BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Melihat persoalan semakin ruwet dan semakin susah
mencari penyelesaian dengan nas-nas maka menjadi landasan utama kenapa
aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang
menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah
diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah semenjak lama
menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan
tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan berijtihad untuk
mengatasi problem-problem zamannya.
Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang
mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan
memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan
Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab
suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.
Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah
problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian
struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama.
Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang
terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke
model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga
tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap di idealisasi
sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini
tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu,
kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman.
Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai
agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk
mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari
beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi
oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah
satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk
mengembangkan rasionalisme dalam Islam.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini
maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan[1].
Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa
ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki
seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum sedangkan
definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada
hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.
Menurut
Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari
suatu hukum syara’ dengan jalan Zan. Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari
dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil
yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad
adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan
hukum dari dalil-dalil[2].
Dari
keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar
membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah
kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan
keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan
hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara
yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar
ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas
segala problematika kontemporer.
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha
boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah:
149)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan dari mana saja kamu
keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah:
149)
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram,
apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad
dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang
ada. Secara kodrati
manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk
memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus
berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun
tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh
kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis
lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika
mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi
bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau
menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah
bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab
saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau
tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan
berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk
Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi
sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan
Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka
orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat
satu kebaikan.
C.
Kedudukan
Ijtihad
Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak
digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad,
dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan
ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut,
pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai
maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan
oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi
dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut
diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah
al-Qur’an dan Hadits.
D.
Fungsi Ijtihad
Telah diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum
yang dipetik dari kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka
menjadi pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu. Oleh karena syariat islam itu adalah syariat yang berdasarkan illahi,
dipetik dari dasar-dasar yang sudah terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi
seperti Al-Qur’an dan As-Sunah, ataupun yang diwujudkan oleh akal seperti :
Ijma’, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian menjadilah ijtihad itu sebagai
jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil itu dan
jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh
kebutuhan masyarakat[3].
Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu
menjadi penggerak yang sangat diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum
syara’ yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad Iqbal) menyatakan
bahwa Ijtihad merupakan “The Princple of Movement” daya gerak kemajuan
Islam, dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.
E.
Lapangan Ijtihad
Kaidah yang harus dipegang dengan
seerat-eratnya oleh mujtahid ialah apabila suatu nash syar’i lagi qath’i wurudnya
dan dalalahnya, tak ada tempat melakukan ijtihad. Wajib
diterapkan menurut keadannya, karena dia qoth’i wurudnya dan dalalahnya. Di
antara ayat-ayat yang demikian, ialah ayat hukum yang mufassir dan ayat-ayat
yang muhkam, seperti firman allah SWT, yang Artinya: “Wanita penzina dan laki-laki penzina, maka cambuklah
masing-masingnya seratus kali”[4].
Tidak ada tempat berijtihad lagi tentang hukum menyiksa
penzina dengan cambukan dan bilangan kali cambukan. Demikian pula tak ada
ijtihad pada hukum-hukum siksa yang sudah diberi batas. Demikian pula
sunah-sunah yang sudah mutawatir. Adapun apabila nash itu dhanni wurudnya/
dalalahnya, maka itu yang menjadi objek ijtihad. Para mujtahid membahas
kejadian yang tidak ada nashnya agar sampai pada pengetahuan hukum dari jalan
qiyas atau istihsan atau istisbah atau ‘uruf atau masalah mursalah dan sebagainya.
Al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenai
kasus yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu.[5]
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Ijtihad
menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini
maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
2. Dasar
hukum ijtihad adalah apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah:
149).
3. Dalam
sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan
hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur’an yang
jumlahnya lebih kurang 500 ayat.
4. Fungsi
ijtihad adalah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan
hukum dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan
batasan yang dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.
B.
Saran
– Saran
1.
Disarankan
kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu Ushul
Fiqh.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan
banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.
Disarankan
kepada Mahasiswa/i agar dapat
mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi
al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât fỉ Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad
Al-Syaukani, Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok –
Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqih, cet. 2, Kuwait: An-Nashie, 1977.
Abdul,Wahaf Khallaf, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press,2003.
[1] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât
fỉ Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
tt.), hal. 49.
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad
Al-Syaukani, (Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 94.
[3] Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok –
Pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hal.
545.
[5]Abdul,Wahaf Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, (
Jakarta: Rajawali Press,2003 ), hal. 10
0 Comments
Post a Comment