BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam al-Quran, ditemukan kata Adzan (أذن) dalam berbagai bentuknya, terulang
sebanyak 9 kali. Dari pengulangan 9 kali tersebut, selain berarti izin,
telinga, perintah, menyakiti, juga berarti panggilan. Khusus kata أذن - يؤذن مؤذن
yang berarti panggilan, hanya disebut satu kali, yaitu dalam QS Yusuf (12):
70. Hanya saja sasaran panggilan yang ada dalam ayat tersebut tidak terkait
dengan pelaksanaan salat, tetapi menceritakan kisah Yusuf bersama
saudara-saudaranya.
Sebagai padanan dari kata adzan (أذن), kata نادى
dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 53 kali dalam al-Quran. Dari ke-53
kali pengulangan kata tersebut, adzan selain berarti panggilan atau seruan,
juga berarti permohonan atau doa. Jika kata tersebut tertuju kepada manusia,
maka diartikan dengan seruan atau panggilan. Sedangkan jika kata tersebut
tertuju kepada Tuhan, maka diartikan dengan permohonan atau doa.
Dalam hubungannya dengan seruan untuk salat,
al-Quran tidak menggunakan kata adzan, tapi menggunakan kata ناديتم (QS al-Maidah 5: 58) dan نودي (QS al-Jum’ah 62: 9). Kata yang
disebutkan pertama, terkait dengan prilaku orang-orang Yahudi yang mengejek
kaum muslimin di saat bersegera ke masjid ketika azan dikumandangkan. Sedangkan
kata yang disebutkan kedua, terkait dengan azan yang dikumandangkan pada hari
Jumat, sebagai pertanda bahwa semua aktivitas lain harus dihentikan.
Kehadiran menara yang bertengger kokoh
menjulang langit akan semakin menambah kemegahan dan keindahan sebuah masjid.
Terlebih lagi, sejak dahulu manusia kerap mengasosiasikan ketinggian dengan
superioritas dan kekuatan. ''Kehadiran menara pada bangunan masjid merupakan
simbol dari peradaban Islam,'' ujar President Islamic Culture Foundation,
Cherif Jah Abderrahman. Menurut Abderrahman, bentuk arsitektur yang paling
strategis dan terbaik sebagai penanda kehadiran dan keberadaan Islam di suatu
tempat adalah menara.
Sebagai bagian dari simbol peradaban, menara
dibangun umat Islam lantaran memiliki fungsi yang amat penting, yakni sebagai
tempat untuk mengumandangkan azan. Sesuai dengan kondisi geografis dan situasi
pada zamannya, selain sebagai tempat untuk azan, beberapa menara yang dibangun
juga berfungsi mercusuar atau menara pengintai. Fungsi tambahan minaret itu
biasanya terdapat pada menara-menara Masjid yang berada di kota pelabuhan atau
tepi sungai. Menara Masjid Ribbat Shushah di Tunisia, misalnya, juga befungsi
sebagai sarana pertahanan, karena amat mirip sebuah markas militer. Ribbat Shushah, sebagai kota pelabuhan,
memanfaatkan menara masjid sebagai sarana untuk melakukan pengamatan lepas
pantai dari balkon menara. Sementara di era modern, menara tak lagi dijadikan
tempat untuk azan, namun lebih sebagai tempat untuk meletakkan alat pengeras
suara. Dengan alat pengeras suara ini, maka panggilan shalat bisa terdengar
hingga ke rumah-rumah penduduk. Karenanya, tak mengherankan jika keberadaan
menara di sejumlah negara-negara Eropa yang mayoritas penduduknya adalah
non-Muslim dinilai mengganggu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Azan
Adzan artinya pemberitahuan, yaitu kata-kata
seruan untuk memberitahukan akan masuknya waktu shalat fardhu. Orangnya
dinamakan muadzhin[1].
Sedangkan iqamah dari segi bahasa adalah mendirikan, yaitu kata-kata sebagai
tanda bahwa shalat fardhu akan segera dimulai. Shalat-shalat sunat tidak
disunatkan menggunakan adzan, iqamah, kecuali shalat sunat yang disunatkan
berjama'ah, seperti tarawih, shalat 'id dsb. Adzan dan iqamah hukumnya sunat
mu'akkad bagi shalat fardhu, baik jamaah maupun sendirian
(munfarid),Pelaksanaannya disunatkan dengan suara yang keras, berdiri dan
menghadap kiblat. Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau
pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini :
وَأَذَانٌ
مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ أَنَّ اللّهَ
بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللّهِ وَبَشِّرِ
الَّذِينَ كَفَرُواْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ) التوبة: ٣(
Artinya: Dan
(inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia
pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari
orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka
bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada
orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.(QS. At-Taubah
: 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau
panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan
untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ
يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ) الحج: ٢٧(
Artinya: Dan
panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27).
Secara syariat, definisi adzan adalah perkataan
tertentu yang bergun memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu. Dalam
kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu
shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
B. Syariat Azan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar
dalil dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
1. Al-Quran
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى
الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُواً وَلَعِباً ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ
يَعْقِلُون)َ المائدة: ٥٨(
Artinya: Dan apabila kamu menyeru untuk
shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu
adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS.
Al-Maidah : 58)
2. Sunnah :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ: طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ فَقَالَ:
تَقُولُ: اَللَّهُ أَكْبَرَ اللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ الاذَانَ بِتَرْبِيع التَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ و الإقَامَةَ
فُرَادَى إِلاَّ قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ قَالَ:
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ.
Artinya: Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi
berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu
akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa
tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku
datangi Rasulullah SAW, maka beliau bersabda,”Itu adalah mimpi yang benar. (HR.
Muslim)[2]
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya
dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah SAW juga diperlihatkan
praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit. Dari al-Bazzar meriwayatkan
bahwa Nabi SAW diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di
atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk
langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah
menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi. Namun
hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang shahih adalah
bahwa adzan pertama kali dikumandangkan di Madinah sebagai-mana hadits Ibnu Umar
yang diriwayatkan oleh Muslim[3].
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga
andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan
Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau perlu mereka melakukan
undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits Nabi
SAW : Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang
yang mengumandang-kan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan
kelebihan. Bahkan menurut Asy-syafi`iyah
dan Al-Hanabilah, menjadi muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih
tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Menurut mereka, makna dari menyeru
kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan
mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari
Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama
dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya, Nabi Muhammad
SAW dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang
mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam
shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
C. Hukum Azan
dengan Memakai Alat pengeras Suara
Memakai pengeras suara untuk mengumandangkan adzan
hukumnya mubah, sebagaimana mubah pula memakai pengeras suara untuk
mengumandangkan iqomah. Mengumandangkan adzan dan iqomah memakai pengeras suara
dihukumi mubah kerana pengeras suara tidak lebih hanya benda yang menjadi
alat/wasilah untuk melaksanakan perintah Syara'.
Secara syar'i, adzan diperintahkan dikumandangkan dengan
suara keras. Dalilnya adalah hadis berikut; "Dari Abdurrahman bin Abdullah
bin 'Abdurrahman bin Abu Sha'sha'ah Al Anshari Al Mazini dari Bapaknya bahwa ia
mengabarkan kepadanya, bahwa Abu Sa'id Al Khudri berkata kepadanya, "Aku
lihat kamu suka kambing dan lembah (penggembalaan). Jika kamu sedang mengembala
kambingmu atau berada di lembah, lalu kamu mengumandangkan adzan shalat, maka
keraskanlah suaramu. Karena tidak ada yang mendengar suara mu'adzin, baik
manusia, jin atau apapun dia, kecuali akan menjadi saksi pada hari
kiamat." Abu Sa'id berkata, "Aku mendengarnya dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam." (H.R. Bukhari)
Lafadz " maka keraskanlah suaramu " cukup jelas
dan lugas yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan Adzan dilakukan
dengan suara keras agar bisa didengar banyak orang. Di zaman Rasulullah Saw,
Mu’adzin sengaja memilih tempat yang tinggi agar suara yang yang dikumandangkan
bisa didengar banyak orang. Abu Dawud meriwayatkan: Dari Urwah bin Az-Zubair
dari seorang wanita dari Bani Najjar dia berkata; Rumahku adalah rumah yang
paling tinggi di antara rumah-rumah yang lain di sekitar Masjid, dan Bilal
mengumandangkan adzan subuh di atasnya”. (H.R. Abu Dawud)
Maknanya, Bilal sengaja memilih naik rumah salah seorang
wanita Anshor yang paling tinggi untuk mengumandangkan Adzan. Pemilihan ini
dimaksudkan agar suara adzan yang dikumandangkan dengan keras bisa didengar
banyak orang karena jangkauannya yang lebih luas. Demikian pula Iqomah. Di
zaman Rasulullah Saw, iqomah juga dikumandangkan dengan keras sampai terdengar
diluar masjid (bukan hanya didengar jamaah masjid yang ada di dalam). Bukhari
meriwayatkan; Dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi Saw bersabda:
"Jika kalian mendengar iqamat dikumandangkan, maka berjalanlah menuju
shalat dan hendaklah kalian berjalan dengan tenang berwibawa dan jangan
tergesa-gesa. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang
kalian tertinggal maka sempurnakanlah." (H.R. Bukhari)
Ucapan Rasulullah Saw "Jika kalian mendengar
iqamat", bermakna: Jika kalian mendengar Iqomah dari luar masjid dengan
bukti adanya lafadz "maka berjalanlah menuju shalat". Karena itu, hadis ini menunjukkan bahwa
Iqomah di zaman Rasulullah Saw dikumandangkan dengan keras hingga terdengar
orang di luar masjid. Riwayat senada
disebutkan An-Nasai dalam Sunannya; Dari Abu Al Mutsanna mu'adzin masjid
jami'- dia berkata; "Aku pernah bertanya kepada Ibnu 'Umar tentang adzan,
lalu beliau menjawab, 'Adzan pada zaman Rasulullah Saw adalah dua-dua dan
iqamah sekali-sekali, kecuali ketika mengucapkan, "Qad
qaamatish-shalah".' -diucapkannya dua kali-. Ketika kami mendengar 'Qad
qaamatish-shalah" maka kami berwudhu, kemudian segera shalat." (H.R.
An-Nasai)
Bahkan Ibnu Umar pernah mendengar Iqomah dari Baqi',
padahal jarak antara masjid Rasulullah Saw dengan Baqi cukup jauh. Imam Malik
meriwayatkan; Dari Nafi' Abdullah bin Umar mendengar Iqamat ketika berada di
Baqi', lalu dia bersegera menuju masjid." (H.R. Malik) Berdasarkan
riwayat-riwayat di atas, bisa difahami bahwa Adzan dan Iqomat, keduanya
dikumandangkan dengan suara keras dengan maksud agar didengar oleh kaum
muslimin disekitar masjid agar mereka memenuhi panggilan Shalat. Dipilihnya
tempat tinggi untuk mengumandangkan Adzan dan Iqomah di zaman Rasulullah Saw tidak lain adalah untuk
menguatkan maksud ini. Menggunakan pengeras suara untuk Adzan dan Iqomah
bermakna menggunakan alat untuk melaksanakan perintah Syara' yaitu
mengumandangkan Adzan dan Iqomah dengan keras agar bisa didengar kaum muslimin
dengan area jangkauan yang luas. Oleh karena itu menggunakan pengeras suara
hukumnya Mubah, karena pengeras suara hanyalah alat hasil penemuan teknologi
yang termasuk keumuman mubahnya seluruh benda bumi yang dinyatakan Allah dalam
firmanNya; Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
(Al-Baqarah: 29)
Menggunakan alat semacam ini semakna dengan penggunaan
senjata api, bom, dan tank untuk melaksanakan perintah jihad, atau menggunakan
pesawat terbang, kapal laut, dan unta untuk menjalankan perintah haji menuju
Makkah. Semuanya Mubah karena bermakna menggunakan alat yang telah dimubahkan
secara umum dalam Al-Quran.
Adapun larangan berbuat Bid'ah, maka yang dimaksud Bid'ah
bukanlah alat baru, bukan pula perbuatan baru, atau ilmu sains baru, atau ijtihad hukum syara, atau
ilmu yang dirumuskan untuk memahami
Nash. Bid'ah adalah segala hal yang baru bertentangan dengan petunjuk Al-Quran
dan As-Sunnah. Semua petunjuk selain Quran dan Sunnah yang bertentangan
dengannya, tidak terpancar darinya, dan tidak digali darinya maka itulah Bid'ah
baik dalam hal aqidah, ibadah, maupun muamalah[4].
D. Fatwa MUI
Tentang Azan dengan Memakai Alat Pengeras Suara
PIDATO Wakil Presiden Boediono dalam pembukaan Mukatamar
VI Dewan Masjid Indonesia beberapa hari yang lalu menuai kecaman. Boediono meminta Dewan Masjid Indonesia untuk
mengatur penggunaan pengeras suara untuk azan di masjid agar lebih enak di
dengar oleh masyarakat. Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat
Prof Dr H Muhammad Baharun termasuk salah satu tokoh yang menolak wacana
Boediono tersebut. Menurutnya, wacana
yang dilontarkan oleh Boediono itu tidak bisa diterapkan di Indonesia. "Tidak bisa . Karena tradisi umat Islam
azan itu adalah syiar dan harus dilantunkan dengan syahdu dan keras. Sehingga
menggunakan pengeras suara untuk azan memang layak dilakukan. Adzan memang
harus begitu," kata Baharun saat dihubungi
Republika, Ahad (29/4) Menurut Baharun, yang seharusnya diatur adalah soal
penggunaan pengeras suara untuk kegiatan masjid lainnya di luar adzan.
Misalnya, pengeras suara untuk pengajian, ceramah, atau lagu qosidahan[5].
Jika mengeraskan kumandang adzan di wilayah mayoritas non
muslim, bisa jadi suara adzan itu menggangu mereka. Karena yang diingatkan
untuk shalat lebih sedikit daripada yang tidak sehingga mengakibatkan gangguan
pada mayoritas masyarakat. Namun, pada kenyataannya di negara kita yang
mayoritas muslim hal tersebut bukanlah gangguan. Lagipula adzan dikumandangkan
hanya di waktu-waktu tertentu, tidak sepanjang hari dikumandangkan
Terkadang ada pula di kalangan masyarakat muslim dalam
hal penggunaan alat pengeras suara yang ada di mesjid bergeser dari fungsi
semula yaitu adzan. Alat pengeras suara tersebut digunakan untuk memperkeras
suara wirid bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Terkadang pula digunakan
untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sholawatan dan pembacaan dziba yang
sangat keras, sehingga hal itu dapat mengganggu kenyamanan masyarakat di
sekitarnya.
Besar kemungkinan fenomena-fenomena tersebut di atas,
menjadi pemicu permintaan Wakil Presiden mengenai aturan pengerasan suara
adzan. Fenomena yang terjadi seharusnya tidak menjadi vonis pada suara adzan
dengan anggapan mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitar. Aturan sejauhmana
kerasnya suara azdan sebaiknya disesuaikan dengan toleransi yang disepakati
antara individu pada masyarakat tersebut dengan jalan musyawarah.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, kita dapat
mengambil pelajaran dan hikmah agar umat islam dapat memperhatikan
lingkungannya di dalam melakukan kegiatan ibadah. Sehingga, kenyamanan umat
dalam beribadah bisa maksimal dan tidak mengganggu. Hal itu juga bisa menjadi
intropeksi terhadap semua umat dalam menjalankan ibadah. Dalam masalah ini,
khususnya penggunaan alat pengeras suara yang ada di mesjid agar diperhatikan
sehingga tidak mengganggu semua agama, tidak hanya islam. Pengaturan pengeras
suara di mesjid merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. Di samping itu,
pengaturan pengeras suara untuk adzan sudah dilakukan oleh pengurus mesjid.
Yakni hanya lima kali dalam sehari saat waktu sholat tiba. Dalam hal ini, yang
menjadi pokok masalahnya adalah bukan dari suara adzan melainkan pengaturan penggunaan
alat pengeras suara di luar waktu sholat.
BAB
III
P E
N U T U P
Berdasarkan pembahasan pada bab –
bab diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa kesmpulan dan saran – saran
sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Adzan artinya pemberitahuan, yaitu kata-kata
seruan untuk memberitahukan akan masuknya waktu shalat fardhu. Orangnya
dinamakan muadzhin. Sedangkan iqamah dari segi bahasa adalah mendirikan, yaitu
kata-kata sebagai tanda bahwa shalat fardhu akan segera dimulai.
2. Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar
dalil dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
3. Memakai pengeras suara untuk mengumandangkan
adzan hukumnya mubah, sebagaimana mubah pula memakai pengeras suara untuk
mengumandangkan iqomah. Mengumandangkan adzan dan iqomah memakai pengeras suara
dihukumi mubah kerana pengeras suara tidak lebih hanya benda yang menjadi
alat/wasilah untuk melaksanakan perintah Syara'.
4.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam untuk dapat memperdalam ilmu pengetahuan Islam.
2.
Disarankan kepada mahasiswa agar
belajar dengan giat terutama tentang hukum Islam.
3.
Disarankan kepada pihak orang tua agar dapat mendidik anak sesuai dengan tuntunan
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Majalah Majma’ al Fiqh al Islami,
OKI, periode ke – 6 no : 2/1256
Ibnu Abdul Barr, Tamhid : 10/61, An Nawawi, Syarh Muslim : 7/202,
Ibnu Hajar, Fathul Bari : 5/ 265
Burhani MS dan Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer,
tJombang: Lintas Media. .th.
Muslim bin Al-Hajjaj Abu Al-Hasan,
Shahih Muslim, Alimul Kutub, Libanon: Beirut, 1998.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1994.
Abdurrahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah
(Syari’ah), Jakarta: Rajawali
Pers, 2002.
http://www.perisai.net/agama/mui_adzan_lewat_pengeras_suara_tak_perlu_diatur#ixzz2BswfiN4A
Beirut, 1998), hal. 56.
Rajawali Pers,
2002), hal. 48.
0 Comments
Post a Comment