Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Keberadaan Pendidikan Agama


C. Keberadaan Pendidikan Agama


 Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk prtumbuhan total seorang anak didik. Dan tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya konvensional dalam masyarakat. Karen itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Oleh Karena itu pendidikan agama keagamaan dalam keluarga tidak hanya melibatkan orang tua saja, akan tetapi seluruh keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam kelaurga. Peran orang tua tidak hanya barupa pengajaran, tetapi juga berupa peran tingkah laku, ketauladanan dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Seperti pepatah mengatakan bahwa pendidikan dengan bahasa perbuatan (perilaku) (tarbiyah bi lisan-I'l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap dari pada pendidikan dengan bahasa ucapan (tarbiyah bi lisan-il-maqal). Karena itu yang penting adalah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.”15
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibdah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita semua.
Rasa taqwa kepada Allah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Allah lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab menurut al-Qur'an hanya mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga bertaqwa kepada-Nya. Melalui hasil perhatian, pengamatan, dan penelitian kita terhadap gejala alam dan social kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (penggunaan teknologi), tetapi dapat membawa kita kepada keinsyafan Ketuhanan yang mendalam, melalui penghayatan keagungan Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaannya.

D. Mendidik Anak dengan Ilmu Agama


Disamping pokok-pokok pendidikan terhadap anak berupa menanamkan tauhid atau iman yang mantap, berbuat baik pada orang tua dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya, Luqman, seorang ahli hikmah yang namanya diabadikan dalam Al-Qur'an juga menanamkan hal-hal penting lainnya dalam pendidikan terhadap anaknya sehingga sang anak menjadi anak yang shaleh. Allah memfirmankan nasihat Luqman kepada anaknya yang tercantum dalam surat Lukman ayat 17 :
يا بنى أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما اصابك إن ذلك من عزم الأمور )لقمان:١٧(
Artinya:Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Qs. Lukman:17).

Berdasarkan ayat diatas, sekurang-kurangnya, ada empat pokok pendidikan yang harus ditanamkan kepada anak.
1. Membiasakan Shalat
Memerintahkan anak-anak untuk melakukan dan membiasakan shalat merupakan sesuatu yang amat penting dalam kehidupan mereka, karenanya hal itu juga ditekankan oleh Nabi kita Muhammad Saw, di dalam suatu hadits beliau bersabda:
وعن عمروبن شعيب عن جده رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلي ا لله عليه وسلم: مروأأولادكم بالصلا ة وهم ابنا ء سبع سنتين واضربوهم عليها وهم ابناءعشروفرقوابينهم في المضا جع حديث حسن،(رواه ابوداود)
Artinya: Dari Umar Bin Syuaib Ra. Berkata, bersabda Rasulullah SAW: suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika tak mau mengerjakannya ketika mereka telah berumur sepuluh tahun (HR. Abu Daud).

Penegasan akan keharusan mendirikan shalat oleh setiap anak merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan orang tua terhadap anaknya, hal ini karena shalat memiliki kedudukan yang sangat penting, yakni sebagai tiang agama yang bila seorang muslim meninggalkannya, sebagaimana bangunan tanpa tiang, maka bangunan itu akan hancur dan ini berarti bisa hancur juga keislaman dirinya bahkan dia bisa jatuh ke derajat orang-orang kafir dalam arti dia sudah seperti orang kafir karena orang kafir itu tidak shalat. Pengaruh shalat itu sendiri dalam kehidupan seorang muslim juga sangat besar, yakni dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam surat Al-ankabut ayat 45:
... واقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء ولمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون  ) العنكبوت:٤٥(
Artinya:…….. dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar (Qs. Al-ankabut :45).

Dalam kaitan membiasakan anak untuk melakukan shalat, maka orang tua juga harus membiasakan anaknya untuk terbiasa juga melakukan shalat berjamaah di masjid bagi anaknya yang laki-laki, hal ini tidak hanya akan memperoleh pahala yang jauh lebih besar, tapi juga mengandung didikan kemasyarakatan yang yang sangat tinggi, mulai dari interaksi, perkenalan hingga nantinya merintis dan menjalin kerjasama dengan masyarakat muslim dalam hal-hal yang baik.”16
Oleh karena itu orang tua zaman sekarang juga harus menjadi seperti Luqman terhadap anaknya yang amat menekankan agar sang anak melakukan shalat, apalagi banyak sekali hikmah shalat yang amat memberikan pengaruh positif dalam kehidupan seorang muslim.
2. Melibatkan Anak Dalam Amar Ma'ruf.
Kebaikan merupakan sesuatu yang pasti diketahui oleh setiap orang, maka kebaikan itu disebut juga dengan ma'ruf yang artinya dikenal, namun karena manusia kadangkala terpengaruh atau didominasi oleh hawa nafsunya, meskipun dia tahu bahwa kebaikan atau yang ma'ruf itu harus dilakukan tetap saja tidak dilakukannya, makanya di dalam Islam ada perintah untuk melakukan apa yang disebut dengan amar ma'ruf (memerintahkan yang baik) kepada orang lain.Kalau Luqman menegaskan keharusan ini kepada anaknya, itu artinya ada pengaruh yang sangat positif dalam diri seseorang, paling tidak dengan memerintahkan kebaikan pada orang lain, kita yang memerintah akan memiliki beban mental akan keharusan kita melakukan kebaikan itu, apalagi bila kita menganjurkan orang lain untuk melakukan kebaikan itu sementara kita sendiri tidak melakukannya, maka Allah justeru akan memurkai kita, di dalam Al-Qur'an Allah berfirman dalam Ash-shaaf ayat 2-3:
يا ايها الذين امنوا لم تقولون ما لا تفعلون, كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون )الصف:-٣ -٢ (
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan (Qs. Ash-shaaf:2-3).

Bila seorang anak dilibatkan dalam memerintahkan kebaikan, kepada orang lain, paling tidak dia akan mencintai kebaikan itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
3. Melibatkan Anak Dalam Nahi Munkar.
Sesuatu yang bathil atau tidak benar sebenarnya tiap orang telah mengetahuinya, maka manusia pada dasarnya akan selalu mengingkari segala bentuk yang tidak benar, ini sebabnya yang tidak benar atau yang bathil itu disebut dengan munkar. Namun karena manusia seringkali dikuasai oleh hawa nafsunya, sesuatu yang mestinya diingkari malah dilakukannya. Oleh karena itu di dalam Islam ada perintah untuk melakukan nahi munkar (mencegah manusia dari kemungkinan melakukan kemunkaran) dan seorang anak harus dilibatkan dalam aktivitas nahi munkar itu, karena tugas adalah tugas setiap muslim yang sejak kecil seorang anak sudah diikutsertakan di dalamnya.
Dengan melakukan tugas nahi munkar, paling tidak seseorang membenci pada kemunkaran sehingga dia tidak akan melakukannya.Dalam melaksanakan tugas nahi munkar, seorang muslim harus melakukannya sesuai dengan kemampuan masing-masing meskipun hanya dengan hatinya yakni dengan do'a agar seseorang tidak melakukan kemunkaran atau dengan menanamkan rasa benci terhadap kemunkaran itu di dalam hatinya, mencegah kemunkaran dengan hati ini merupakan ukuran bagi selemah-lemahnya iman, Rasulullah Saw bersabda:
عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان ) رواه مسلم (
Artinya:Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman. (HR.Muslim).

Dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, seorang muslim berarti telah memenuhi kriteria sebagai umat terbaik sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an surat Ali-imran ayat 110:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باالله ولو أمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثروهم الفاسقون ) آل عمران :١١٠(
Artinya:    Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah (Qs. Ali-imran:110).

4. Menanamkan Kesabaran Atas Kesulitan Hidup.
Menjadi muslim yang baik, apalagi kalau terlibat dalam amar ma'ruf dan nahi munkar, tidak selalu bisa berjalan mulus dalam menjalani kehidupan ini dalam arti sangat mungkin adanya hambatan dan kesulitan-kesulitan hidup ini. Sejarah perjalanan umat manusia telah membuktikan kepada kita betapa banyak orang-orang yang melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar harus menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya, mulai dari kesulitan dalam hubungan dengan manausia, kesulitan ekonomi sampai kepada nyawa yang terancam.
Oleh karena itu sangat tepat apa yang dinasihatkan Luqman kepada anaknya agar sang anak sabar terhadap hal-hal yang menimpa dirinya sebagai konsekuensi dari keimanan dan pembuktiannya, khususnya dalam hal amar ma'ruf dan nahi munkar. Nasihat ini memang sangat penting agar seorang anak tidak putus dalam kesulitan hidupnya lalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh sesuatu yang berarti telah meninggalkan prinsip yang diperjuangkannya dalam amar ma'ruf dan nahi munkar itu sendiri. Manakala seseorang memiliki kesabaran dalam hidupnya, maka Allah akan selalu bersama dengannya, Allah berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 153:
يا أيها الذين أمنوا استعينوا بالصبر والصلاة إن الله مع الصابرين ) البقرة:١٥٣(
Artinya:    Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
     (Qs. Al-baqarah:153).

Disamping itu, sabar juga menjadi salah satu kunci  utama dalam mencapai keberhasilan dalam perjuangan menegakkan agama Allah di muka bumi ini, Allah berfirman dalam surat Ali – imran ayat 200:
يا أبها الذين أمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون ) آل عمران:٢٠٠(
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung (Qs. Ali – imran:200)

Dari sini semakin kita sadari bahwa mendidik anak agar menjadi shaleh atau muslim yang sejati bukanlah sesuatu yang mudah, karena itu diperlukan perhatian yang besar dari orang tua terhadap anak-anaknya dalam proses pendidikan dan salah satu perhatian yang besar itu adalah dengan memberikan nasihat-nasihat yang padat makna sebagaimana yang dilakukan Luqman kepada anaknya, apalagi nasihat itu berangkat dari rasa kasih sayang yang dalam.



15 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Cet. Ke II, (Rineka Cipta, Jakarta, 2003).hal.66

16 Padhlan mudhafir, Krisis Dalam Pendidikan Islam, Cet. I (, Jakarta Al-Mawardi Prima, 2000).hal.33