Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dokrin Teologi al-Asy’ariah


BAB I
P EN D A H U L U A N


A.    Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran  kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai  arti majazi dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Sebaliknya, pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik  dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Al-Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan : Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[1]
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya   al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”.  Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.[2]
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”[3].
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertakwa.[4]
Politik kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Sejak itu, kaum Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut dari imam yang pernah menjadi korban mihnah  di zaman  al-Ma’mun. Perlawanan dari golongan ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl  al-Sunnah, atau Asy’ariyah.
Sekarang timbul persoalan, apa sesungguhya yang menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah? Rasanya tidaklah mungkin al-Asy’ari yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan tahun dan menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak puasnya menerima jawaban al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mu’tazilah telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan kata lain, mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat Islam dibiarkan   hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.[5]
Kemungkinan lain juga mungkin disebabkan seperti pendapat berikut bahwa : Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasywiah-the gross anthropomorphist  of some of the traditionalist) yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.
Secara faktual hal ini juga disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mu’tazilah. Adanya al-mihnah yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan kaum Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.935 M). Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah, mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan Mu’tazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari mengambil jalan tengah di antara dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.[6]
Meskipun demikian al-Asy’ari tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, “Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal (semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena itu adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah swt, ketika muncul kesesatan.”[7]
Berdasarkan uraian di atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.  Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.
B.    Dokrin Teologi al-Asy’ariah
Formulasi pemikiran al-Asy’ariah, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Muktazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualisasi formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.[8]
  1. Zat dan Sifat Tuhan.
Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi) makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad (tangan), dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti yang tersebut dalam ayat-ayat yang berbunyi :
QS. al-Fath ayat 10 sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً) الفتح: ١٠(
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
Tidak bisa disamakan dengan wajah, tangan, dan penglihatan manusia atau dengan apa yang ada pada makhluk-Nya. Hal itu bila kaifa (tidak bisa ditanyakan bagaimananya). Nama-nama Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah swt yang mempunyai Ilmu, Mendengar dan Melihat merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan dari-Nya[9].
Jadi menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki tangan, wajah, singgasana dalam bentuk materil_seperti kata Ahlussunnah_meskipun hal ini berbeda dengan yang ada pada makhluk. Namun menurutnya seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah memiliki tangan, wajah dan singgasana tanpa usah bertanya-tanya bagaimana adanya sifat-sifat ini bagi Allah.[10]
  1. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Menurut al-Asy’ari, Kekuasaan Tuhan (predestination) adalah mutlak. Dia Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan Kehendak-Nya dan Kekuasaan Mutlak-Nya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia memiliki andil yang disebut Kasb (usaha).[11]
Perbuatan manusia menurut al-Asy’ari disebut al-Kasb dan tidak ada fi’il bagi kasb kecuali Allah. Demikian juga tidak ada khaliq kecuali Allah. Tidak ada orang yang mampu menciptakan secara hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti fa’il secara hakiki. Karenanya, Kasbi mestilah dari muktasib yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman, dan perbuatan jahat seperti kufur, sebenarnya Allah yang menciptakannya.[12]
Tampaknya al-Asy’ari ingin mengkompromikan antara paham Qadariah dan Jabariah tentang perbuatan manusia, usaha mengkompromikan ini dikenal dengan konsep “al-kasb”.
Berdasarkan teori ini mereka memandang bahwa perbuatan manusia baik yang dilakukannya secara terpaksa atau atas ikhtiarnya adalah ciptaan Allah, qudrat manusia tidak bisa memberikan pengaruh pada perbuatannya, tetapi ia memiliki apa yang disebut Kasb yang selalu mengiringi qudrat yang terjadi pada manusia untuk perbuatan tanpa ada pengaruh pada qudrat itu.[13]
  1. Kalam Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Tuhan ini  dibedakannya menjadi dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan kalam Lafzi Kalam Nafsi adalah kalam dalam artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat qadim dan azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan termasuk makhluk.[14]
  1. Tentang Ru’yah kepada Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman dalam QS. al-Qiyamah ayat 22-23 :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ, إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (23) Kepada Tuhannyalah mereka Melihat(24).( Qs. al-Qiyamah: 22-23).

Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada. Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat.
  1. Tentang Pelaku Dosa Besar.
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asy’ari terlihat jelas penolakannya terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka. Menurut al-Asy’ari, pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan beberapa al-Sunnah, dinyatakan bahwa kalaupun berdosa besar, selama di hatinya masih ada iman, seseorang tidak kekal di neraka. Dan dalam keterangan beberapa ayat al-Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang musyrik dan kafirlah kekal di neraka.
Imam Asy’ari tidak mengkafirkan seorang muslim atau dosa yang telah diperbuatnya, seperti zina, mencuri, dan minum khamer, karena orang yang melakukan dosa besar tersebut pasti meyakini dan percaya bahwa sebenarnya perbuatan yang dilakukannya merupakan perb uatan haram.
Sementara itu Tuhan adalah berkuasa dan Berkehendak Mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk mengampuni atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan ini, maka yang pasti, menurut al-Asy’ari, pelaku dosa besar yang beriman tidaklah kekal di neraka. Yang kekal di neraka haruslah orang musyrik dan kafir. Dan berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya itu diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa terlebih dahulu di neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga; hal ini mutlakl urusan Tuhan.[15]
Menyangkut masalah Kekuasaan Tuhan Beliau berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun  yang bias menghalangi kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari semua penyebab. Kalau siang mengikuti malam, maka itu hanya karena Tuhan dengan kasih-Nya memudahkan pengulangannya. Dalam hal ini tidak ada kekekalan. Tuhan menciptakan dunia baru setiap saat. Meskipun beliau menerima takdir yang telah ditentukan sebelumnya, namun beliau juga memakai konsep “perolehan” (kasb), yang akan membuat manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.[16]

















BAB III
P E N U T U P
            Berdasarkan uraian yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan dan saran – saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1.     Secara histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
2.     Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja. Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
B. saran - saran
1.     Disarankan kepada para mahasiswa/I untuk memperdalam ilmu pengetahuan terutama tentang ilmu kalam, karena dengan mempelajari ilmu kalam kita akan mengenal secara detail perbedaan dalam islam.
2.     Disarankan kepada para mahasiswa/I untuk memperbanyak membaca, karena dengan banyak membaca banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.     Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat menjadi tauladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.





















DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution,Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V Jakarta: UI-Press, 2000.

Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.

Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,  Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin,  Bumi Aksara, t.th.

Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet.VII; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001.

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, t.th.

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli : Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam, Cet.IV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.

Ahmad Amin, Dhuha Islam, Kairo: Dar al-Misriyah, 1946.

Muhammad Maghfur W, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Cet.I; Bangil: Al-Izzah, 2002.

Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Diterjemahkan dari buku: “Mabadi’ al-Falsafah wa al-Akhlaq”. Penerjemah oleh Didin Faqihuddin, S.Ag. dkk. Cet.II; (Yogyakarta: IRGSoD, 2005.

Khalid ibn Abd. Latif ibn Muhammad Nur, Manhaj Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah wa Manhaj al-Asya’irah, Cet. I; Madinah: Maktabah al-Ghurabah al-Atsariyah, 1995.

Ahmad Abdul Azis, Ensiklopedia Islam, Alih Bahasa : Drs. Bahrul Ulum, M.Pd., Cet.I; Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2006.

Maghfur W. Muhammad, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,Cet.I; Bangil: Al-Izzah, 2002.



               [1] Harun Nasution,Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V (Jakarta: UI-Press, 2000), hal. 66.
               [2] Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam,  (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), hal.12.

               [3] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,  Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin,  (Bumi Aksara, t.th), hal.176.

               [4] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Cet.VII; (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001), hal. 95.
               [5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, t.th.), hal. 25.
               [6] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli : Al-Mi’ah al-A’zham fi Tarikh al-Islam, Cet.IV; (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hal.125.

               [7] Ibid, hal. 125-126.
               [8] Ahmad Amin, Dhuha Islam (Kairo: Dar al-Misriyah, 1946), hal. 92.
               [9] Muhammad Maghfur W, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Cet.I; (Bangil: Al-Izzah, 2002), hal. 44.

               [10] Ibid., hal. 44.

               [11] Ibid., hal. 45.
               [12] Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Diterjemahkan dari buku : “Mabadi’ al-Falsafah wa al-Akhlaq”. Penerjemah oleh Didin Faqihuddin, S.Ag. dkk. Cet.II; (Yogyakarta: IRGSoD, 2005), hal. 144.

               [13] Ibid., hal. 144.
               [14] Khalid ibn Abd. Latif ibn Muhammad Nur, Manhaj Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah wa Manhaj al-Asya’irah, Cet. I; (Madinah: Maktabah al-Ghurabah al-Atsariyah, 1995), hal. 345-347.
               [15] Ahmad Abdul Azis, Ensiklopedia Islam, Alih Bahasa : Drs. Bahrul Ulum, M.Pd., Cet.I; (Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2006), hal. 211-212.
               [16] Maghfur W. Muhammad, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,Cet.I; (Bangil: Al-Izzah, 2002), hal. 9.

Post a Comment for "Dokrin Teologi al-Asy’ariah"