BAB V
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENDUKUNG DAN MENGHAMBAT PELAKSANAAN METODE KETELADANAN DALAM PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Faktor
Pendukung
1. Orangtua
Faktor pendukung pelaksanaan metode keteladanan di SD Negeri 1 Dewantara, salah satunya adalah orangtua. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam Keluarga orangtua
bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak dengan pendidikan yang baik
berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spritual yang luhur”.[1] Orangtua berperan aktif dalam pembentukan watak anak yang berakhlak
mulia. Bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia ini tergantung pada orangtuanya.
Orang tuanya yang menjadikan bayi itu sebagai Yahudi atau Nasrani, atau Majusi.
Karena bayi itu lahir dalam keadaan suci. Bayi itu dilahirkan bagaikan papan
kosong yang akan meniru apa yang akan ditanamkan oleh kedua orangtuanya.
Keteladanan tidak berhenti pada areal tanggung jawab orangtua pada anak.
Keteladanan adalah sebuah keharusan maka orangtua harus menjadi teladan yang
baik bagi anaknya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ(رواه البخارى
و مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu,
ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi
seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.[2]
Keteladanan Orang Tua adalah metode paling efektif dan
jitu dalam pendidikan anak. Suri tauladan yang baik dari kedua orang tua adalah
fondari dasar kuat yang akan membuat anak mengagumi, menghormati perilaku orang
tua dan mendengar serta mentaati apa yang dikehendaki orang tua. Di samping
itu, keteladanan lingkungan dan tontonan juga tidak kalah pentingnya. Menurut
pengakuan yang disampaikan oleh Ibu Rosmiati, Kepala SD Negeri 1 Dewantara
bahwa:
Tanggung jawab pendidikan yang perlu dibina oleh kedua
orang tua terhadap anak antara lain; memelihara dan membesarkannya, melindungi
dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai
gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya,
mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi
hidupnya, sehingga apabila ia telah dewasa ia mampu berdiri sendiri dan
membantu orang lain serta melaksanakan kekhalifahannya, membahagiakan anak
dunia dan akherat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan
Allah sebagai tujuan akhir hidup muslim.[3]
Wawancara yang dilakukan penulis dengan Hasil Wawancara
dengan Ibu Jasmiah, Guru yang mengampu Mata Pelajaran Guru PAI SD Negeri 1
Dewantara, mengatakan “orangtua adalah pendidik yang bertanggung jawab penuh
terhadap pendidikan akhlak anaknya dan hukumnya wajib bagi orangtua untuk mendidik
akhlak pada anaknya”.[4]
Komentar diatas sesuai dengan pendapat Muhammad Nur Abdul
Hafizh Suwaid dalam bukunya Prophetic Parenting, Cara Nabi Mendidik Anak
menurut beliau “suri teladan yang baik memiliki dampak yang besar pada
kepribadian anak. Sebab, mayoritas yang ditiru anak berasal dari kedua
orangtuanya. Bahkan, dipastikan pengaruh paling dominan berasal dari kedua
orangtuanya”.[5]
Orangtua dituntut lebih hati-hati dalam memberikan contoh pada
anaknya. Kesalahan dalam membentuk karakter anak tanpa sengaja dapat terjadi
karena keteladanan yang buruk. Akibatnya bisa fatal, yaitu membentuk karakter
yang rusak. Memang banyak tips dan cara untuk mendidik anak, ada yang dengan
metode A dan ada yang menyarankan dengan metode B. Namun, dari setiap
metode-metode yang ada, metode keteladanan adalah metode yang jitu dalam
pendidikan anak-anak di keluarga. Di bawah ini pengakuan Ibu Rosmiati, Kepala SD Negeri 1
Dewantara bahwa pendidikan di rumah sangat penting dalam mendidik anak karena:
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan itu akan
terbentuk hanya di sekolah-sekolah. Jadi tidaklah perlu orang tua mengarahkan
anak-anaknya di rumah. Bahkan ada sebagian orang tua yang tidak tahu tujuan
dalam mendidik anak. Perlu dihadapi, bahwasanya pendidikan di rumah yang
meskipun sering disebut sebagai pendidikan informal, bukan berarti bisa
diabaikan begitu saja. Orang tua harus memahami bahwa keluarga merupakan
institusi pendidikan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan institusi
pendidikan formal. Ini bisa dimengerti karena keluarga merupakan sekolah paling
awal bagi anak. Di keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan
pengetahuan, pengajaran dan pendidikan.[6]
Menurut Ibrahim
Amini “Mendidik dengan memberi contoh adalah salah satu cara yang paling banyak
meninggalkan kesan. Carilah sosok figur yang memiliki nilai-nilai yang ingin
kita ajarkan di tengah-tengah mereka.
Teladan itu seperti magnet yang menyedot anak murid untuk mengikuti apa yang
mereka lihat dengan kepala mata sendiri”.[7]
Tidak ada yang meragukan betapa efektifnya teladan itu karena di setiap jiwa
manusia tersimpan semangat seperti itu.
Selain itu, menurut pengakuan Hasil Wawancara dengan Ibu
Cut Putri, Guru PAI SD Negeri 1 Dewantara bahwa:
Orang tua juga harus mengetahui apa tujuan mereka
mendidik anak-anaknya. Apakah hanya
sekedar bisa survive di dunia ini ataukah menginginkan anak-anaknya menjadi
generasi-generasi yang berkepribadian Islam. Atau dengan kata lain, tujuan kita
mendidik anak adalah untuk menjadikan mereka anak-anak yang shaleh dan shalehah. Dan ini
merupakan tugas utama sebagai orang tua. Setiap orang tua muslim pasti menginginkan
anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan shalehah karena mereka nanti adalah asset yang sangat berharga baik di
dunia maupun di akhirat. Di dunia mereka akan senantiasa patuh pada Allah dan
kedua orang tuanya, dan bisa menjadi kebanggaan keluarga, sedangkan di akhirat
nanti mereka akan menolong kedua orang tuanya, karena amalan yang tetap
mengalir meskipun orang tua meninggal adalah doa anak shaleh dan shalehah.[8]
Keteladanan dalam dunia pendidikan adalah sangat penting,
apalagi sebagai orang tua yang diamanahi Allah berupa anak-anak untuk mereka
asuh dengan baik dan, maka orang tua harus menjadi teladan yang baik untuk
anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi figur yang ideal bagi anak-anak,
menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk
mampu menjadi uswatun khasanah. Syarat utama adalah kita sebagai orang tua
harus tahu Islam secara menyeluruh, bagi yang belum tahu Islam tidak ada kata
terlambat, belajar Islam menjadi prioritas agar kita menjadi uswah yang ideal
untuk anak-anak. Islam adalah
landasan yang ideal untuk membentuk suatu kepribadian, karena Islam adalah
aturan yang menyeluruh bagaimana manusia hidup di dunia ini.
2.
Pendidik
Pendidik/guru dalam Islam adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang palingbertanggung
jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan
oleh dua hal yaitu yang pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua
ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula
bertanggung jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentinga kedua orangtua
yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.[9]
Berdasarkan wawancara penulis kepada salah
satu pendidik SD Negeri 1 Dewantara yaitu, Ibu Cut Putri, Guru PAI SD Negeri 1
Dewantara “Pendidikan akhlak itu tidak sepenuhnya di bebankan pada pendidik
yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam saja, tapi semua pendidik
harus turut serta dalam pendidikan akhlak tersebut, kalau tidak begitu
pentrasferan nilai-nilai kesusilaan tidak akan berjalan secara maksimal”.[10]
Itulah kesadaran yang dimiliki oleh para pendidik SD Negeri 1 Dewantara akan
pentingnya pendidikan akhlak yang harus di ajarkan kepada para peserta didik,
melihat keadaan yang sekarang terjadi di seluruh belahan dunia pada umumnya dan
di Indonesia pada khususnya yaitu terjadinya kemerosotan akhlak para pemuda dan
pemudinya yang nyaris tidak mempunyai sopan santun lagi.
Menurut pengakuan Ibu Jasmiah, Guru PAI SD
Negeri 1 Dewantara bahwa
Keunggulan lain yang di miliki oleh pendidik SD Negeri 1 Dewantara yaitu “terdapat
pada kreativitas dalam pemberian pendidikan akhlak kepada peserta didik
walaupun mata pelajaran yang mereka ajarkan bukan mata pelajaran yang memiliki
materi khusus tentang keteladanan seperti mata pelajaran PAI. Mereka cukup menguasai keadaan kelas agar pendidikan akhlak dapat
berjalan dengan lancar.[11]
Hal itu cukup berdampak baik kepada para peserta didik di SD Negeri
1 Dewantara. Mereka sadar akan
pentingnya akhlak dalam kehidupan
sehari-hari, baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan di dalam
lingkungan sekolah. Agar hubungan antar sesama manusia dapat berjalan secara
lancer dan harmonis.
3.
Materi (bahan ajar)
Faktor pendukung pelaksanaan metode keteladanan dalam
proses belajar mengajar adalah materi. Pendidik yakin melalui materi,
pendidikan akhlak dapat diberikan kepada peserta didik. Banyak sekali materi
yang berhubungan dengan keteladanan, diantaranya materi tentang toleransi,
kisah nabi, kedisiplinan dan sebagainya. Melalui materi yang diajarkan tersebut
peserta didik menjadi paham akan hal-hal yang baik itu seperti apa, perbuatan
yang tercela itu tidak patut untuk ditiru, bagaimana bersikap, dan lain-lain.
Menurut pengakuan Ibu Rosmiati, Kepala SD Negeri 1
Dewantara bahwa:
Penyampaian keteladanan melalui materi adalah cara yang
mudah diserap oleh peserta didik. Apalagi, penyampaiannya dibuat sangat
menarik, bisa ditambahkan nyanyian dan dongeng-dongeng yang sangat menarik,
bisa ditambahkan nyanyian dan dongeng-dongeng yang sarat akan keteladanan, jika
peserta didik masih anak-anak, atau bisa juga dengan permainan yang mendidik
peserta didik akan sangat menikmati proses pembelajaran, tidak merasa tegang, tapi
nilai-nilai kesusilaan dapat benar-benar tertanam dalam benak peserta didik.[12]
Materi tentang keteladanan, sebaiknya diperbanyak pada
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), sebagai tonggak dasar pendidikan akhlak. Jadi, tidak
hanya pelajaran yang hanya mengedepankan kecerdasan otak saja yang selalu di
tambah jam pelajarannya, tapi juga pelajaran yang mengedepankan akhlak, yang
akhirnya akan membentuk manusia yang bermoral dan memiliki otak yang cerdas.
B. Faktor
Penghambat
1.
Lingkungan
Lingkungan memiliki peran penting dalam
mewujudkan kepribadian anak. Peran lingkungan dalam mewujudkan kepribadian
seseorang, baik lingkungan pra kelahiran maupun lingkungan pasca kelahiran
adalah masalah yang tidak bisa dipungkiri khususnya lingkungan keluarga. Menurut
Ibu Rosmiati, Kepala SD Negeri 1 Dewantara faktor penghambat pelaksanaan metode
keteladanan di SD Negeri 1 Dewantara dikarenakan:
Peserta didik bergaul dengan anak yang memiliki akhlak rusak atau akhlak
yang tidak baik. Peserta didik terbawa ke lingkungan
yang tidak baik, karena peserta didik berteman dengan teman yang tidak baik
pula. Peserta didik meniru semua yang dilakukan oleh temannya, meskipun yang
ditirunya tersebut adalah hal yang tidak baik, karena peserta didik yang masih
duduk di bangku Sekolah Dasar, biasanya belum bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk.[13]
Dengan sitem pengaruh lingkungan seperti
sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk hanya menekankan
pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem
pertahanan diri, anak-anak tetap akan menjadi santapan dunia yang serba modern.
Kalau tidak sekarang ya akhirnya akan bersentuhan juga. Menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit
mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya
oleh kebanyakan orang tua.
Selanjutnya Ibu Jasmiah, Guru PAI SD Negeri 1
Dewantara menjelaskan bahwa “lingkungan memang sangat berperan dalam
pembentukan kepribadian peserta didik, kalau lingkungan peserta didik itu baik,
maka akan baik pula kepribadian peserta didik”[14]. Lingkungan peserta didik di sekolah, berasal dari para pendidik dan
teman-temannya. Jadi, baik buruknya kepribadian peserta didik tergantung pada
lingkungan yang berada di sekitar peserta didik. Perlu
ditekankan bahwa lingkungan tidak seratus persen mempengaruhi manusia, karena
Allah menciptakan manusia disertai dengan adanya ikhtiar dan hak pilih. Dengan
ikhtiarnya, manusia bisa mengubah nasibnya sendiri.
2.
Kemajuan Teknologi
Menurut Abdullah Nashih Ulwan “beberapa faktor yang
menyebabkan penyimpangan anak-anak dan dorongan unktuk melakukan perbuatan
jahat dan dosa adalah film-film cerita kriminal dan pornographis yang mereka
lihat di gedung-gedung bioskop, telvisi, majalah dan buku-buku cerita cabul
yang mereka baca”.[15] Ibu
Cut Putri, Guru PAI SD Negeri 1 Dewantara mengatakan, faktor yang menghambat
pelaksanaan metode keteladanan dalam proses belajar mengajar di sebabkan: “Adanya
kemajuan teknologi yang pesat. Teknologi
yang pesat ditandai dengan menjamurnya laptop, hand phone, dan play station.
Layanan yang tersedia memang cukup banyak dan bermanfaat bagi pemakainya, tapi
banyak juga layanan yang tidak bermanfaat dan cenderung moral pemakainya”.[16]
Kemajuan teknologi juga berdampak pada perilaku
masyarakat seiring dengan kemajuan IPTEK, hal ini memberi dampak yang sangat
besar terhadap perilaku masyarakat yang semakin menjurus terhadap hal-hal yang
bersifat negatif. Pola-pola
perilaku masyarakat memiliki kecenderungan melenceng dari koridor-koridor
akhlak mulia.
Menurut pengakuan Ibu Jasmiah, Guru PAI SD Negeri 1
Dewantara Bahwa:
Pada masa modern sekarang ini terjadi pergeseran nilai-nilai pada
setiap ruas-ruas dan sendi-sendi kehidupan manusia. Pada hakikatnya Islam tidak
menentang perubahan, kemajuan dan kemodernan. Namun sebaliknya, Islam
mengharuskan umatnya untuk terus maju. Jaman modern merupakan tantangan yang
harus dihadapi dengan keteguhan iman dan prinsip yang kuat serta tidak merasa
asing melihat pembaharuan dan kemajuan yang begitu pesat. Asalkan perubahan,
kemajuan dan kemodernan tersebut mengarah ke hal yang positif.[17]
Pada
saat ini, hal yang harus diperhatikan secara serius yaitu fenomena yang dewasa
ini muncul, yakni tentang dilema yang dihadapi oleh pendidikan model Barat. Di
satu sisi, pendidikan model Barat terbukti berhasil secara maksimal
mengeksploitasi potensi intelektual manusia sehingga kemudian melahirkan
berbagai teknologi yang canggih. Namun di sisi lain, pendidikan model Barat
melupakan, jika tidak mau disebut gagal, pengemban aspek moral-spiritual
manusia. Alhasil, manusia modern dengan dunia teknologi berhasil diciptakan,
akan tetapi jiwa-jiwa mereka mengalami krisis moral-spiritual.
SD
Negeri 1 Dewantara, memang tidak berada di kota besar. Ada manfaat positif dari hal
ini, yaitu manfaat positifnya, peserta didik tidak begitu terkena dampak
kemajuan jaman, seperti kemajuan teknologi yang membuat peserta didik menjadi anak yang tidak mengenal budaya dan
tidak tahu tata krama. Sedangkan dampak negatifnya adalah adalah siswa SD Negeri 1 Dewantara kurang menguasai teknologi.
[1]Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Keluarga (Sebuah Perspektif Pendidikan Islam), (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hal. 31.
[2] Abu Abdullah bin Muhammad Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 1, (Mesir: Maktabah, Al-Husaini, t.t.), hal.
208.
[5] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting, Cara Nabi
Mendidik Anak, (Yogjakarta: Pro-U Media, 2010), hal. 139.
[9]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 74.
0 Comments
Post a Comment