Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hikmah Larangan Riba dalam Al-Qur’an


A.    Hikmah Larangan Riba dalam Al-Qur’an

Di antara makanan yang didapatkan dengan cara yang haram adalah memakan makanan dari hasil riba. Masalah riba menjadi suatu masalah yang sangat popular dikalangan kaum muslimin jika dikaitkan dengan masalah-masalah muamalah (jual beli, hutang-piutang, tukar-menukar barang atau transaksi lainnya). Riba merupakan produk amal manusia yang dipengaruhi oleh sifat-sifat yang buruk seperti ketidak jujuran, ketamakan (rakus), ketertutupan dan ketidak ikhlasan hati.
Dalam sejarah peradaban jahiliyah Arab sebelum kedatangan Islam, riba telah membudaya dan merupakan bagian dari kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging dalam kehidupan keseharian para pedagang. Mereka sudah tidak memperdulikan lagi akan nilai-nilai keseimbangan dalam menjalankan aktivitas dagangnya. Satu hal yang mereka fikirkan adalah keuntungan yang sebesar mungkin tanpa mempertimbangkan sedikitpun, bahkan perbuatan tersebut telah merugikan banyak orang. Dan uniknya, sampai sekarang pun praktek riba ini masih di jalankan oleh banyak orang dengan beragam jenis dan kemasannya. Mereka masih menganggap, bahwa praktek riba merupakan jalan pintas untuk bisa mendapatkan keuntungan yang besar, terlepas dari persoalan-persoalan yang bersifat nilai.  Untuk itulah kemudian Islam datang membawa tuntunan nilai-nilai keseimbangan hidup manusia untuk meluruskan berbagai penyimpangan dalam melakukan muamalah.
Fuad Zein dalam bukunya Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer menjelaskan bahwa:
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak selamanya tambahan atas jumlah pinjaman itu mendatangkan kesengsaraan. Ada juga yang mendatangkan keuntungan baik kepada penerima maupun pemberi pinjaman. Tetapi Karena rumusan di atas sudah demikian mapan dalam ilmu Fiqh, maka semua kegiatan ekonomi yang mengandung formula “tambahan atas jumlah pinjaman”, baik berakibat menyengsarakan atau menguntungkan, tetap dimasukan dalam riba yang diharamkan itu.[1]

Begitu jelas mapanya rumusan riba nasi’ah, sehingga para fuqaha tidak lagi menganggap ada persoalan, “apa sebab riba mendatangkan kesengsaraan” atau bagaimana kondisi pihak peminjam dan pemberi pinjaman ketika terjadi perjanjian yang menuju riba?. Perhatian mereka tertuju pada pencarian illat, barang-banarng apa yang boleh atau tidak boleh dijualbelikan dengan tenggang waktu.
Pada masa sekarang, adanya upaya peninjauan ulang tentang riba dalam al-Qur’an disebabkan oleh kontak orang Islam dengan kegiatan perbankan. Bank adalah bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18.[2] Karenanya, kontroversi tentang hokum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.[3]
Dan Allah sangat keras dalam memperingatkan umat Islam untuk tidak sekali-kali memakan sesuatu yang dihasilkan dari perbuatan riba tersebut. Hal ini seiring dengan firman Allah:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ) البقرة: ٢٧٥(

Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu, adalah disebabkan mereka mengatakan (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Qs. Al- Baqarah: 275).

Rasulullah juga menjeslaskan tentang orang yang terlibat dengan transaksi riba dan melaknatnya, seperti di dalam sabdanya:
 عن جابر قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم أكل الربا و موكله وكاتبه وشاهديه وقال: هم سواء (رواه مسلم)
Artinya:   Dari Jâbir berkata: Rasulullah saw. melaknat pemakan riba pemberinya, saksinya, dan penulisnya, mereka semuanya adalah                                                                                      sama.” (HR. Muslim).[4]

            Begitu keras kecaman Allah terhadap orang yang memakan makanan yang haram dengan kecaman yang amat keras dengan mengancam pemakan, pemberi dan seluruh orang yang terlibat dalam transaksi yang haram tersebut. Dalam pandangan Islam, daging yang tumbuh dari makanan yang haram (baik dari segi zat dan cara mendapatkannya) dianggap sebagai bagian dari api neraka dan diancam hukuman di bakar di akhirat kelak.
Di samping dari pada itu Allah juga menolak seluruh kebaikan dan amal saleh yang mana mereka beramal saleh dengan hasil dari sesuatu yang diharamkan seperti, bersedekah, menyambung silaturrahim dan membelanjakan hartanya di jalan Allah. Jika seseorang menjadi budak harta dan dengan segala cara untuk memperolehnya, maka segala kemaksiatan akan dilakukan. Karena mengkonsumsi makanan haram (baik zat maupun cara memperolehnya), akan mempunyai kecenderungan untuk selalu melakukan dosa yang semakin jauh dari tuntunan ilahi. Akibatnya semakin terbenam dalam kebiasaan-kebiasaan yang dibimbing oleh hawa nafsu. Oleh karena itu Allah mengingatkan kita di dalam Firmannya:
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ) عبس: ٢٤(
Artinya:   Maka hendaklah Manusia itu memperhatikan makanannya. (QS. ‘Abasa: 24)

            Lebih lanjut lagi, makanan haram yang diperoleh bukan hanya dikonsumsi untuk dirinya sendiri, melainkan juga istri, anak, dan seluruh orang yang berada di bawah tanggungannya. Thobĩb Al-Asyhâr menjelaskan bahwa, ”Di antara hasil dari makanan yang dikonsumsi ialah memberi (menyediakan) energi bagi seluruh organ tubuh, mendorong daya pikir, dan menggantikan serta membentuk sel-sel maupun jaringan yang sebagiannya juga  berupa zat organik  pelanjut keturunan (sperma serta indung telur).”[5]Maka sangat kita khawatirkan makanan yang haram akan mempengaruhi gerak langkahnya. Selanjutnya dampak itu terus-menerus akan mewarisi keturunannya, sehingga anak cucunya pun cenderung kepada perbuatan yang diharamkan agama.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
            Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa riba merupakan tambahan bayaran yang tidak sesuai dengan aturan Islam yang sangat dilarang di dalam al- Qur’ân dan Hadith dan juga dari hasil Ijma’ para Ulama Islam dan sepakat untuk mengharamkannya karena berpengaruh terhadap psikologi umat Islam akibat dari memakan harta yang tidak halal dan dapat berpengaruh bagi kerunannya.


[1] Fuad Zein, Aplikasi Ushul Fiqh dalam kajian keuangan Kontemporer, dalam Aunurafiq (ed), Mazhab Jogja: Menggagas Pradigma Ushul Fiqh Kontemporer,(Yogyakarta: Fak. Syariah IAIN & ar-Ruzz Press, 2002), hal. 66.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 29.

[3] Zuhri, Riba ..., hal. 141.
[4]Muslim bin Hajjaj, Saḥiḥ Muslim, terj. Adib Bisri Mustafa, jilid III, Cet. I, (Semarang Asy Syifa’, 1993), hal. 122.
[5]Thobîb Al-Asyhâr, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Cet. I, (Jakarta: Al- Mawardi Prima, 2002), hal. 188.