Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hukum Euthanasia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sumber hukum pada masa Rasulullah hanyalah Al-Qur’an dan hadits, atau  dapat juga dikatakan hanyalah wahyu Allah yang menjadi sumber hokum pada waktu itu. Al-Qur’an merupakan kitab teristimewa karena kekekalan dan kelanggengannya telah dijamin oleh Allah SWT hingga hari kiamat tiba, ketika Tuhan menghancurkan bumi seisinya.[1] Al-Qur’an bukanlah kitab untuk satu generasi atau satu masa, bukan pula untuk generasi-generasi atau masa-masa tertentu kemudian hilang bersama dengan waktu dan digantikan oleh kitab berikutnya, sebagaimana yang berlaku pada kitab-kitab sebelumnya. Namun demikian ada diantara hadits nabi yang memberi kesan beliau melakukan ijtihad sendiri. Misalnya kasus Umar yang mengatakan kepada Rasulullah bahwa ia mencium istrinya sewaktu berpuasa. Kepada Umar, nabi berkata : “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air sewaktu kamu berpuasa?” Nabi berkata lagi, “Maka tetaplah kamu berpuasa”.
Oleh karena Masail Fiqhiyah sangat erat kaitannya dengan teknologi canggih dan perkembangan zaman. Karena itu Masail Fiqhiyah lahir sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi canggih. Di zaman modern banyak sekali hal-hal yang didapati dalam kehidupan, sementara hal tersebut tidak ada dalil yang menetapkannya. Dalam menetapkan hukum tersebut. Misalnya dizaman sekarang kita menjumpai adanya bayi tabung,euthanasi, Bunuh, abortus, zakat pegawai dan lain-lain.
Para ulama kontemporer duduk bersama dan bermusyawarah untuk mengambil suatu keputusan dan keputusan itulah yang dijadikan sebagai ketetapan hukum tentang halal haramnya dan wajib tidaknya.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bunuh Diri Dalam Hukum Islam
Nilai manusia dalam pandangan Dinul Islam sangatlah tinggi. Bahkan masalah kemanusiaan adalah topik utama yang dibahas dalam al Qur-an. Telah diajarkan dalam kitabNya bahwa “menghilangkan satu saja nyawa manusia (apapun keyakinannya) tanpa haq seolah-olah telah membinasakan seluruh manusia. Sebaliknya menghidupi satu saja jiwa manusia seolah-olah ia telah menjaga kehidupan seluruh manusia.[2]
Maka apapun alasannya perilaku merusak kepentingan umum, membunuh diri dan orang lain tanpa haq tidak ada kamusnya untuk dibenarkan dalam syariat Dinullah. Berikut ini beberapa alasan yang semestinya difahami oleh manusia tentang hukum bunuh diri, khususnya pelaku bom bunuh diri.
B.    Hukum Bunuh Diri
Bunuh diri diharamkan bukan karena tidak menyayangi hidup yang telah diberikan kepada Allah kepadanya melainkan karena telah mendahului apa yang dikehendaki Allah pada dirinya. Secara otomatis telah melanggar qadha’ qodar yang telah ditentukan oleh Allah, tetapi di sini saya tidak membicarakan aliran theology Qadariyah. Jadi seseorang itu harus mampu meghadapi sagala ujian yang diberikan kepada Allah kepada kita dan jangan pula seseorang itu putus asa sebelum mencoba mengerjakan pekerjaan yang dianggap sukar untuk diselesaikan. Begitu juga dengan euthanasia, yang esensinya kita diberi amanat oleh Allah untuk saling menjaga nyawa seseorang antara satu dengan yang lainnya.[3]
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (Qs.an-Nisa’ :116)
C.    Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-mawt. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[4]
D.    Macam – Macam Euthanasia
            Dalam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia, yaitu :
  1. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif, misalnya, ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.  Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
  2. Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia pasif, misalnya, penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.[5]
E.    Hukum Euthanasia
Syariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-‘amâd), walaupun niatnya baik, yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
            Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri, misalnya firman Allah Swt :
]وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ[
Artinya: Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am: 151).
]وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا[
Artinya: Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif, karena sengaja melakukan pembunuhan terhadap pasien, sekalipun atas permintaan keluarga atau si pasien. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan.  Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah saw. bersabda:
»مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا«
Artinya: Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadâwi) itu sendiri; apakah berobat itu wajib, mandûb (sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah . Menurut Abdul Qadim Zallum hukum berobat adalah mandûb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis; pada satu sisi Nabi saw. menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.












BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis bahas diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.     Menghilangkan satu saja nyawa manusia (apapun keyakinannya) tanpa haq seolah-olah telah membinasakan seluruh manusia. Sebaliknya menghidupi satu saja jiwa manusia seolah-olah ia telah menjaga kehidupan seluruh manusia.
2.     Bunuh diri diharamkan bukan karena tidak menyayangi hidup yang telah diberikan kepada Allah kepadanya melainkan karena telah mendahului apa yang dikehendaki Allah pada dirinya.
3.     Euthanasia adalah tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
4.     alam praktik kedokteran dikenal dua macam euthanasia, yaitu : euthanasia aktif dan euthanasia aktif.
B.    Saran-saran
1.     Disarankan kepada mahasiswa agar memperbanyak ilmu pengetahun yaitu dengan cara menambah pengkajian ilmu khususnya tentang masail fiqh.
2.     Disarankan kepada mahasiswa agar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dan pergunakanlah kesempatan untuk menuntut ilmu.






















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Ramli, Memelihara Kesehatan dalam Hukum Islam, Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: Raja Grafindo, 1997
Mahjuddin, M.PdI, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang dihadapi Hukum Islam masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta:2005.
Yusuf Qardhawi, Hudal Islam Fataawa Mu’ashirah, Pen. Mathba’atus Salafiyah, Qairo, 1398/1978.
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Terj. Tim Kuadran, Bandung: Jabal, 2007.
Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press. 2003.
Zallum, Abdul Qadim. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh, 1997.
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : 1998.
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung,1993.



[1] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), hal. 19
[2] http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/228-bunuh-diri-dalam-pandangan-dinul-islam.html
[3] Hasan, M.Ali, Masail Fiqhiyah al-Hadtsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Cet ke-2. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 18
[4] Utomo, Setiawan Budi. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. (Jakarta: Gema Insani Press. 2003), hal. 55.
[5] Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. (Jakarta : CV. Haji Masagung, 1993), hal. 32.