Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ide Pemikiran Nurcholish Madjid


BAB IV
PENDIDIKAN TAUHIID MENURUT NURCHOLIS MADJID

A.    Ide Pemikiran Nurcholish Madjid
Kapasitas intelektual Nurcholish Madjid memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern, sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Tentu saja kemampuan tersebut merupakan kombinasi sempurna, untuk bisa menyuarakan ide-ide pembaruan di kalangan umat Islam. Nurcholish Madjid mempunyai otoritas intelektual yang bisa dipertanggung jawabkan, untuk berbicara tentang masalah-masalah strategis baik yang berkaitan dengan tema keislaman maupun tema social kemasyarakatan. Kombinasi dua kemampuan itulah yang melahirkan sinergi, sehingga bisa menopang gerakan pembaruan Islam di Indonesia.
Nurcholish Madjid setelah pulang dari Chicago, yang membawa gelar Doctoral di bawah asuhan Fazlur Rahman, adalah salah satu eksponen pembaharu pemikiran keislaman kenamaan. Nurcholish Madjid merupakan motor terhadap pembaharuan pemikiran tersebut dan menandaskan perlunya kaum muslimin untuk mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri, justru dalam rangka pembaharuan pemikiran Islam. Nurcholish Madjid sadar sepenuhnya bahwa pembaharuan pemikiran Islam akan jauh lebih sehat jika peluang-peluang yang dimungkinkan, hadir dari warisan intelektual Islam itu sendiri. Hal ini mengacu kepada suatu realitas bahwa warisan kaya itu bukanlah sesuatu yang baku dan sudah siap pakai, melainkan lebih karena keberadaannya perlu diterjemahkan kembali dan dirangkai secara organis dengan produk-produk akal budi manusia dari zaman modern. Hasilnya, ia akan memberi peluang dasar bagi terobosan-terobosan konstruktif di masa depan[1].
Fokus utama yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid, terkait dengan pembaharuan pemikiran Islam, ialah bagaimana memperlakukan ajaran Islam yang merupakan ajaran universal dan dalam hal ini dikaitkan sepenuhnya dengan konteks (lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish Madjid, Islam hakikatnya sejalan dengan semangat kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaan tersebut harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka harus juga dipahami kondisi riil masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan termasuk lingkungan politik dalam kerangka konsep “Negara bangsa”[2].

Keuniversalan Islam berlaku menembus ruang dan waktu, sementara ajaran-ajarannya tidak terbatas pada ruang dan waktu di mana Nabi Muhammad Saw dilahirkan dan mendapatkan perintah untuk menyebarkan ajarannya. Islam adalah kemanusiaan yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal. Dengan kata lain, Nurcholish Madjid memaparkan pendapatnya tentang inklusifisme yang berpijak pada semangat humanitas dan universalisme Islam.
Adapun yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah bahwa pada dasarnya Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Kerasulan dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. dan bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan Universalisme Islam, secara teologis dapat dilacak dari perkataan al-Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan.
Dengan pengertian tersebut, dalam pikiran Nurcholish Madjid, semua agama yang benar pasti bersifat al-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tafsir al-Islam seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the Unity of Propecy) dan kesatuan kemanusiaan (the Unity of Humanity). Kedua konsep tersebut merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the Unity of God / Tauhid). Semua konsep kesatuan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolitdan menjadi rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), dan bukan hanya bagi umat Islam semata. Posisi semacam ini mengharuskan Islam menjadi penengah (al-Wasith), dan saksi (Syuhada) di antara semua manusia[3].

Di samping itu, inklusifisme merupakan pemikiran yang memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka. Sebagai agama terbuka, Islam menolak eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi tinggi terhadap pluralisme. Di dalam kerangka ini, umat Islam harus menjadi golongan terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri dan bersikap ngemong terhadap golongan lain. Sedangkan penolakan terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam memberikan tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan, yakni tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam[4].
Apa yang hendak disampaikan oleh Nurcholish Madjid dengan teologi inklusif ini adalah bahwa Islam merupakan satu sistem yang memberikan kepedulian terhadap semua orang; termasuk bagi mereka yang bukan muslim. Di sinilah sebenarnya titik temu antara teologi inklusif dengan pluralisme. Dengan berpijak pada pemikiran (teologi) Islam inklusif, maka seseorang akan merasa nyaman dengan pluralisme[5]. Kenyataan objektif Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang tingkat heterogenitasnya tinggi dalam berbagai dimensi, suku, bahasa, adat istiadat, bahkan agama. Dengan demikian, langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan. Dengan kata lain, memperlihatkan konteks di mana ajaran Islam yang bersifat universal itu hendak dilaksanakan, maka diperlukan satu interpretasi yang bersifat konstektual terhadap ajaran tersebut.
Melalui Yayasan Paramadina yang didirikan bersama teman-temannya, Nurcholish Madjid bergerak dalam kajian-kajian yang mengarah kepada gerakan intelektual muslim Indonesia. Melalui Yayasan Paramadina, beliau juga berhasil menarik kalangan kelas menengah dan elit masyarakat dari pejabat pemerintah, pengusaha, budayawan, artis, pemuda, mahasiswa dan beragam kaum professional lain untuk mengikuti berbagai kegiatan pengkajian Islam dan Kemasyarakatan.
Pada saat Indonesia menggejolak seputar modernisasi, westernisasi dan sekularisme, termasuk di kalangan umat Islam sendiri, Nurcholish Madjid dengan sangat berani mengemukakan pandangan dan pemikirannya seputar persoalan tersebut yang tentu saja dikaitkan dengan ajaran Islam. Ketika tidak sedikit tokoh umat Islam yang menolak modernisasi atas dasar pijakan teologis, Nurcholish Madjid dengan pijakan yang sama tetapi melalui interpretasi yang berbeda, mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dan ketika itu merupakan gagasan kontroversial.
Menurut Nurcholish Madjid, modernisasi harus dibedakan dari westernisasi. Modernisasi bagi Nurcholish Madjid, lebih identik dengan rasionalisasi dalam arti bahwa modernisasi merupakan satu proses menghilangkan pola pikir yang tidak rasionalistik digantikan dengan pola baru yang lebih rasionalistik[6]. Oleh karena itu, bagi Nurcholish Madjid modernisasi merupakan suatu keharusan yang mutlak. Modernisasi berarti bekerja dan berfikir sesuai dengan aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan kemampuan berfikir secara ilmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal[7].

Sedangkan sekularisasi adalah proses sosiologis, sekularisasi bukanlah upaya “memisahkan” duniawi dan ukhrawi, melainkan sebagai sarana bagi umat Islam untuk membedakan di antara keduanya. Bahkan Nurcholish Madjid memasukkan dimensi baru ke dalam konsep sekularisasi, yaitu dimensi tauhid. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sekularisasi dalam perspektif sosiologis merupakan konsekuensi dari tauhid. Tauhid itu sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan dalam upaya mencari ridha-Nya, yang justru merupakan sakralisasi kegiatan manusia. Dengan demikian, sakralisasi mengandung makna pengalihan sakralisasi dari suatu obyek alam ciptaan (makhluk) menuju Tuhan Yang Maha Esa[8].
 Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang merupakan respon terhadap fenomena sosial politik yang berkembang ketika itu (pada awal rezim orde baru) merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid terhadap Islam sebagai agama open dan menganjurkan idea of progress. Pada saat yang sama merupakan jawaban Nurcholish Madjid terhadap ajakan untuk senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam menghadapi dan merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer[9].
Kendati mendatangkan sikap kontroversial di kalangan umat Islam, gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi mereka. Internal, Nurcholis Madjid berhasil melepaskan umat Islam dari kemandegan berijtihad. Nurcholish Madjid mencoba membangunkan umat Islam untuk segera menyadari adanya situasi dan kondisi sosial politik baru di mana umat Islam harus memberikan respon dan terlibat di dalamnya. Eksternal, Nurcholish Madjid mencoba mengatasi persoalan kekurang beruntungan kehidupan sosial politik umat Islam di dalam rezim yang baru lahir itu. Dengan kata lain, dengan gagasannya, Nurcholish Madjid mencoba mengangkat posisi umat Islam yang marginalizedke dalam posisi yang cukup diperhitungkan di dalam sebuah sistem politik yang kala itu didominasi oleh kalangan bukan Islam (santri).


               [1] Ihsan Fauzi, “Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an”, Prisma, 3 Maret 1991.
               [2] Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003), hal. 83-84.
               [3] Ibid., hal. 105-106.
               [4] Ahmad Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur..., hal.106.
               [5] Ibid., hal. 107.
               [6] Ibid., hal. 107.
               [7] Nurcholish Madjid, Modernisasi dan Rasionalisasi, (Bandung: Mimbar, 1968), hal. 5.
               [8] Ibid., hal. 95-96.
               [9] Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam Indonesia”, dalam Endang Syaefuddin Anhsari., ed., 70 tahun Prof. H.M Rasyidi (Jakarta: Pelita, 1985), hal. 216.