Hakikat Pembelajaran Tahsinul Qiraah
BAB
II
PERSPEKTIF
TEORITIS PEMBELAJARAN TAHSINUL QIRAAH
A. Hakikat Pembelajaran Tahsinul Qiraah
Pembelajaran atau
mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau
belajar. Sedangkan belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan,
tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan.[1]
Apabila dilihat dari arti belajar pada Bab I, yang menyatakan bahwa perubahan
yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan
menjadi milik siswa, maka dalam belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan
kemampuan mentalnya. Dengan demikian maka mengajar haruslah mengatur lingkungan
agar terjadi proses belajar mengajar dengan baik. Dari pengertian tersebut
mengajar mempunyai dua arti, yaitu: Menyampaikan pengetahuan kepada siswa, dan Membimbing
siswa.
Dua arti belajar di atas
menunjukkan bahwa pelajaran lebih bersifat pupil-centered, dan guru
berperan sebagai meneger of learning. Hal ini membedakan dengan mengajar
dalam arti menanamkan pengetahuan, yang biasanya pelajaran bersifat teacher-centered.
Mengajar yang berarti menanam pengetahuan, tujuannya adalah penguasaan
pengetahuan anak. Anak dianggap pasif, dan gurulah yang memegang peranan utama.
Kebanyakan ilmu pengetahuan diambil dari buku pelajaran yang tidak dihubungkan
dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran serupa ini disebut
intelektualitas, sebab menekankan pada segi pengetahuan.[2]
Hal di atas berbeda
dengan pengertian belajar: “suatu aktivitas mengatur dan mengorganisasi
lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi
proses belajar”. Perbedaan itu ditunjukkan pada mengajar di sini adalah usaha
dari pihak guru untuk mengatur lingkungan, sehingga terbentuk suasana yang
sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar. Artinya yang belajar adalah anak itu
sendiri dan berkat kegiatannya sendiri, sedangkan guru hanya dapat membimbing
anak. Dalam membimbing tersebut guru tidak hanya menggunakan buku pelajaran
semata, tetapi dimanfaatkannya segala faktor dalam lingkungan, termasuk
dirinya, alat peraga, lingkungan, dan sumber-sumber lain.[3]
Uraian di atas memberikan
batasan-batasan yang benar tentang mengajar, yaitu: Pertama, Mengajar
adalah membimbing aktivitas anak. Artinya yang belajar adalah anak sendiri,
sedangkan tugas guru adalah mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak.
Jadi yang aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya. Kedua, Mengajar
berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil
interaksi anak dengan lingkungan. Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang
dinamakan belajar. Dari pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian,
sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh
lebih luas dibandingkan dengan buku dan kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak
adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya dihubungkan dengan
kehidupan anak dalam lingkungannya Ketiga, Mengajar berarti membantu
anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Artinya mengajar
adalah mengantarkan anak agar bakatnya berkembang. Sedangkan membantu anak
untuk supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat diupayakann dengan
memberikan pelajaran yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini agar
lebih sanggup mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya. Dengan upaya
tersebut diharapkan anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk
lingkungan sosialnya. Ia harus belajar berpikir, merasa, dan berbuat sesuai
dengan norma-norma lingkungan.[4]
Dalam pembelajaran tahsinul qiraah
guru tidak hanya mengambil semua kesempatan untuk menjelaskan, tetapi memberi
kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Jika
kesempatan itu tidak diberikan maka guru tidak mengetahui apakah siswanya sudah
memahami materi pembelajaran itu, dan akibatnya tujuan pembelajaran tahsinul
qiraah tidak tercapai.
Berdasarkan kegiatan yang
ditimbulkannya, strategi pembelajaran dapat di-bagi dua macam, yaitu strategi
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, dan strategi pembelajaran yang
berpusat pada pendidik.[5]
Kedua macam strategi tersebut dapat diuraikan di bawah ini :
1.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
adalah kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
peserta didik untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
pembelajaran. Stra-tegi ini menekankan bahwa peserta didik adalah pemegang
peran dalam proses keseluruhan kegiatan pembelajaran, sedangkan pendidik
berfungsi untuk mem-fasilitasi peserta didik dalam melakukan kegiatan
pembelajaran.[6]
Strategi pembelajaran ini juga memiliki keunggulan dan
kelemahan, keunggulannya adalah:
a. Siswa akan
dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena peserta
didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi.
- Siswa memiliki
motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajar-an.
- Tumbuhnya suasana demokratis dalam
pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar
membelajarkan di antara siswa.
- Dapat menambah wawasan pikiran dan
pengetahuan bagi siswa karena sesuatu yang dialami dan disampaikan siswa
mungkin belum diketahui sebelumnya oleh pendidik.[7]
Adapun kelemahan strategi pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik antara lain:
a. Membutuhkan
waktu yang relatif lebih lama dari waktu pembelajaran yang telah ditetapkan
sebelumnya.
b. Aktivitas
pembelajaran cenderung akan didominasi oleh sebagian siswa yang sering
berbicara, sedangkan siswa lainnya akan lebih banyak mengikuti jalan pikiran
siswa tersebut.
c. Pembicaraan
dapat menyimpang dari arah pembelajaran yang telah ditetap-kan sebelumnya.[8]
Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
ini pada dasarnya dapat diterapkan dalam semua metode pembelajaran perorangan,
metode pem-belajaran kelompok, dan metode pembelajaran komunitas atau massal.
Namun penggunaan strategi pembelajaran ini akan lebih efektif dalam metode
pem-belajaran kelompok.[9]
2.
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik
Strategi pembelajaran yang berpusat pada pendidik adalah
kegiatan pembelajaran yang menekankan terhadap pentingnya aktivitas pendidik
dalam mengajar atau membelajarkan peserta didik. Perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian proses serta hasil pembelajaran dilakukan dan dikendalikan oleh
pendidik.[10]
Strategi ini sangat sesuai untuk pembelajaran tahsinul
qiraah, karena dalam pembelajaran tahsinul qiraah dibutuhkan
strategi yang dapat mengaktif-kan guru dan siswa dalam pembelajaran supaya
tidak terdapat kekeliruan dalam memahami, meyakini serta mengamalkan ajaran Al-Qur’an
dan Hadits.
Maka dalam hal ini dituntut adanya hubungan yang erat
antara guru dengan murid, karena suksesnya suatu pendidikan sangat tergantung
kepada seberapa besar hubungan kasih sayang yang dijalin oleh seorang guru
dengan murid. Hubungan itu dianggap cukup bila mampu mendorong murid memberikan
kepercayaan penuh kepada sang guru hingga tidak takut kepadanya.[11]
Strategi pembelajaran ini juga memiliki keunggulan dan
kelemahan. Keunggulannya adalah:
a.
Bahan belajar dapat disampaikan secara tuntas oleh
pendidik sesuai dengan program pembelajaran yang telah disiapkan sebelumnya.
b.
Dapat diikuti oleh siswa dalam jumlah besar.
c.
Waktu yang digunakan akan tepat sesuai dengan jadwal
waktu pembelajaran yang telah ditetapkan.
d.
Target materi pembelajaran yang telah direncanakan
relatif mudah tercapai.[12]
Adapun kelemahan strategi pembelajaran yang berpusat pada
pendidik antara lain:
a. Mudah
menimbulkan rasa bosan pada siswa sehingga hal ini dapat mengurangi motivasi,
perhatian dan konsentrasi peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran.
b. Keberhasilan
pembelajaran, dalam hal perubahan sikap dan perilaku siswa relatif sulit untuk
diukur karena yang diinformasikan kepada siswa pada umumnya lebih banyak
menyentuh ranah kognitif.
c. Kualitas
pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan adalah relatif rendah karena
pendidik sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi
pembelajaran.[13]
Strategi pembelajaran yang berpusat
pada pendidik ini pada dasarnya dapat diterapkan dalam metode pembelajaran dengan
teknik ceramah atau kuliah, tanya jawab dan lain sebagainya. Dalam pembelajaran
tahsinul qiraah kedua strategi ini hendaknya diguna-kan secara kombinasi
sesuai dengan materi yang akan dibahas, sehingga tujuan pembelajaran tahsinul
qiraah tercapai.
Pembelajaran
Tahsinul Qiraah adalah proses belajar-mengajar cara membaca al-Qur’an
sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW, Sahabat dan para Salafus Shalih.
[2]
Habib Thoha, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 45.
[4]
Imansjah Alipandie, Didiktik Metodik Pembelajaran Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hal. 44.
[5] Sudjana, Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung:
Falah Production, 2001), hal. 37.
[6] Rahmah Johar dkk., Strategi Belajar..., hal. 12.
[7] Sudjana, Metode dan Teknik..., hal. 37.
[8] Ibid., hal. 38.
[9] Ibid.
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. VI,
(Bandung: Remaja Rosda-Karya, 2005), hal. 76.
[11] M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu
Menurut al-Ghazali, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hal. 93.
[12] Sudjana, Metode dan Teknik..., hal. 38.
[13] Ibid., hal. 39.