal ini sudah sangat jelas. Secara alami Allah membuat payudara ibu berisi air
susu beberapa saat setelah ibu melahirkan. Dan masa sebelum melahirkan ibu
tidak tidak menghasilkan air susu. Secara sederhana dapat dimengerti bahwa air
susu itulah logistik yang disediakan Allah untuk bayi yang dianugerahkan kepada
ibu melalui proses kehamilan, Kedua, jika ibu meninggal atau sakit berat sehingga tidak
dapat menyusui bayi hendaknya disusukan pada ibu yang lain. Tentang hal ini
dalam riwayat Rasulullah saw dikenal adanya pengalaman menyusui pada Ibu
Halimah As-Sa’diyah. Ibu yang dipilih untuk menyusui hendaklah ibu yang sehat
dan baik. Penyusuan bayi pada ibu yang lain ini menghasilkan konsekuensi hukum
tersendiri. Dalam surat al-Baqarah:223 itu juga disebutkan bahwa ibu yang
diminta menyusui hendaklah diberi bayaran yang layak, Ketiga,
jika ibu meninggal atau sakit berat, lalu tidak ditemukan ibu yang dapat
menyusukan bayi tersebut, barulah bayi dapat diberikan makanan yang lain
(seperti susu dari hewan atau makanan dari tumbuhan seperti susu kedelai).
Untuk hal ini pun hendaklah dilakukan musyarawarah terlebih dahulu antara ayah
dan ibu supaya tugas mereka berjalan lancar.
Angka
dua tahun bukan merupakan hal ketat batasnya, artinya, Allah menimbang dua
tahun adalah masa terbaik jika ibu ingin menyempurnakan penyusuan. Jika kurang
dari dua tahun tentu kurang sempurna, kurang optimal dalam pemberian zat gizi
dan pendampingan anak oleh ibu (karena menyusui berpengaruh nyata pada ikatan
ibu-anak). Jika tidak dapat memenuhi masa ini, keputusan untuk menyapih bayi
dilakukan dengan kesepakatan antara ayah dan ibu, bukan hanya oleh ibu. Jangan
sampai terjadi ibu menolak menyusui padahal ayah menghendaki anaknya disusui.
Untuk
penyusuan yang dilakukan dibawah dua tahun, Allah pernah berfirman kepada ibu
Nabi Musa sebelum menghanyutkan Musa kedalam sungai Nil, yaitu:
وَأَوْحَيْنَا
إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي
الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ
مِنَ الْمُرْسَلِينَ) القصص: ٧(
Artinya: Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa;
“Susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah ia
kedalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan akan Kami jadikan ia
sebagai utusan (Rasul). (QS. Al-Qashash: 7).[2]
Namun
jika ibu belum berhasil menyapih hingga lebih dua tahun tidaklak menyebabkan
keharaman dalam menyusui bayinya. Namun secara fisik anak sudah cukup besar
untuk tidak bergantung pada ibu. Kebutuhan nutrisinya lebih banyak bergantung
pada makanan. Anak seusia inipun juga sudah memiliki kehidupan sosial meskipun
terbatas pada keluarga dan tetangga sekitar.
Dengan
demikian apabila ibu memberikan air susu ibu (ASI) kepada anaknya, masa yang
afdhal adalah selama dua tahun. Dalam
arti anak telah mampu berbicara, namun boleh juga kurang dari batas tersebut.
Kemudian
dijelaskan juga dalam surat Luqman ayat 14 Allah SWT berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ) لقمان: ١٤(
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik kepada kedua ibu-bapaknya, ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
, kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kamu kembali (Q.S. Luqman: 14).[3]
Masa menyapih maksudnya
adalah memisahkan anak dari minum air susu ibu (ASI) apabila anak dianggap
sudah saatnya tidak membutuhkan air susu ibu (ASI). Masa menyapih ini memang
suatu keadaan yang sangat melelahkan bagi kaum ibu karena anak bayi saat ini
sangat erat sehingga merepotkan si ibu.
Pada
surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah SWT mengulang lagi firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ
كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ
وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً
تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ) الأحقاف: ١٥(
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat
baik kepada ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dan menyapihnya selama
tiga puluh bulan sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal shaleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Qs. Al-Ahqaf:
15).[4]
Abdurrahman. Da’I
menukilkan pendapat Yusuf Ali dalam menabirkan ayat terakhir ini, beliau
berkata: masa hamil paling singkat minimal enam bulan yang dengan tempo sianak
dapat diketahui hidupnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ilmiah yang
mutakhir. Satu bulan terdiri dari 28 hari atau 10 kali masa haid, tentu saja
masa menyapihnya jauh berkurang dari 24 bulan.[5] Oleh karena itu anak
susuan dalam masa dibawah umur dua tahun yang makanannya cukup dengan air susu
ibu (ASI). Begitu pula pertumbuhan badannya melalui proses air susu juga
sehingga ia merupakan bagian dari ibu susuannya yang dengan alasan tersebut dia
sama-sama menjadi muhrim bagi ibu dan anak-anaknya.
Dalam buku “Kompilasi
Hukum Islam Bagian I bab perkawinan pada pasal 104 ayat 2” disebutkan penyusuan
dilakukan untuk waktu paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan
dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.[6] Berdasarkan nash-nash
tersebut diatas menunjukkan bahwa tidak menjadi haram untuk kawin dari susuan
bila lebih umur bayinya yang disusu itu dari dua tahun. Memang para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang batas
usia penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram. Menurut jumhur ulama fuqaha
(yaitu Imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad) berpendapat bahwa susuan yang ada
hubungannya dengan mahram nasab sibayi jika disusukan dibawah umur dua tahun.
Yang
dimaksud hadits tersebut adalah selama anak itu masih berumur dua tahun.
Dasarnya adalah firman Allah SWT sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
“Hendaklah para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”. Sedangkan Abu Hanifah
berpendapat bahwa: masa penyusuan umur bayi yang menyebabkan menjadi mahram itu
adalah dua tahun setengah, beliau mendasarkan diri pada ayat al-Qur’an surat al-Ahqaf ayat 15 yang
menyatakan bahwa “ibunya mengandung dan menyapihnya sampai tiga puluh bulan”.
Al-Qurtuby
mengatakan: yang betul adalah pendapat pertama berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah ayat 233. Dan ini menunjukkan bahwa sesudah dua tahun
tidak ada lagi hukum susuan, melainkan selama anak itu masih berumur dua tahun.[7] Ali Ash-Shabury
mengatakan bahwa ayat dan hadits tersebut berikut maknanya menunjukkan tidak
adanya penyusuan dalam umur dua tahun, dan tidak ada mahram baginya. Pendapat
beliau ini juga diambil dari Aisyah ra. Dan itu pula yang menjadi pendirian
Ad-Daibin Sad, tetapi ada riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa beliau
berpendapat adanya penyusuan bagi orang dewasa namun diriwayatkan juga bahwa
akhirnya beliau menarik pendapatnya itu.[8]
Adapun
penyusuan tambahan sesudah berhenti dari menyusu (menyapih), para fuqaha
berbeda pendapat. Apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi makanan (susu)
sebelum usia dua tahun lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh ibu yang lain,
menurut Imam Malik penyusuan tersebut tidak menjadikan mahram nikah. Sedangkan
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut bisa menjadi
mahram pada haramnya nikah.
Boleh
jadi yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah penyusuan yang terjadi pada masa
(usia) lapar, betapapun juga keadaan anak itu yaitu usia menyusu. Dan boleh
jadi pula bahwa yang dimaksud adalah apabila anak tersebut belum dipisahkan
atau disapih, apabila telah disapih dalam usia dua tahun, maka bukan dinamakan
penyusuan kelaparan. Jadi terjadinya perbedaan disini disebabkan oleh kelaparan
dan kebutuhan air susu atau kebutuhan yang dialami oleh anak-anak serta pada
bayi itu sendiri.[9] Juga para ulama berbeda pendapat terhadap penyusuan
anak-anak yang melewati usia dua tahun lebih untuk jadi tidaknya mahram,
sehingga sah diakad nikahkan.
Menurut
Imam Malik bahwa: susuan terhadap anak yang sudah lewat umur dua tahun, baik
sedikit ataupun banyak tidak mengharamkan lagi (untuk menikah), dan air susunya
dianggap sama dengan air biasa. Akan tetapi segolongan ulama salaf dan ulama
mutaakhirin berpendapat tentang mengharamkan, sekalipun yang disusuinya itu
sudah lanjut usia (melebihi dua tahun) namun juga dianggap sama dengan susuan
kepada anak kecil.[10]
[1]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penterjemah al-Quran, 1991),
hal. 57
[2]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penterjemah al-Quran, 1991),
hal. 609
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penterjemah al-Quran,
1991), hal. 654
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penterjemah al-Quran,
1991), hal. 822.
[5]Abdurrahman
I. Da’I, The Islamic Law, Jilid I,
alih bahasa Usman Effendi AS dan Abdul Kadir, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1991), hal. 303.
[6]Departemen
Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press, 1991), hal. 48.
[7]Muhammad
Ali Ash-Shabury, Rawai’ul Bayan Fi Tafsir
Ayatul Ahkami Minal Qur’an, Juz I, (Alih Bahasa Mu’mal Hamidy dan Imran A.
Manan), (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 294.
[9]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
Juz II, (alih bahasa M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah), (Semarang:
Asy-Syifa’, 1990), hal. 426-427.