Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Bunga bank


A.    Bunga bank

Bunga bank dapat diartikan sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman)[1].
Segala macam bentuk riba diharamkan dalam Islam, baik riba al-afdhal maupun riba an-Nasi’ah. Tidak ada yang menghalalkannya kecuali orang yang ingkar, tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Riba dan iman merupakan dua kutub yang bertentangan; keduanya tidak mungkin menyatu. Yang pertama kali menyebarkan riba didunia ini adalah orang – orang yahudi yang terlaknat. Allah telah mengubah bentuk nenek moyang mereka menjadi monyet dan babi serta telah melaknat mereka dalam kitab-kitab suci dan melalui lisan para nabi dan rasul.
            Sebagian besar bank-bank konvensional di Amerika dan Eropa berada dibawah kendali yahudi. karena mereka menguasai ekonomi negeri-negeri itu, maka mereka dapat menguasai politiknya. Walaupun mereka minoritas didunia ini, tetapi dengan harta yang dimiliki, mereka dapat membuat amerika menjadi sekutu mereka dalam melakukan kezaliman melawan bangsa arab dan kaum muslimin. Mereka mengarahkan harta yang melimpah dan kekayaan yang sangat agar berhasil menguasai negara dan memegang tumpuk pemerintahan. Setiap orang yang berada disamping mereka dan tidak sependapat dengan kejahatan dan kebatilan yang mereka lakukan, akan celaka dan hancur.
            Saat ini, kita menemukan sejumlah orang yang menyimpang dan mengaku berilmu, mendorong manusia agar berani mendurhakai Allah SWT. Mereka menyalahi ijma’ dengan memberikan fatwa yang menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Mereka mengatakan bahwa bunga bank adalah halal. Dengan fatwa-fatwa yang berani dan sesat seperti itu mereka telah membuka pintu-pintu neraka jahannam bagi orang-orang Islam untuk mereka jerumuskan kedalamnya. Ketahuilah, alangkah jeleknya perbuatan para pembangkang itu, yang menyesatkan manusia dengan mengatasnamakan agama, serta mendorong manusia agar berani melakukan perbuatan yang diharamkan Allah SWT.
            Selain alasan-alasan pihak yang menghalalkan riba, seperti yang kita kemukakan diatas, diantara mereka ada lagi yang menyebutkan bahwa bunga bank konvensional bukan “riba jahiliah”  yang diharamkan dalam al-Qur’an dan yang diancam pelakuya dengan perang, oleh Allah dan Rasulullah saw.”[2]
1. Perbedaan bank konvensional bank Islam
            Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang di gunakan, sayarat – syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP,NPWP,proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
a.      Akad dan aspek legalistas
Dalam bank syariah/Islam, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.”[3]
Setiap akad dalam perbankan syariah/Islam, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal – hal berikut:
  1. Rukun
Seperti:
-        penjual
-        pembeli
-        barang
-        harga
-        akad/ijab-qabul
  1. Syarat
Seperti syarat berikut.
-        Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah
-        Harga barang dan jasa harus jelas
-        Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
-        Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.”[4]

b.     Lembaga penyelesaian sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah/Islam terdapat perbdaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah/Islam.”[5]
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia
c.      Struktur organisasi
Bank syariah/Islam dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi oprasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengurus Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
d.     Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang mengandung unsur riba didalamnya.
Dalam perbankan syariah/Islam suatu pembiayaan tidak akan di setujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut :
1)     Apakah objek pembiayaan halal atau haram ?
2)     Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
3)     Apakah proyek berkaitan dengan pembuatan mesum/asusila ?
4)     Apakah proyek berkaitan dengan perjudian ?
5)     Apakah Usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal ?
6)     Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?.”[6]
e.      Lingkungan kerja dan corporate culture
Sebuah bank Islam selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan siddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas – tugas secara team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punisment, diperlukan prisip keadilan yang sesuai dengan syariah.”[7]
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dari tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam mengahadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi SAW. mengatakan senyum adalah sedekah.
f.      Perbandingan antara bank Islam dan bank konvensional
            Di Indonesia sudah banyak berkembang bank Syari‘ah, yaitu bank yang dalam operasionalnya menggunakan perangkat atau produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syari‘at Islam. Dalam pengembangan di berbagai peringkat, bank jenis ini tahan banting alias tidak goyah berhadapan dengan krismon dan juga petaka ekonomi dunia sekarang ini.
            Meskipun nama bank syari‘ah, namun nasabah nonmuslim boleh-boleh saja ber-muamalah dengannya. Tidak ada halangan sama sekali. Yang penting di sini, adalah prinsip dan operasionalnya harus sesuai dengan ketentuan syari‘ah. Berbeda sekali dengan prinsip dan operasional bank biasa atau disebut bank konvensional. Prinsip-prinsip dasar bank Syari‘ah, antara lain, Pertama, prinsip titipan atau simpanan Al-wadi‘ah, dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum. Harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
            Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
            Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk merangsang semangat masyarakat dalam menabung sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang asal tidak disyaratkan sebelumnya, dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijakan bank.
            Kedua, prinsip bagi hasil (profit-sharing), Al-Mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
            Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, diterapkan untuk pembiayaan modal kerja. Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan.
            Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp 30 juta diperoleh pendapatan Rp 5 juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp 2 juta. selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40 persen untuk bank.
            Ketiga, Al-Musyarakah. Sistem ini terjadi kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, Anda bisa menggunakan produk al-musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan Anda secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
            Keempat, prinsip Al-Murabahah. Dalam skim ini, terjadi jual-beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan. Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk pembelian mobil. Dalam bank konvensional Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Di sektor perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah.
            Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia. Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang diistilahkan dengan Murabahah. Dalam hal ini, bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank syariah menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada Anda, harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus Anda bayarkan relatif lebih tetap.
            Jadi, perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional, pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadi‘ah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor.
            Kedua, terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Maka bank harus “menjual” kepada nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan. Sebaliknya juga benar.
            Sementara bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan di muka.
            Ketiga, sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut. Sedangkan di bank syariah, penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu prinsip syariah. Artinya bahwa pemberian pinjaman tidak boleh ke bisnis yang haram seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. Demikianlah jawaban singkat pengasuh, semoga ada manfaatnya.”[8]


[1] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial – Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), hal. 10.
[2] Ibid,  hal. 54.
[3] Ramlan Mardjoned, Bahaya Riba dan Lilitan Utang, Cet. I (Jakarta : Media Dakwah 2005), hal. 19

[4] Muhammad, Manajemen Bank Syariah,( Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005 ),hal.56

[5] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,                                ( Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2003), hal. 28.
[6] Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & Perasuransian Syariah Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2004 ),hal. 45

[7] Sayyid Qutb, ,Haruskah Kita Hidup dengan Riba. Cet I (Jakarta : GIP.2002), hal. 58.
[8] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Yokyakarta: Ekonisia-FE UII, 2003), hal. 29-31.