BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama
tasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang filsafat dan
ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan begitu saja dalam lembar sejarah
pemikiran politik Islam. Al-Ghazali merupakan seorang ahli sufi yang bergelar
“hujjatul Islam” karena intelektualitas yang dia miliki dan sumbangsihnya
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam saat itu. Abu Hamid Ibnu
Muhammad al-Tusi al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Tusi, Parsi pada
tahun 450 Hijrah. Sejak kecil, dia telah menunjukkan kemampuan luar biasa
dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Imam Al – Ghazali bukan saja
produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli
fikir Islam yang terbaik dengan karya-karya monumentalnya. Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya mengembara dan
merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama
yang hidup pada zamannya. Hasil kerja kerasnya dapat dinikmatinya sewaktu
berada di Baghdad, Al-Ghazali dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad.
Walaupun telah bergelar mahaguru, Imam Al –
Ghazali masih merasakan kekurangan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Karena itu, Al – Ghazali meninggalkan jabatannya untuk mendalami tasawuf dengan
pindah ke Makkah sambil berguru dengan ahli-ahli sufi yang terkenal. Tindakan
ini dia ambil sebagai wujud ketertarikannya mendalami kajian tasawuf yang
dirasa menantang. Selain belajar dan mengkaji, Al-Ghazali juga banyak menulis.
Al – Ghazali telah menulis 300 buah buku mencakup pelbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti mantik, akhlak, tafsir, ulumul Quran, filsafat, dan
sebagainya yang disimpan di Baghdad. Namun sebagian besar hasil tulisannya
telah hangus dibakar oleh tentara Moghul yang menyerang kota Baghdad.
Kitab-kitab yang musnah antara lain: 40 Jilid Tafsir, Sirrul Alamain (Rahasia
Dua Dunia), dan al Madhnuuna bihi ala Qhairiha (Ilmu Yang Harus Disembunyikan
Dari Orang’orang Yang Bukan Ahlinya,). Cuma 84 buah buku tulisan yang terbaik
yang bisa diselamatkan seperti Al Munqiz Mm al Dhalal (Penyelamat Kesesatan),
Tahafut al Falsafah (Penghancuran Falsafah), Mizanul Amal (Timbangan Amal),
Ihya Ulumuddin (Penghidupan Pengetahuan), Mahkun Nazar (Mengenai Ilmu Logik),
Miyarul Ilmu, dan Maqsadil Falsafah (Tujuan Falsafah).
Meskipun Al-Ghazali banyak menulis mengenai
filsafat tetapi dia tidak dianggap sebagai seorang ahli filsafat. Malah
kebanyakan beberapa kalangan menggolongkan Al-Ghazali sebagai seorang yang
memerangi dan bersikap anti filsafat. Pandangan ini berdasarkan tulisan
Al-Ghazali dalam buku Tahafut Falsafah yang banyak mengkritik dan mengecam
filsafat. Bahkan dalam buku tersebut, Al-Ghazali menyatakan tujuan menyusun buku
itu adalah untuk menghancurkan filsafat dan menggugat keyakinan orang terhadap
filsafat. Namun, pandangan bahwa Al-Ghazali seorang yang anti filsafat tidak
disetujui oleh beberapa kalangan sarjana karena dianggap membelenggu kebebasan
berpikir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al
Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak
di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058
M).[1]
Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang,
karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga
diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah
yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya
hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal
pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat
disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan
keberhasilan anaknya sesuai do’anya. Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya
meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: Ayahnya sempat menitipkan Al
Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik. Ayahnya
menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik
dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut
ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan
sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah
Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di
Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini
meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm
Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar,
sehingga ia tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat
menjadi guru di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan
sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan
bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah,
golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti
di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus
pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya
serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia
tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang
dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[4]
B.
Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari
pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang
tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena
itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa
persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang
azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia
pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat
semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.[5]
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok
Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik,
ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif. Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[6]
1. Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para
filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
2. Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para
filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al
Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
3. Mi’yâr Al ‘Ilm
(kriteria ilmu-ilmu).
4. Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang
berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
5. Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari
kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan
merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
6. Al Ma’ârif Al
‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
7. Misykat Al
Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
8. Minhaj Al
‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
9. Al Iqtishâd fî
Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
10. Ayyuhâ Al Walad
(wahai anak).
11. Al Mustasyfa
(yang terpilih).
12. Iljam Al ‘Awwâm
‘an ‘Ilm Al Kalâm.
13. Mizan Al ‘Amal
(timbangan amal).
C.
Filsafat Imam Al Ghazali
1.
Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi reaksi
keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para filosof,
karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu, Al
Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al Farabi dan
Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru mereka. Menurut
Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas tersebut ingin
meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan
ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna bagi pencapaian
intelektual mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga
masalah pokok, yaitu:
a.
Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam
menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba
teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm,
sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab
gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab
ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan
digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab
musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya.
Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b.
Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan
mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan dzat
Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan sampai
mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya saja.
Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para
mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang
diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima,
yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits
(berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan
Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan menetapkan
kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat
yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini
bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya.
Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak),
‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam
(Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c.
Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak terbatas
dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan perbuatan
manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah
SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi
pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis
qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan permasalahan
kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2.
Tasawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada
kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.[7]
Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut: “Cahaya
itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siap yang menyangka bahwa
kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah
mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas… Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan
bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya
bagi Al Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan
dengan Tasawuf.[8]
Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat
serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad
tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid Umawi di Damaskus.
Tasawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang
berkembang saat itu. Ia
tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya
tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan
hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tashawuf mulai
digandrungi masyarakat lagi.
3.
Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya adalah
sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka
hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya,
akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.[9]
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah
dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn
Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa,
kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan
dan sebaliknya. Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan
filosof lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa
bernafsu (an nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs
as sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh
Tuhan yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok,
yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian
dan keadilan. Empat hal ini
merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan
tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi
tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi
tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al
mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam
daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan
penggabungan antara akal dan wahyu. Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salah satu
karya Al Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat
dikatakan bahwa filsafat etika Al Ghazali adalah Tasawuf Al Ghazal, yang
bertujuan pokok: Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan
sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta
sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan
jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan.
Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah
menahan diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya
mencintai Allah SWT. Al Ghazali
berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan
dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah
muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua, yaitu
kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan
(sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu
sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al qalb).[10]
D.
Pengaruh Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali terhadap Masa dan
Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa setelahnya,
karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm karena
jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai serangan
dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat. Pemikiran Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya memiliki
satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang berangkat dari titik pemikiran Ibn
Sina dengan aliran filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul wujûd. Al Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang mengajarkan tiga
hal (keabadian alam, pengetahuan Tuhan yang universal dan menolak bangkitnya
jasad setelah mati) adalah kafir, termasuk yang mengikutinya.[11]
Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al Ghazali
dari karya-karyanya, yaitu:[12]
1.
B Mic Donal menerjemahkan beberapa pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
2.
H Baeur yang menterjemahkan Qawâ’id Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam
bahasanya, yaitu Dogmatic Al Ghazali’s.
3.
Carra De Vaux yang menterjemahkan buku Tahâfut Al Falâsifah.
4.
De Boer dan Asin Palacois yang masing-masing menterjemahkan Tahâfut
Al Falâsifah.
5.
Barbier De Minard yang menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
6.
WHT. Craidner, London yang menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.
BAB
III
P E
N U T U P
Berdasarkan pembahasan pada bab –
bab diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan
dan saran – saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1.
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn
Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058
M). Ayahnya adalah memintal benang wol.
2.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan
Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali
dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar
Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari
hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad
menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri
untuk beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil
Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
3.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam
ilmunya dan pengarang produktif.
4.
Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al
Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al
Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al
I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan
Mizan Al ‘Amal.
5.
Filsafat Imam Al Ghazali meliputi Filsafat Ketuhanan (Masalah
Wujud, Dzat dan Sifat serta Af’al); Tashawuf Al Ghazali, tidak melibatkan diri
dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar
dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil
argumen Ilmu Kalam; Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali. Akhlâq adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
B.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam dan khususnya kepada mahasiswa
Perguruan Tinggi Islam untuk dapat memperdalam ilmu tentang masalah – masalah
yang berkenaan dengan filsafat
2.
Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat belajar dengan giat
terutama tentang filsafat islam demi
untuk mengenal ilmu filsafat yang lurus.
3.
Disarankan kepada pihak orang tua agar dapat mendidik anak sesuai dengan tuntunan
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Sirajuddin, Filsafat Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007.
Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1999.
Ahmad Syadani, Filsafat Umum, Bandung:
Pustaka Setia, 1997.
Yunasril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya, Filsafat, Bandung: CV
Insan Mandiri, 2011.
Aly Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisme, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Yunasril Ali, Perkembangan
Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Magniz Franz Suseno, Dua Belas Tokoh Etika
Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Ibrahim Madkur, Fî Al Falsafah Al
Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh, Kairo: Dâr Al Ma’ârif, 1968.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
[5] Ibid., hal. 68.
[6] Hermawan,
A. Heris dan Yaya Sunarya, Filsafat, (Bandung: CV Insan Mandiri, 2011), hal. 91-92.
[8] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal.
31.
0 Comments
Post a Comment