Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Dasar dan Tujuan Larangan Riba


BAB III
HIKMAH LARANGAN RIBA DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN
Dasar dan Tujuan Larangan Riba

A.    Dasar dan Tujuan Larangan Riba
Adapun yang menjadi dasar dari pengharaman dari riba bagi umat Islam adalah sebagai berikut:
1.     Al-Qur’ân.
            Dalam masalah riba, al-Qur’ân telah menjelaskan beberapa tahap pengharaman, sehingga umat Islam dapat memahami rahasia syariat, yakni terdapat empat tahapan pengharaman yang terdapat di dalam ayat-ayat Allah. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
a).   Pertama, Firman Allah di dalam surat Ar-Rûm ayat 39 yang berbunyi:
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ) الروم: ٣٩(

Artinya:   Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah disisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat, yang kamu maksudkan untuk mencapai ridha Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat ganda pahalanya.(Qs. Ar-Rûm: 39)

Ayat di atas di turunkan di Mekkah, dari zahir ayat tidak menunjukkan haramnya riba. Akan tetapi hanya sebagai isyarat bahwa Allah benci terhadap praktek riba ini dan bahwasanya riba tidak memperoleh pahala disisi Allah. Jelaslah bahwa ayat ini sebagai peringatan Allah kepada manusia agar riba tidak dipraktekkan. 
Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hokum ekonomi/ keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan, keuangan secara umum, dan koperasi simpan pinjam.[1] Majelis tarjih Sidoarjo memutuskan: (a) riba hukumnya haram dengan nash sharih al-qur’an dan as-Sunnah; (b) bank dengan system bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal; (c) bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat;(d) menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank swasta waktu itu relatif rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).[2] Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan memutuskan: (a) mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya tentang konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga perbankan sesuai dengan kaidah Islam; (b) mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersebut dalam muktamar yang akan datang.[3]

b).   Kedua, firman Allah dalam surat An-Nisâ’ ayat 161 yang berbunyi:
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً) النساء: ١٦١(
Artinya:   Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih. (Qs. An-Nisâ’ :161).

Ayat ini diturunkan di Madinah. Ini menjadi suatu pelajaran sejarah yang diceritakan kembali oleh Allah mengenai kehidupan orang Yahudi, Allah telah mengharamkan kepada mereka memakan riba, tetapi mereka tetap mempraktekkannya. Oleh sebab itu mereka berhak menerima azab dan kemurkaan Allah. Ayat ini menunjukkan kepada pengharaman riba, tetapi hal tersebut diungkapkan dalam bentuk isyarat bukan secara terus terang sebab ayat tersebut hanyalah merupakan satu cerita yang menjelaskan tentang kejahatan orang-orang Yahudi. Pada ayat tersebut tidak terdapat petunjuk yang menunjukkan secara positif bahwa riba diharamkan kepada kaum muslimin. Tahap ini seruan tahap kedua diharamkannya minuman keras (khamar) sebagai firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 219 yang berbunyi:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ) البقرة: ٢١٩(
Artinya:   Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Demikian Allah menerangkan ayat-ayatnya kapadaku supaya kamu berfikir. (Al- Baqarah 219).

c).   Ketiga, maka firman Allah dalam surat Ali ‘imrãn ayat 130 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) آل عمران: ١٣٠(
Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keuntungan.(Ali ‘imrãn 130).

Ayat di atas diturunkan di Madinah, di dalamnya mengandung pengertian bahwa riba secara terus terang (langsung) diharamkan, tetapi hanya sebagian saja tidak menyeluruh, sebab yang diharamkan hanya semacam riba yang disebut الرباالفاحش"(riba yang sangat kejam), yaitu riba fadhal yang keburukannya telah sampai pada puncaknya, sedang kejahatannya telah sampai pada tingkat tinggi, karena riba seperti itu dalam kenyataannya atau praktek bunganya bertambah terus menerus sampai berlipat ganda, yang sangat memberatkan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya.
Muhammad Zuhri menjelaskan bahwa berbeda dengan umat Yahudi, umat Nasrani dalam hal riba, secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membedakan kalangan Nasrani maupun non-Nasrani. Tokoh-tokoh gereja sepakat berpegang pada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka.[4] “Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalanya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.”[5]
Tetapi ketika ayat ini sama juga seperti tahap ketiga pada pengharaman khamar, seperti firman Allah dalam surat An-Nisâ’ ayat 43 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً) النساء: ٤٣(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Qs. An-Nisâ’: 43).

2.     As-Sunnah
            Di dalam Hadith, Rasulullah telah meriwayatkan beberapa larangan riba secara tegas dan jelas, bahwa riba itu adalah diharamkan di dalam syari’at Islam. Hadith-Hadith itu menunjukkan diharamkannya riba. Hadith dari Abdullah Bin Mas’ũd yang diriwayatkan oleh Ibnu Mãjah, yaitu:
عن عبد الله بن مسعود أن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم لعن أكل الربا وموكله وشاهديه وكا تبه.  (رواه بن ماجه).

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda: Dilaknat pemakan riba, pemberinya, saksinya dan penulisnya.(HR. Ibnu Mãjah).[6]

Di samping itu juga, dalam Muktamar Ulama Islam yang diselenggarakan pada bulan Muharram tahun 1258 H (Mei 1965 M) di Aula Majma’aul Buhuts Al-Islamiyah di Al-Azhar Asy-Syarif menerangkan pendapat yang menimbulkan berbagai problem dalam bidang mazhab, ekonomi dan sosial dari berbagai Negeri. Keputusan hasil muktamar itu antara lain:
Pertama, Keuntungan dari berbagai pinjaman adalah riba yang diharamkan. Dalam hal itu tidak ada bedanya antara apa yang dinamakan pinjaman konsumsi dengan pinjaman produksi karena nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah secara keseluruhan telah menetapkan haramnya keuntungan dari kedua jenis pinjaman itu. Kedua, Riba baik sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. Pemberian pinjaman dengan riba hukumnya haram dan tidak bisa dibenarkan karena hajat atau keterpaksaan seseorang.  Ketiga, Praktek bank berupa rekening berjalan, tukar-menukar cek, kartu kredit, cambiale dalam negeri yang merupakan dasar hubungan bank dengan pengusaha dalam negeri, semuanya tergolong yang di benarkan, dan pungutan apapun sebagai jasa bank atas pekerjaannya tidak termasuk riba. Keempat, Semua rekening berjangka dan surat kredit dengan keuntungan dan berbagai bentuk rupa pinjaman dengan imbalan keuntungan (bunga) merupakan praktek riba.[7]

Al-Marãghi, mengatakan di dalam bukunya ”Tafsîr Al- Marãghi” menjelaskan tentang sebab-sebab pengharaman riba yaitu:
Pertama, Riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya, seperti berbagai jenis keahlian dan perindustrian. Maksudnya orang yang mempunyai uang dan bisa mengembangkan kekayaannya dengan jalan riba, maka orang tersebut akan meremehkan kerja. Sebab alur rezeki dapat mereka tempuh melalui jalur riba itu. Lalu, ia terbiasa dengan kemalasan, dan membenci pekerjaan. Yang menjadi tujuan adalah mengeruk kekayaan orang lain dengan cara yang bathil yang tidak di benarkan oleh agama. Kedua, Riba dapat melahirkan permusuhan, saling benci, bertengkar dan saling baku hantam. Sebab riba itu mencabut rasa belas kasihan dari hati dan mencemarkan harga diri, lantaran riba, perasaan saling rasa kejam dan sadis yang tak berperi kemanusiaan. Sehingga apabila terdapat seseorang yang miskin dan lapar, tidak ada seorang pun yang mau menolongnya untuk memberikan makanan guna menutupi kelaparan itu. Ketiga, Allah menggariskan secara muamalah antara sesama manusia di dalam hal bisnis. Antara satu pihak dengan pihak yang lain, dibolehkan mengambil keuntungan dengan jual-beli. Tetapi dalam riba, uang di ambil tanpa adanya pengganti (barang) dan ini merupakan suatu perbuatan yang dhalim. Keempat, Akibat dari perbuatan riba adalah kerusakan dan kehancuran. Banyak kita jumpai, bahwa harta seseorang ludes, rumah tangga hancur, karena mereka memakan riba.[8]



[1] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), hal. 58.

[2] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hal. 44.

[3] Antonio, Bank ..., hal. 62.
[4] Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur;an dan Perbankan: Sebuah Tilikan antisipatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 141.

[5] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba, dalam Jurnal ilmu dan Kebudayaan: ulumul Quran, No. 9, vol. I, th. 1991/1411H, hal. 46.
[6]Ibnu Mãjah, Sunan Ibnu Mâjah, terj. Abdullah Shonhaji, juz III, Cet. I, (Semarang: Asy Syifa’, 1993), hal. 112.

[7]Yusuf Qardhawi dan Sayyid Qutb, Shalah Muntasir, Haruskah Kita Hidup dengan Riba, terj. Salim Basyarahil, Cet. III, (Jakarta, GIP, 1992), hal. 59.

[8]Ahmad Mustafa Al-Marãghi, Tafsir Al-Marãghi, terj. Bahrum Abu Bakar, Juz III, Cet. I, (Semarang: Toha Putra, 1984), hal. 101-103.