Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama
mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja
berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan
sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya
berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya
berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan
dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya,
dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar
dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan
kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh
Allah SWT. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan
tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah SWT mengutus
para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rasulullah lahir
ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’
adalah khitab Syari’ (seruan Alloh sebagai pembuat hukum) baik yang
sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan
yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang bukan
tergolong mutawatir.
Dengan latar belakang
di atas, maka penulis mencoba memaparkan tentang Hadits dan fungsinya serta
kewajiban umat manusia terhadap Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS
Pengertian Hadits
dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut terminoligi.
Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :
1. Jadid yang berarti
baru
2. Qarib yang artinya dekat, dan
3. Khabar yang artinya berita
Sedangkan
pengertian hadits secara terminologis adalah :“Segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir)
dan sebagainya”.[1]
Seperti
disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu perkataan,
perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat
elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Perkataan
Yang dimaksud dengan
perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah, pendidikan dan
sebagainya.
2. Perbuatan
Perbuatan adalah
penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap peraturan-peraturan
syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah rakaat,
cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang
merupakan penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah
sabdanya.
3. Taqrir
Taqrir adalah keadaan
beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan dan reaksi terhadap
tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang dilakukan oleh
para sahabatnya itu.
4. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasululloh
Sifat-sifat, dan
keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan komponen Hadits yang meliputi
:
- Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan
dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli sejarah baik mengenai sifat
jasmani ataupun moralnya
- Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun
kelahirannya yang ditetapkan oleh para sejarawan
- Himmah (keinginan) Nabi untuk
melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk berpuasa setiap tanggal
9 Muharram.[2]
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan
kitab suci terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab Al-Qur’an adalah sebagai
penyempurna dari kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan sebelumnya.
Al-Qur’an dan Hadits
merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam
memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah
mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan
bahwa: “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi,
sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad
lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. Adapun fungsi hadits terhadap Al-Quran
adalah sebagai berikut:
1. Bayan At-Taqrir
Menguatkan dan
menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di sini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al-quran
menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
$y
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Q.S AlBaqarah/2:183)
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa
tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara :
“persaksian bahwa tidak ada Tuhan selainAllah , dan Muhammad adalah rasulullah,
mendirikan shalat , membayar zakat puasapada bulan ramadhan dan naik haji ke
baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Bayan At-Tafsir.
yang dimaksud dengan
bayan At-Tafsir adalah memberikan perincaian dan penafsiran terhadapa ayat-ayat
Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat
Al-Quran yang masih mutlaq, dan memberikan taksis (penentuan khusus) terhadap
ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Contoh, ayat-ayat Al-Quran yang masih
mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyari’atkan jual
beli, pernikahan, qiyas, hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Quran tentang
masalah tersebut masih bersifat mujmal, baik cara mengerjakan, sebab-sebabnya,
syarat-syarat, ataupun halangan-halanganya.
Rasulullah mempunyai
tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.
An-Nahl ayat 44:
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44)
Fungsi Hadits sebagai penafsir Al-Quran dapat
dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
1. Menafsirkan serta
memperinci ayat-ayat yang masih mujmal (bersifat global) Misalnya Al-qur`an
menyatakan perintah shalat :
Artinya: “Dan
dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110)
Shalat dalam ayat
diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib
dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin
Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Baduikepada Rasulullah SAW.
dan berkata :“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salatapa yang difardukan
untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalahsunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Al-Qur`an tidak
menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal
ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda RasulullahSAW:“Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
2. Memberikan batasan
(taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat muthlaq.
Umpamanya, hadis Nabi Nabi Saw. yang
memberikan penjelasan tentang batasan untuk melakukan pemotongan tangan
pencuri, yang di dalam Al-Quran disebutkan secara muthlaq, yaitu:
ä-
Artinya: Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat
tersebut masih bersifat muthlaq, yaitu belum diterangkan tentang batasan yang
jelas tentang tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potong tangan
tersebut. Maka hadits nabi Saw datang menjelaskan batasan (taqyid), yaitu bahwa
yang dipotong itu adalah hingga pergelangan tangan saja.
3.
Mengkhususkan (takshish) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am).
penjelasan
sunnah terhadap Al-Quran, di samping memperinci hukum yang bersifat global
(mujmal), juga ada yang bersifat takhshish, yaitu mengkhususkan keumuman ayat,
seperti penjelasan rasul tentang ayat:
Artinya: Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
(Q.S. An-Nisa’: 11)
Ayat
di atas adalah bersifat umum, yaitu menjelaskan adanya kewarisan setiap anak
terhadap orang tuanya. Kemudian hadits mengkhususkan, di antaranya bahwa
keturunan Rasul (anak-anaknya) tidak mewarisi, sebagaimana yang dijelaskan
beliau di dalam sabdanya:
نَحْنُ
مَعَاشِرُ اْلأَنْبِيَاءِ لاَ نُوْرَثُ مَا تَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ (رواه البخاري)
Artinya: Kami seluruh para Nabi, tidak diwarisi, apa
yang kami tinggalkan adalah sedekah. (H.R. Bukhari) (H. R. Bukhari).[3]
3. Bayan At-Tasyri’
Hadits menetapkan
hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Banyak hal yang hukumnya tidak
ditetapkan secara pasti. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk
Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan
memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang
berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki, hukum
hak waris seorang anak.
Dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits
dibawah ini:
“Rasulullah Saw.
telah mewjibkan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma
atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan[4]
Hadis yang termasuk
bayan at-tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana halnya dengan hadis-hadis
lainnya. ketiga bayan yang telah di uraikan di atas, telah disepakati oleh para
ulama, namun untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh, terjadi perbedaan
para ulama. ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Quran sebagai nasikh dan
ada yang menolaknya.
4. Bayan An-Nasakh
kata An-nasakh dari
segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbal (membatalkan) atau
al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tayir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan
bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
mentafrifkan. Hal ini pun terjadi pada kalangan ulama Mutaakhirin dengan ulama
mutaqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh adalah dalil syara’ (yang dapat
menghapuskan ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.
Dari pengertian di
atas, jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan
ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai sebagai yang datang kemudian
dari Al-Quran, dalam hal ini, dapat menghapuskan ketentuan dan isi kandungan
Al-Quran. Demikia menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-Nasakh.
Sedangkan imam Hanafi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis-hadis yang
mutawatir dan masyur. sedangkan terhadap hadist ahad beliau menolaknya. salah
satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama hadis adalah:
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارَثٍ
Artinya: “Tidak ada
wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini mereka me
Nasakh isi Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 180[5]
|=
Artinya: Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
(Q.S. Al-Baqarah: 180)
C. Hubungan Hadits
Dengan Al-Quran
Al-Hadits
didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada
Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua
redaksi berbeda. Pertama adalah Athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua
adalah Athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Perintah pertama mencakup
kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah
SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi’u.
Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal
yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan
kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu
–dalam kondisi tertentu– walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah
SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka’ab yang ketika sedang
shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata
athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulul
Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah
mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Perhatikan Firman Allah dalam Al-Nisa’ ayat 65, Menerima ketetapan
Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan
dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu,
merupakan syarat keabsahan iman seseorang. Demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran
Surah Al-Nisa’ ayat 65 yang berbunyi:
Artinya: Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Tetapi, di sisi lain,
harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran
dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi,
diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril
hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan,
karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak
sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang
menurut adat mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu
Al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya
disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang
sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Di samping itu, diakui pula
oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis
teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan
hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan
tabi’in.
Ini menjadikan kedudukan
hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud. Walaupun demikian, itu
tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak
factor, baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial
masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi
berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
D. Jenis-jenis Hadits
1. Hadits Qauliyah
Sunnah Qauliyah yaitu
perkataan Nabi saw, yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur-an
serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlak
yang mulia.Sunnah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga hadits Nabi Saw. Contoh
Hadits Nabi Saw tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat yang berbunyi:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ
يَقْرَأْ بِأُمِ اْلكِتَابْ
Artinya: Tidak shah shalat seseorang yang tidak membaca ummul
Quran (Al-Fatihah)
Sunnah qauliyah sering juga
disebut "khabar" jadi sunnah qauliyah itu boleh dinamakan sunnah, hadist
atau khabar. Khabar, pada umumnya
dapat dibagi tiga:
1.
Yang pasti benarnya, seperti apa yang datang dari Allah, Rasulnya
dan khabar yang diberikan dengan jalan mutawatir.
2.
Yang pasti benarnya,yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak
mungkin dibenarkan oleh akal,seperti khabar hidup dan mati dapat berkumpul.Atau
khabar yang bertentangan dengan ketentuan syari'at,seperti mengakui menjadi
Rasul yang tidak ada kenyataan mu'jizat.
3.
Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti
khabar-khabar yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang
kuat, benarnya atau bohongnya.Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak
pasti (qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga
kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasik.
2. Hadits Fi’liyah
Sunnah Fi'liyah yaitu
perbuatan Nabi saw, yang menerangkan cara melaksanakan ibadat, misalnya cara
berwudlu', shalat dan sebagainya, yang sampai kepada kita, contohnya adalah:
hadits yang Rasulullah yang berbunyi:
صَلُوْا كَمََا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُ صَلِّى (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Shalatlah
kalian melihat sebagaimana kalian melihat saya shalat (H.R. Bukhari dan Muslim)
ِ3. Hadits Taqririyah
Sunnah Taqriyah yaitu,
bila Nabi saw, mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat
mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi saw,
dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah
ketetapan Nabi.
Di antara contoh hadis
taqriri, ialah sikap Rasul Saw. membiarkan para sahabat melaksanakan
perintahnya, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya, yang berbunyi:
لاَ يُُصَلِِّيْنَ أَحَدٌ الْعَصرَ لاَ فِى بَنِيْ قُرَيْضَةَ (رواه لبخاري)
Artinya: “Janganlah
seseorangpun shalat ashar, kecuali tiba dibani Quraizhah”
Sebagian sahabat memahami
larangan tersebut berdasarkan hakikat perintah tersebut, sehingga mereka melaksanakan
shalat asar pada waktunya. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah
tersebut dengan bersegera menuju Bani Quraizah dan tidak berlama-lama dalam
peperangan, sehingga mereka dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya.
Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi Saw. dengan tanpa menyalahkan atau
mengingkarinya.
4. Hadits Hamni
Yang dimaksud dengan Hadits
hamni adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad Saw. yang belum
terealisasikan, seperti halnya keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura,
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas, yang
artinya: “Ketika Nabi Muhammad Saw. berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata” Ya Nabi, hari ini
adalah hari yang di agungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani” Nabi SAW.
bersabda, “Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang
kesembilan-nya.”( HR. Muslim dan Abu Daud)
5.
Hadts Ahwali
Yang dimaksud dengan hadits
ahwali adalah yang menyebutkah hal ihwal Nabi Muhammad Saw, yang menyebutkan
keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Adapun tentang keadaan fisik
Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa hadts disebutkan bahwa beliau tidak terlalu
tinggi dan tidak pendek, sebagimana dikatakan dalam sebuah hadts yang berbunyi:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسَ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا
لَيْسَ باِلطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ بِالْقَصِيْرِ (رواه الخاري)
Artinya: Rasulullah
Saw. adalah orang yang memilki sebaiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak
tinggi dan tidak pendek (H.R. Bukhari)[6]
BAB III
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian
yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hadits merupakan berbagai hal yang telah
diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dajadikan pedoman dan
contoh bagi umat Islam.
2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai
penguat hukum yang telah ada dalam Al-Quran, dan memperjelas, menetapkan hukum
baru, memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat apa di dalam Al-Qur’an yang
masih bersifat global (mu’mal), membatasi kemutlakan Al-Quran.
3. Hadits dan Al-Qur’an adalah merupakan
sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sebagai sumber hukum pertama kedudukan Al-Quran lebih tinggi dari pada
Hadits. Demikian pula bila kita lihat dari segi fungsinya Hadits hanyalah untuk
memjelaskan dan memperkuat hukum yang telah ada dalam Al-Quran, sedangkan
apabila belum ada dalam Al-Quran fungsi Hadits adalah untuk membuat hukum baru
yang belum ada dalam Al-Quran itu sendiri.
4. Adapun jenis-jenis hadits adalah: Hadits Qauliyah, Hadits Fi’liyah, Hadits
Taqririyah, Hadits Hamni, Hadts Ahwali.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
H. Mudasir, Ilmu Hadits,
Bandung: Pustaka Setia, 2005
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1993.
Bisri Affandi, “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir &
Hadits)”.Suarabaya: Aneka Bahagia Offset, 1993
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2001.
[1] Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 1.
[2]Bisri Affandi, “Dirasat
Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”. (Suarabaya: Aneka Bahagia Offset,
(1993), Hal. 41.
[3]Nawir Yuslem, Ulumul
Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya), Hal. 72-73.
[4] H. Mudasir, Ilmu
Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 76-84.
[5] Ibid., hal.
85.
[6] H. Mudasir, Ilmu
Hadits…, hal. 33-37.