BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang mempunyai
sistem hidup yang lengkap dalam semua kegiatan dan tidak melepaskan diri dari
peraturan-peraturannya itu. Islam adalah agama yang menuntun pemeluknya kepada kebahagiaan,
baik hidup didunia maupun hidup di akhirat kelak. Dalam syari’at
Islam dianjurkan kepada setiap pemeluknya untuk berusaha menuju terbentuknya
manusia yang sempurna atau insan kamil. Di samping itu, Islam juga
menghendaki, agar setiap pikiran, perkataan maupun perbuatan itu tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah dituntut oleh Nabi Muhammad untuk mencapai
kebahagiaan sebagai tujuan tersebut, Islam menetapkan aturan-aturan untuk umat
manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri.
Sistem dan peraturan-peraturan yang
dimaksud adalah mencakup bidang aqidah, ibadah, muamalah, munakahat,
jinayah, dan faraidh. Di antara bidang yang penulis maksudkan
adalah bidang muamalah yang mana dalam Islam diharamkan adanya praktek riba di
dalam masyarakat. Sesuatu yang
dilarang oleh syari’at pasti mengandung akibat yang negatif bagi pelakunya,
bahkan bagi orang lain. Seandainya pun ada manfaatnya, tentu bahayanya lebih
besar dari pada manfaatnya, maka sewajarnyalah umat Islam menjauhi segala
bentuk praktek riba.
Sungguh menyesalkan terjadi polemic
dewasa ini dibeberapa media massa mengenai hukum bunga bank, apakah termasuk
katagori halal dan baik, atau haram dan keji. yang membuat orang penasaran
ialah karena kita telah melangkah dari kasus ini dan telah jauh melewatinya
beberapa fase. Bahkan, kita telah memasuki langkah operasional pertama, yaitu
membangun ekonomi Islam, dengan prinsip menghalalkan apa yang dihalalkan Allah
dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah
serta menunaikan kewajiban yang diperintahkannya kepada kita.
Mengenai masalah riba ini, Allah
telah berfirman dalam surat Al- Baqarah ayat 275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ )البقرة:٢٧٥(
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu, adalah disebabkan mereka mengatakan
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi mengambil riba, maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(Qs. Al-
Baqarah: 275)
Ayat ini turun dalam konteks waktu itu,
orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu
menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah
dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka
lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak
budayakan adalah riba.[1]
Rasulullah juga menjelaskan tentang
dampak riba, seperti dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah
dari Abu Hurairah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال : الربا وسبعون حوبا أيسرها أن ينكح أمه .) رواه ابن ماجه )[2]
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: Riba itu
mempunyai 70 dosa, sedangkan yang paling ringan seperti seseorang yang
bersetubuh dengan ibunya. (H.R. Ibnu Majah)
Dari keterangan ayat Al-Qur’ân dan
hadîth di atas jelaslah bahwa Islam sangat menentang dan mengharamkan praktek
riba. Oleh karena itu seluruh umat Islam dituntut agar mematuhi larangan dari
Allah sebagai wujud ketaatan dan menjunjung tinggi perintah-perintah Allah.
Ada beberapa bentuk riba yang
diharamkan dalam Islam, diantaranya adalah:
Pertama riba
nasi’ah, riba ini sangat terkenal dan popular; diterapkan oleh bank-bank
konvensional sekarang ini. Sistem seperti ini sdah dikenal suda zaman
jahiliyah, yaitu meminjamkan harta tertentu sampai batas waktu yang telah
ditentukan seperti sebulan atau setahun, dengan syarat adanya tambahan pada
saat pengembalian sebagai imbalan yang diberikan.[3]
Riba jenis ini paling popular dan
paling banyak dilakukan, baik di bank-bank konvensional maupun ditempat
penukaran uang. Mereka mengambil prosentase tertentu ( 7 persen atau 10 persen
) dari jumlah uang yang dipinjamkan. Apabila telah lewat jangka waktunya
setahun dan belum terlunasi, maka mengharuskan peminjam menambah tambahan
sebanyak dua kali lipat lebih banyak, baik bulanan atau tahunan, sehingga
menjadi beban yang berat bagi si peminjam.
Kedua
riba Al-Fadhl yaitu memperjual-belikan sesuatu dengan yang sejenis
disertai tambahan pada salah satunya, sebagai salah satu contohnya adalah
menjual emas dengan emas, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, madu dengan
madu lalu menambahkan salah satunya.[4]
Perlu diketahui bahwa, sesuatu yang
dilarang oleh syari’at pasti mengandung akibat yang negatif bagi pelakunya,
bahkan bagi orang lain. Seandainya pun ada manfaatnya, tentu bahayanya lebih besar
dari pada manfaatnya, maka sewajarnyalah umat Islam menjauhi segala bentuk
praktek riba. Pada tahapan justifikasi sistem bunga yang konvensional,
ada sementara yang berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasulnya,
adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif. Yaitu, bunga yang khusus
dibebankan bagi orang berutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
seperti makan,minum, dan berpakaian beserta orang yang berada dalam
tanggungannya. Hal ini terjadi karena dalam jenis riba tersebut terdapat unsur
pemerasan (ekploitasi) terhadap kepentingan orang yang sedang
membutuhkan. Karena itu, ia terpaksa meminjam. Namun, sipemilik uang menolak
untuk memberi pinjaman, kecuali dengan riba ( bunga ), agar jumlah uang yang
dikembalikan nanti bertambah. Ungkapan ini tak pernah keluar dari
seorang faqih ( ahli syariah ) pun sepanjang tiga belas abad yang silam,
sebelum kita dilanda penjajahan. ini jelas merupakan pembatasan terhadap
nash-nash yang umum berdasarkan selera dan asumsi belaka.
Dalam
upaya untuk mencari celah membolehkan bunga bank, sekarang ini ada orang yang
beralasan bahwa riba yang diharamkan Al-Qur’an adalah riba adh’afan mudha’afah
berlipat ganda, sedangkan riba yang kecil tidak termasuk riba. Pola
berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kriteria ( syarat ) dalam pelanggaran
riba. Dalam arti bahwa yang tidak berlipat ganda hukumnya boleh. Tetapi
kenyataannya kita lihat bahwa, sebagian besar dari kaum muslimin melakukan praktek riba, terutama dalam
masalah perbankan. Sejak puluhan tahun yang lalu, di berbagai belahan dunia,
umat Islam telah berhubungan dengan bank yang menerapkan sistem bunga (riba)
dalam transaksinya, bukan hanya bersifat pribadi, melainkan juga
lembaga-lembaga, perusahaan-perusahaan, kantor-kantor pemerintah dan swasta,
semuanya memanfaatkan jasa bank. ”padahal dalam prakteknya, bank-bank itu
menerapkan sistem bunga yang merupakan penghalusan dari kata riba.[5]
Sebagian besar dari kaum muslimin
yang memanfaatkan jasa bank, padahal dalam kesehariannya mereka menjalankan
ajaran-ajaran Islam. Mereka menunaikan zakat, shalat, berpuasa dan menjalankan
perintah-perintah Allah yang lain, mereka juga menjauhi minuman keras,
perzinaan, perjudian dan perbuatan keji yang lain yang dilarang agama, tetapi
mengapa mereka tetap berhubungan dengan Bank Konvensional yang menerapkan bunga? Tentu ini merupakan
suatu kenyataan di dalam masyarakat yang sangat aneh, padahal yang berhubungan dengan bunga Bank Konvensional
merupakan keharaman yang jelas di dalam Islam.
Diantara faktor yang menyebabkan umat Islam berhubungan
dengan riba adalah karena dangkalnya ilmu agama pada diri mereka yang
berhubungan dengan riba, dan tumbuhnya kebiasaan dari masyarakat berhubungan
dengan bank yang mempraktekkan sistem riba sehingga mereka terjebak dengan
praktek riba. Di samping dari pada itu adalah jarangnya sosialisasi yang
menyeluruh di dalam masyarakat tentang riba. Dan disebabkan juga oleh jarangnya
orang yang mengetahui/ memahami tentang
dampak yang diakibatkan dari riba di dalam kehidupannya.
Berdasakan
latar belakang masalah yang penulis bahas diatas, maka penulis tertarik untuk
membuat kajian dengan judul “Hikmah Larangan
Riba Suatu Tinjauan Pendidikan Islam “
B.
Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
- Apakah dasar dan tujuan larangan riba?
- Apakah hikmah larangan riba dalam al-Qur’an?
- Apakah hikmah larangan riba dalam tinjauan
pendidikan Islam?
- Bagaimana usaha yang ditempuh untuk mengantisipasi
dampak riba?
C.
Penjelasan Istilah
Agar terhindar
dari
kesimpangsiuran dan kesalahpahaman dalam pemakaian istilah merupakan salah satu
hal yang sering terjadi, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda. Maka
untuk menghindari hal tersebut di atas, penulis merasa perlu mengadakan
pembatasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini.
Adapun istilah
yang penulis anggap perlu dijelaskan adalah: hikmah, riba dan pendidikan Islam
1. Hikmah
Dessy Anwar
dalam kamus lengkap bahasa indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
hikmah adalah hikmat,kebijaksanaan, kepandaian, sakit,kesakitan dan mempunyai
kekuatan.[6]
Hoetomo dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa hikmah adalah
hikmat, kebijaksanaan, kepandaian, sakit, kesakitan, arti yang dalam, mempunyai
kekuatan.[7]
Adapun menurut
penulis, hikmah adalah manfaat yang bersifat menguntungkan.
2. Riba
Riba berasal dari bahasa arab, yaitu ”masdar dari”(بوا- ربا
ربا
– ير) artinya bertambah,
biak, bayaran lebih, keuntungan”[8] Abul A’la
Al-Maududi menjelaskan bahwa ”pokok kata riba adalah (الربا), termasuk di
dalam Al-Qur’an (رب) yang
mengandung arti bertambah, berkembang, naik dan meninggi.[9] Arifin,
menjelaskan bahwa, riba adalah tambahan bayaran (bunga) salah satu dari dua
pengganti yang sejenis dengan tak ada bagi tambahan itu penukarannya, atau
dengan kata lain riba adalah membayar lebih disebabkan lantaran meminta tangguh
karena tidak sanggup membayar di waktu yang telah ditentukan semula.”4
Dari pengertian dari para ulama di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
riba adalah tambahan bunga dari harta pokok karena adanya tangguhan atau karena
perjanjian yang tidak disyari’atkan yang membawa kepada kerugian satu pihak dan
menguntungkan bagi pihak yang lain yang bertentangan dengan prinsip Islam.
3. Pendidikan Islam
Pendidikan
berasal dari kata didik yang artinya ”Memelihara, memberi latihan, dan
pimpinan, kemudian kata didik itu mendapat awalan pe- akhiran- an sehingga
menjadi pendidikan yang artinya perbuatan mendidik.”[10]
Dalam bahasa Inggris pendidikan
identik dengan education atau educ berarti pendidik.[11]
Educ berarti menghasilkan dan mengembangkan, mengacu kepada segala
sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang meliputi spesies hewan dan tidak
terbatas pada hewan yang berakal atau manusia.[12]
Para ahli sebagaimana di kutip Uyoh Sadulloh mengatakan bahwa pendidikan adalah “bimbingan yang diberikan oleh orang
dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya”.[13]
Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh Henderson, bahwa “Pendidikan
merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi
individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik berlangsung sepanjang
hayat sejak manusia lahir”.[14]
Oemar
Muhammad Al-Syaibani dalam buku ”Filsafat Pendidikan” mengemukakan bahwa
”Pendidikan adalah usaha-usaha untuk membina pribadi muslim yang terdapat pada
pengembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual dan sosial.[15]
Sedangkan Abdul Fida Kastori mengemukakan pengertian pendidikan Islam
sebagai berikut: ”Suatu usaha untuk menumbuhkan, mengembangkan, mengawasi dan
memperbaiki seluruh potensi fitrah manusia secara optimal dengan sadar dan
terencana menurut hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta maupun di dalam
al-Qur’an.”[16]
Dari
pengertian di atas maka yang penulis maksudkan dengan pendidikan islam adalah
suatu usaha membimbing dan membina pribadi muslim baik jasmani ataupun rohani
menuju terbentuknya akhlak yang mulia sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah.
D. Tujuan dan Sinifikansi Pembahasan
Adapun tujuan pembahasannya adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui dasar dan tujuan larangan riba.
- Untuk mengetahui hikmah larangan riba dalam
al-Qur’an.
- Untuk mengetahui hikmah larangan riba dalam tinjauan
pendidikan Islam.
- Untuk mengetahui usaha yang ditempuh untuk
mengantisipasi dampak riba.
Adapun signifikansi
pembahasannya adalah sebagai berikut:
1.
Agar dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang dasar dan tujuan
larangan riba.
2.
Agar kaum muslimin
menjauhkan diri dari praktek riba.
3.
Hasil pembahasan ini akan bermanfaat bagi pembaca yang concern dalam
hikmah larangan riba dalam tinjauan pendidikan Islam.
4.
Hasil pembahasan ini akan menambah khazanah ilmu pengetahuan kaum muslimin
umumnya dan khusunya kepada penulis.
E. Metodelogi Pembahasan
Adapun metodelogi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.
Pendekatan Penelitian
Dalam pembahasan ini penulis mempergunakan metode deskriptif analisis
yaitu suatu metode pemecahan masalah yang meliputi pencatatan, penafsiran dan
analisa terhadap data dalam pengkajian skripsi ini.[17] Penelitian ini akan menjelaskan hikmah larangan
riba suatu tinjauan pendidikan islam.
2.
Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun ruang lingkup Pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah :
Tabel 1.1 Ruang Lingkup Pembahasan
No
|
Ruang Lingkup
|
Hasil Yang Diharapkan
|
1
|
Dasar dan tujuan larangan riba
|
a).
Al-Qur’an
b).
Al-Hadist
c).
Ijma’
|
2
|
Hikmah larangan riba dalam al-Qur’an
|
a). Kesucian harta
b). Terhindar dari kedhaliman
c). Dosa
|
3
|
Hikmah larangan riba dalam tinjauan pendidikan Islam
|
a)
Kejiwaan
b)
Kecerdasan
c)
Kesucian
|
4
|
Usaha yang di tempuh untuk mengantisipasi dampak riba
|
a)
Preventif
b)
Kuratif
c)
Refresif
|
3.
Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1)
Sumber
data primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber
data dan penyelidik untuk tujuan penelitian.[18].
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Riba Kejahatan Paling
Berbahaya Terhadap Agama dan Masyarakat, karya Muhammad Ali Al-Sabuni,Jakarta: Dar Al-kutub Al-Islamiyah, Agustus 2003.
2)
Sumber
data skunder yaitu sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber data primer
tersebut yaitu buku “Riba”
karya Muhammad Ali Al-Sabuni yang diterbitkan Dar Al-Kutub
Al-Islamiyah,2003, “Muslim Diantara Halal dan Riba”, karya Bali, Wahid, yang diterbitkan
CV. Cendekia. Sentra Muslim,2002.
Bank Syari’ah Dari Teori Ke
praktek,
karya Antonio, Syafi’I, M yang diterbitkan GIP, 2001.
4.
Tehnik Pengumpulan Data
Adapun tehnik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik Library Research yaitu menelaah buku-buku, teks dan
literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan di atas.[19]
Suatu metode pengumpulan data atau bahan melalui perpustakaan yaitu dengan
membaca dan menganalisa buku-buku, majalah-majalah yang ada kaitannya dengan
masalah yang penulis teliti. Selain itu juga akan memanfaatkan fasilitas
internet untuk memperoleh literatur-literatur yang berhubungan dengan skripsi ini.
5.
Tehnik Analisa Data
Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, yang
membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap
analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara
dimensi-dimensi uraian.
Menurut Moleong, analisis
data adalah yakni suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi dengan
mengidentifikasi karakter khusus secara obyektif dan sistematik yang
menghasilkan deskripsi yang obyektif, sistematik mengenai isi yang terungkap
dalam komunikasi.[20] Setelah
data terkumpul, data tersebut diolah dan dianalisa kemudian disusun dalam
bentuk tulisan deskriptif analisis.
[1]
Muhammad, Kebjakan Fiskal dan Moneter dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
salemba Empat, 2002), hal. 52-53.
[2] Ibnu Mājah, Sunan Ibnu Majah, terj. Abdullah Shonhaji, juz III,
Cet. I, (Semarang: Asy Syifa’, 1993), hal. 110.
[3]
Muh. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan (Sebuah
Tilikan Antisipatif), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), hal. 14.
[5]M. Ali Al-Shabouni, Riba Kejahatan Paling
Berbahaya terhadap Agama dan Masyarakat terj. Ali Yahya, Cet. I, (Jakarta:
Dãr Al-Kutūb Al-Islâmiyah, 2002), hal. 7.
[8]Al-Marbawi, Kamus Al-Marbawi, , Juz I,
Cet.I, (Jakarta: Syari’ah Nûr Assaqatah Al-Islâmiyah, t.t.), hal. 225.
[11] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus
Inggeris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 207.
[12] Syeh Muhammad al-Nuquib al-Attas, Konsep
Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 65.
[15]
Oemar Muhammad At-Tomy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ,terj.
Hasan Langgulung, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 44.
[17] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), hal. 243.
[18]
Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Angkasa, 1987), hal. 163.
[20]Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 44.
0 Comments
Post a Comment