BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti perbuatan (hal, cara, dan
sebagainya). Istilah pendidikan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie,
yang berarti bimbingan kepada anak didik. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan istilah edution yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa
Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan kata Tarbiyah yang berarti
pendidikan.[1]
Pendidikan
berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awal “me” sehingga
menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberikan latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dalam bahasa Inggris, education
(pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberikan
peningkatan, dan mengembangkan. Dalam pengertian yang sempit, education atau
pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan.[2]
Jadi
yang dimaksud dengan Pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar
yang diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam usaha perkembangan jasmaniah dan rohaniah kearah kedewasaan dan
seterusnya ke arah terbentuknya kepribadian muslim.
Pendidikan dalam arti sempit, ialah bimbingan yang
diberikan kepada anak didik sampai ia dewasa. Sedangkan pendidikan dalam arti
luas, ialah bimbingan yang diberikan sampai mencapai tujuan hidupnya, sampai
terbentuknya kepribadian muslim. Jadi pendidikan Islam, berlangsung sejak anak
dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya.
Sebenarnya kedua jenis pendidikan ini (arti sempit atau arti luas) satu adanya.[3]
Sedangkan menurut undang-undang sistem pendidikan
nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4]
Pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah “semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai
usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun
rohani”.[5] Menurut
H. M Arifin, pendidikan adalah “usaha orang dewasa secara sadar untuk
membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik
dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal”.[6] Adapun
menurut Ahmad D. Marimba adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama”.[7] Menurut
Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah “segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada
subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan Kamil) sesuai
dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian
muslim”.[8]
Azyumardi Azra berpendapat, bahwa
yang dimaksud dengan pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi
tujuan hidup secara efektif dan efisien.[9]
Sedangkan
Agama (Religi) berasal dari bahasa Latin, yakni Relegere, yang mengandung arti mengumpulkan,
membaca. Tetapi adapun menurut pendapat lain kata itu berasal dari Religare yang
berarti mengikat.[10]
Adapun Agama menurut beberapa pakar
adalah:
Menurut
Jhon Locke Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan
mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak
memberitahu kepadaku.
Mahmud
Saltut menyatakan bahwa agama adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada
Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Sedangkan
menurut Syaikh Muhammad Abdullah Badran, berupaya untuk menjelaskan arti agama
dengan merujuk kepada Al-Quran. Ia memulai bahasannya dengan pendekatan kebahasaan.
Din
yang biasa diterjemahkan Agama menurut guru besar Al-Azhar menggambarkan hubungan antara dua pihak
dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua.
Jika demikian agama adalah hubungan antara makhluk dan
khaliq. hubungan ini
terwujud dalam sikap batinnya, serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan
tercermin pula dalam sikap keseharia.[11]
Sedangkan
Islam, menurut pemakaian bahasa, berarti berserah diri kepada Allah[12]. Kata Islam,
menurut pendidikan umum yang berlaku, biasanya mempunyai konotasi sebagai agama
Allah, atau agama yang berasal dari Allah. Agama Allah, berarti agama atau
ajaran yang bersumber dari Allah, yang maksudnya adalah jalan hidup yang
ditetapkan oleh Allah bagi manusia untuk menuju dan kembali kepada-Nya. Jadi
agama Islam sebagai Agama Allah adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah
(sebagai sumber kehidupan), yang harus dilalui (ditempuh) oleh manusia, untuk
kembali atau menuju kepada-Nya.
Oleh
karena itu, bila manusia yang berprediket muslim, harus benar benar menjadi
penganut agama yang baik, yang senantiasa mentaati ajaran Islam dan menjaga
agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Kita harus mampumemahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah
Islam.
Adapun
mengenai pengertian Pendidikan Islam menurut para ahli, berbeda-beda pula,
seperti yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Agama Islam.
Zakiah Drajat mendefenisi “pendidikan
agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai
pendidiknnya dapat memahami dan mengamalkan ajaran islam serta menjadikannnya
sebagai pandangan hidup.”[13]
Di samping itu Muhammad Arifin juga
mengemukakan bahwa “pengertian pendidikan Agama Islam adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertaqwa secara sadar mengarah dan membimbing pertumbuhan dan
perkembangan fitrah peserta didik melalui ajaran islam kearah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya.”[14]
Menurut Mahmud dan Tedia Priatna “
pengertian pendidkan islam adalah aktifitas bimbingan yang di sengaja untuk
mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, ruhani,
akal maupun moral. Pendidikan Islam
adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani,
ruhani dan akal anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi,
keluarga dan masyarakat yang Islami.”[15]
Menurut
Athiyah Al-Abrasyi (Al-Tarbiyah Al-Islamiyah) ialah mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya,
mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya, baik dengan lisan atau tulisan.[16] Ahmad D. Marimba juga memberikan
pengertian bahwa: Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam.[17]
Istilah pendidikan agama terdiri dari dua
kata, yaitu pendidikan dan agama. Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk
membawa si anak ke tingkat kedewasaan dalam arti sadar dalam memikul tanggung
jawab segala perbuatan secara moral. Dalam psikologi pendidikan disebutkan
bahwa pendidikan adalah “Proses pertumbuhan yang berlangsung dilakukannya perbuatan
belajar”.[18] Jadi pendidikan adalah perubahan anak didik
baik dari segi fisik maupun mental ke arah kedewasaan setelah melakukan proses
belajar mengajar.
Dalam bahasa Arab
agama disebutkan dengan “al-Din” artinya tunduk dan patuh kepada-Nya.[19] Namun Abdurrahman An-Nahlawi mendefinisikan “Al-Din” adalah kemenangan,
kekuasaan, hukum dan urusan.[20] Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan panutan
manusia dalam kehidupan di dunia dan
akhirat di dalamnya terdapat aturan atau ketetapan Allah SWT untuk mengarahkan
atau membimbingnya ke jalan yang benar sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.
Pendidikan agama Islam
adalah ”Suatu usaha untuk menumbuhkan, mengembangkan, mengawasi dan memperbaiki
seluruh potensi fitrah manusia secara optimal dengan sadar dan terencana
menurut hukum-hukum Allah yang ada di dalam semesta maupun di dalam Al-Quran”.[21] Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah umum
disebutkan bahwa pendidikan agama adalah proses pembelajaran untuk mendidik dan
mengembangkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang bersifat agama, supaya dapat
terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter watak dan kepribadian
dengan landasan lain dan ketakwaaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti
yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan perilaku sehari-hari.[22]
Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha
sadar untuk membimbing, mengajar, dan mengasuh anak didik dalam pertumbuhan
jasmani dan rohani sehingga mencapai tingkat kedewasaan. Pendidikan harus
disesuaikan dengan ajaran Islam sebagai pandangan hidupnya. Islam itu sendiri
bermakna kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
B.
KTSP Dalam Undang-Undang Sisdiknas
Kurikulum dalam Standar Nasional
Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar
kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).[23]
KTSP disusun dan dikembangkan
berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 36 ayat 1) dan 2) sebagai berikut:
1. Pengembangan
kurikulum mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
KTSP merupakan strategi pengembangan
kurikulum untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang efektif, produktif dan
berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang
memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat
dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah. Otonomi
diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam
mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikan sesuai
prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
KTSP adalah suatu ide tentang
pengembangan kurikulum yang diletakkan pada
pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan
satuan pendidikan. Pemberdayaan sekolah dan satuan pendidikan dengan
memberikan otonomi yang lebih besar,
disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan juga merupakan
sarana peningkatan kualitas, efisiansi, dan pemerataan pendidikan.
KTSP merupakaan salah satu wujud
reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan
pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan
kebutuhan masing-masing. Otonomi dalam
pengembangan kurikulum dan pembelajaran merupakan potensi bagi sekolah
untuk meningkatkan kinerja guru dan staf sekolah, menawarkan partisipasi
langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap pendidikan , khususnya kurikulum.
Beberapa hal yang dipahami dalam
kaitannya dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah sebagai
berikut:
1. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan
pendidikan, potensi dan karakteristik daerah
2.
Sekolah dan
komite sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan Standar Kompetensi Lulusan, di bawah supervisi dinas pendidikan
kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggung jawab dibidang
pendidikan.
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk setiap program
pendidikan untuk setiap program studi di Perguruan Tinggi dikembangkan dan
ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan.[24]
Dalam KTSP pengembangan kurikulum
dilakukan oleh guru, kepala sekolah serta komite sekolah dan Dewan Pendidikan.
Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat
daerah setempat, komisi pendidikan pada dewan pendidikan pada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga
inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentan
tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya komite sekolah perlu merumuskan
dan menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya
terhadap program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.
C.
Implementasi Pendidikan Agama Islam Dalam KTSP
Pendidikan agama Islam adalah
pendidikan yang kompleks karena menyentuh keseluruhan ranah pendidikan.
Pendidikan agama tidak saja menyampaikan materi pengetahuan agama kepada
peserta didik tetapi juga membimbing anak didik untuk berperilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai yang diajarkan agama yang mengedepankan nilai-nilai akhlakul
karimah sebagai perilaku dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Waktu
yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat,
yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan keperibadian yang
berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya.[25]
Pada tingkatan Sekolah Dasar
mata pelajaran Agama Islam diajarkan sejak kelas satu sampai kelas enam.
Pelajaran ini berisikan keimanan, akhlak, al-Qur’an Hadits, ibadah dan tarikh.
Dalam standar kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang harus
dikuasai siswa selama menempuh PAI di SD, berorientasai pada perilaku afektif
dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
D.
Fungsi Guru dalam Mengimplementasikan PAI Dalam KTSP
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003 tentang
Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam”. [26] Kemampuan dasar ketiga
ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara profesional, dalam arti mampu membuat
keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Dalam versi yang-berbeda, kompetensi pendidik dapat dijabarkan dalam
beberapa kompetensi sebagai berikut:
“Pertama, mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar
dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan. Kedua, menguasai
keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada peserta didiknya. Ketiga,
mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya
dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang
diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi. Keempat,
mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada
peserta didiknya. Kelima, mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang
sedang dan sudah dilaksanakan. Keenam, memberi hadiah (tabsyir/reward) atau hukuman sesuai
dengan usaha dan upaya dicapai peserta didik dalam rangka memberikan persuasi
dan motivasi dalam proses belajar. Kompetensi pendidik yang tidak kalah
pentingnya adalah memberikan uswah
hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya
yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan,
misalnya gaji, pangkat, kesehatan, kepada peserta didik dan lingkungannya”.[27]
Guru sebagai tenaga profesional di
bidang kependidikan, di samping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan
konseptual, juga harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat
teknis. Hal-hal yang bersifat teknis ini, terutama kegiatan mengelola dan
melaksanakan interaksi belajar-mengajar. Di dalam kegiatan mengelola interaksi
belajar mengajar, guru paling tidak harus memiliki dua modal dasar, yakni
kemampuan mendesain program dan keterampilan mengomunikasikan program itu
kepada anak didik. Dua modal ini telah terumuskan di dalam sepuluh kompetensi
guru, dan memang mengelola interaksi belajar mengajar itu sendiri merupakan
salah satu kemampuan dari sepuluh kompetensi guru. Sehubungan dengan itu, maka
pada pembahasan tentang pengelolaan interaksi belajar mengajar berikut ini akan
diuraikan “sepuluh kompetensi guru” sebagai sumber dan dasar umum atau sarana
pendukung serta microteaching sebagai
program latihan dan “beberapa komponen keterampilan mengajar” sebagai kegiatan
pelaksanaan interaksi belajar-mengajar.
Dalam pendidikan guru dikenal adanya “Pendidikan Guru Berdasarkan
Kompetensi”. Mengenai kompetensi guru ini, ada berbagai model cara
mengklasifikasikannya. Untuk program S1 salah satunya dikenal adanya “sepuluh
kompetensi guru” yang merupakan profil kemampuan dasar bagi seorang guru.
Sepuluh kompetensi guru itu meliputi:
Menguasai bahan, mengelola program belajar
mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasan
kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa
untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan
penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta memahami
prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran”. [28]
Kemampuan profesional ini mencakup
(1) Penguasaan pelajaran yang terkini
atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan
bahan yang diajarkan tersebut,
(2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan
dan wawasan kependidikan dan keguruan,
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Guru yang efektif adalah guru
yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran.
Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.[30]
Kemampuan sosial bagi pendidik adalah
menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran
dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong-menolong, egalitarian (persamaan
derajat antara manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki
oleh pendidik muslim Islam dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan
peserta-peserta didik.
Dalam kompetensi sosial ini termasuk
keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta
kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di
masa yang akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan,
guru harus memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk
menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan
kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan
dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2)
pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program yang
menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan.
Arikunto mengemukakan kompetensi sosial “mengharuskan guru memiliki
kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala
sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat”.[31]
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui
indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala
sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang
tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.
Menjadi guru adalah pilihan yang
terbaik dalam posisi sosial seseorang. Guru memang pahlawan tanpa jasa; guru
digugu dan ditiru. Posisi guru di masa reformasi ini telah diberikan perhatian
yang cukup lumayan, karena aspirasi guru secara tertulis diakomodasi dalam UU
Guru dan Dosen No. 14.
Secara tertulis untuk bentuk perhatian
terhadap guru terutama dalam kaitan kesejahteraan guru telah ada, namun
realisasinya memerlukan waktu dan membaiknya ekonomi nasional. Kelak menjadi
guru adalah pilihan utama dari profesi lainnya. Kalau saja bangsa ini sejak
awal kemerdekaan menjadikan pendidikan sebagai “panglima” dalam pembangunan
atau dalam kalimat yang lunak menjadikannya sebagai prioritas selain bidang
politik, ekonomi, maka nasib bangsa hari ini akan berkata lain. Diharapkan ke
depan tidak lagi mengalami setback, keberpihakan kepada guru bukan hanya basa
basi (lipservice), tetapi karena belajar dari kesalahan prioritas pembangunan
selama beberapa dekade yang lalu.
Dalam KTSP guru juga diberi kebebasan
untuk memamfaatkan berbagai metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan
berbagai metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan
kreativitas peserta didik. Karena dalam KTSP guru berfungsi sebagai fasilitator
dan pembelajaran berpusat pada peserta didik, metode ceramah perlu dikurangi.
Metode-metode lain seperti diskusi, praktek, dan tanya-jawab perlu
dikembangkan.[32]
Pembelajaran yang dilakukan melalui
diskusi, misalnya, dapat melibatkan partisipasi dari semua peserta didik. Semua
peserta didik dapat berbicara,
mengemukakan pendapatnya masing-masing. Guru dalam hal ini hanya mengarahkan
bagaimana diskusi berjalan. Kegiatan pembelajaran tidak selalu berlangsung di
dalam kelas. Kegiatan dapat dilakukan di luar kelas (perpustakaan, kantin,
taman, dsb), di luar sekolah (mengunjungi lembaga bahasa, televisi, penerbit).
Beragamnya tempat pembelajaran dapat membuat suasana belajar yang tidak
membosankan.
Kegiatan pembelajaran dapat juga
melibatkan orang tua dan masyarakat. Sekolah dapat mengundang orang yang
mempunyai profesi tertentu untuk berbicara dan berdialog dengan peserta didik.
Sebagai contoh, dalam pelajaran fiqih, kalau ada orang tua peserta didik yang
berfrofesi sebagai ulama, guru dapat
mengundang orang yang bersangkutan untuk berdiskusi tentang fiqih. Kegiatan
seperti ini akan berguna untuk peserta didik, guru, dan orang tua. Mereka dapat
saling belajar dan proses pembelajaran menjadi menarik dan bersifat
kontekstual.
Kalau memungkinkan, kegiatan
pembelajaran dapat dilakukan dengan
kunjungan peserta didik kepada orang dengan profesi tertentu , misalnya ahli
fiqh atau ahli tajwid, untuk menggali informasi tentang fiqh atau tajwid.
Kegiatan ini akan membuka wawasan peserta didik dan guru akan profesi yang
berkaitan dengan fiqh dan tajwid
sehingga diharapkan muncul sikap positif terhadap pentingnya fiqh dan tajwid
dalam kehidupan.
Dalam konteks Pendidikan Agama Islam
(PAI), guru berada di garda terdepan. Guru diberi tugas untuk mengembangkan
Standar Isi kurikulum. Pengalaman yang selama ini bergulat dengan anak didik
menjadi modal utamanya dalam mengimplementasikan semangat Standar Isi ini. Di
tengah persyaratan formal sebagai standar minimal seperti stratifikasi guru
dalam bentuk sebuah ijazah sesuatu yang perlu dipenuhi. Tetapi, selembar ijazah
belum cukup menjamin keberhasilan dalam membawa misi Standar Isi PAI. Sikap
keingintahuan terhadap segala hal, melakukan langkah-langkah yang kreatif serta
tidak kenal menyerah dan putus asa menghadapi kendala di lapangan sangat
diperlukan. Guru harus berusaha menjadi guru ideal, di samping menjadi contoh
moralitas yang baik, diharapkan ia memiliki wawasan keilmuan yang luas sehinga
materi PAI dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Memahami
psikologi anak didik sangat diperlukan pula.
Belajar PAI di sekolah bagi anak didik
bukan saja belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar
adanya pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru dalam
mentransfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk ceramah, tetapi juga
terkadang dalam bentuk membaca puisi, bernyanyi, mendongeng dan bentuk lainnya,
sehingga suasana belajar tidak monoton dan terasa menyenangkan. Guru, tidak
cukup menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki
kemampuan bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa
Inggris, sehingga kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa
menyampaikan ini halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan
mengikuti perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media
teknologi informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini,
pembelajaran yang efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang
komprehensif dan implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru
yang memiliki kriteria-kriteria di atas.
[1]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. 1, hal. 1.
[2]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997),
hal.256.
[3]Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma.rif Bandung ), hal.
31-32.
[8]
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media,
1992), hal. 14.
[9]Azumardi Azra, Esei-Esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hal. 3.
[10]Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 10.
[11] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), hal.
209-210.
[12]
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah Sekolah Dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 24.
[13]
Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1992),
Hal. 86.
[14] M.
Arifin ,Ilmu Pendidikan Islam, (Jakrta : Bumi Aksara, 1996), Hal. 10.
[15]
Mahmud, Tedia Priatna, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Sahifa,
2005), Hal. 18-19.
[16]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.
I, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 3-4.
[17]Ibid, hal. 4.
[18]
Withelingson. HC., Psikologi Pendidikan, Alih Bahasa M. Bukhari,
(Jakarta: Aksara Baru, 1984), hal. 12.
[19]
Harun Nasution, Islam Ditinja dari Berbagai Aspek, Jil. I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), hal. 9.
[20]
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1996), hal. 33.
[21]Abdul
Fida Kastori, Sistem Pendidikan Islam, (Ishlan, etd. 43 Tahun III,
1995), hal. 38.
[22]Kurikulum/GBPP
Sekolah Menengah Umum, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1995), hal. 21.
[23] Enco Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Cet I, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2006), hal.20.
[24] Enco Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Cet I, (
Bandung: Rosda Karya, 2006) , hal.29
Dan Sukses
Dalam Sertifikasi Guru, ( Jakarta: Raja Grafindo persada,2007), hal. 27
[26] Tanpa Nama, Undang-undang
Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003,
Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hal. 1.
[27] Saefuddin AM, Desekularisasi Pemikiran: Landasan
Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 130.
[28] Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,
Cet. XII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 163-181.
[29] Ibid., hal. 182.
[30] Ibid., hal. 183.
[31]Arikunto, Kompetensi Guru, (Online), diakses melalui situs: http://rastodio.com/pendidikan/pengertian-kompetensi-guru.html, 22 Juli 2010.
[32]
Masnur Muslich, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman
dan Pengembangan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 11
5
0 Comments
Post a Comment