BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Akal
dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan
perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat
mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda
rasulullah SAW.
Akal
dalam pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya
hingga menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau
dihinakan hingga penyandangnya tak ubahnya seperti hewan. Berkata Ali bin Hasan
bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, Islam telah menunjukkan beberapa
fenomena penghormatan terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada
iman berdasarkan kepuasan akal.
Dalam
hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan mengamati, perhatikan firman Alloh
Subhanahu wa Ta'ala berikut:
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ
فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً) النساء: ٨٢(
Artinya: "Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ? Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya." (QS: An-Nisaa':82)
Islam
juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal al-Qur'an.
Diharapkan dengan ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal
al-Qur'an, manusia mau mengakui bahwa al-Qur'an benar-benar datang dari sisi
Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya:
"Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur'an itu
jika mereka orang-orang yang benar." (QS: ath-Thuur:34)
Selain
itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Alloh (al-Qur'an
Surah Ali Imran: 191; ar-Ruum: 8), untuk memikirkan syari'at Alloh
Subhanahu wa Ta'ala (al-Baqarah: 179, 184 dan al-Jumu'ah: 9), untuk
mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa mereka durhaka (al-An'am: 6,11)
dan juga diarahkan agar akal manusia mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan
kehidupan sekitarnya (al-Kahfi : 45).
Allah
'Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: "Dan mengapa mereka tidak
memikirkan tentang (kejadian) diri mereka ? Allah tidak menjadikan langit dan
bumi dan apa yang berada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar
dan waktu yang ditentukan. Dan
sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan
dengan Rabb-nya" (QS: ar-Ruum: 8)
Fenomena
lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak
(dogmatis-red), tidak memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun,
diberikan padanya kebebasan memilih, iman atau kufur (QS: al-Baqarah: 256,
al-Kahfi: 29, al-Ghassiyah: 21-22). Bukti lain fenomena penghormatan
terhadap akal, yakni adanya celaan terhadap para Muqallidin (orang-orang yang
taqlid), adanya perintah untuk senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya
perintah memelihara akal dan larangan untuk merusaknya. Semua itu menunjukkan,
betapa Islam begitu menghormati akal.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Kedudukan
Wahyu Dan Akal
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal. kecerdasan akal manusialah yang telah menempatkan manusia
pada posisi yang mulia di dunia dibandingkan
dengan hewan dan tumbuhan. Dengan
kemampuan akal inilah manusia dapat mengembangkan ilmu alam dan teknologi.
Namun akal tidak serta merta mampu membuat manusia memahami hakikat
eksistensinya. Hakikat eksistensi manusia tidak dapat di capai dengan
menggunakan refleksi dan perenungan rasional semata.
Hikmah dibalik eksistensi
manusia didunia tidak pernah bisa difahami dan dicapai dari penalaran rasional
belaka dan imajinasi hawa nafsu, oleh karenanya manusia seringkali tersesat
dalam memahami fenomena alam seperti gunung matahari dan bulan yang mereka
anggap sebagai sesembahan dan tuhan. Mungkin saat ini manusia menyembah Materi (uang, Harta, Sex dan kekuasaan).[1]
Manusia juga tersesat dalam
memaknai posisi dan kedudukannya dirinya didunia, ia beranggapan bahwa dunia
hanyalah untung-rugi material, tujuan menghalalkan cara, yang kuat yang
bertahan yang lemah terseleksi oleh alam, hak ada dalam kekuasaan, Tujuan hidup
adalah kehendak berkuasa, hidup adalah mencari kenikmatan. Sekali lagi semua
ini tidak memiliki dasar apapun kecuali hawanafsu manusia yang dikokohkan oleh akal.
Hakikat dari eksistensi
manusia hanya dapat difahami dengan perantaraan
wahyu dari tuhan (Allah.SWT). Filsafat yang dibuat oleh manusia
sebagi upaya pencarian makna dan hikmah dari eksistensi manusia tidak akan mencapai suatu kepuasan dan
ketetapan hati, karena akal tidak berfungsi untuk menetapkan hukum dan
penetapan makna hidup,yang berhak menentukan hukum dan makna hidup adalah tuhan
dan tuhan tidak membiarkan ciptaannya itu hidup tanpa di beri petunjuk (wahyu).
B. Karakteristik Wahyu
Adapun karakteristik wahyu adalah sebagai berikut
:
1)
Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber
dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2)
Wahyu merupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3)
Wahyu itu
adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa
yang berlaku.
4)
Apa yang
dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan
dengan prinsip-prinsip akal.
5)
Wahyu itu
merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6)
Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan.
7)
Sesungguhnya
wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
C. Pentingnya
Akal
Akal menurut
pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh
karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.[2]
Akal adalah tonggak
kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya
akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan
bangsa-bangsa.
Akal adalah jalan
untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan
akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang
menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
Dalam hal ini Allah
SWT berfirman dalam al-Qur'an Surah Ali
Imran: 191;
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.( Qs. Ali Imran:191 )
D. Kekuatan
akal
Adapun kekuatan akal adalah sebagai
berikut :
1) Mengetahui tuhan dan
sifat-sifatnya.
2) Mengetahui adanya hidup akhirat.
3) Mengetahui bahwa
kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik,
sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
4) Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5) Mengetahui wajibnya
manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya
di akhirat.
6) Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban
itu.
E. Kekuatan Wahyu
Adapun kekuatan wahyu adalah sebagai berikut :
1) Wahyu lebih condong
melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Membuat suatu
keyakinan pada diri manusia
3) Untuk memberi
keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4) Wahyu turun melalui
para ucapan nabi-nabi.
F. Akal dan Wahyu Menurut Beberapa Aliran
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran
kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu
yang menjadi sumbr pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia
berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta
tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Mu’tazilah
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai
kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah
Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga
kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.[3]
Sebaliknya aliran Asy’ariyah,
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya
mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima
kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu
aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional
berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan
mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal
lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui
dengan wahyu.[4]
Adapun ayat-ayat
yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan
terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat
al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul
fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum
bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum
adalah akal manusia sendiri . dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan
dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.
Sementara itu
aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil
dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat
15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat
Al-Mulk.
G. Fungsi Wahyu
Wahyu
berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi alran kalam tradisional, akal
manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi
tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik
dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di
situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada
pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan
kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah
wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu
diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada
tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta
menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang
lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi
tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan
tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya
wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal
tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari
pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal
tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari
hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui
dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari
uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah
mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah
diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian
menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi
kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai
kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan
mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian
sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya
kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata manusia tidak
aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih
kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan
buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari
perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya
bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan
larangan terhadap manusia.
Jelas
bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu
yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat
apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam
kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum
Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman
para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan
hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di
dalam al-syahrastani.
Adapun
aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu
tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi
Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan
buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui
kwajiban-kewajiban manusia.
Oleh
Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal
dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil
pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak
merdeka.
Tegasnya
manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan
dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di
dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia
dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam
pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia
dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi
dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak
tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan
uraian yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa
kesimpulan dan saran – saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Manusia adalah
makhluk yang memiliki akal. kecerdasan akal
manusialah yang telah menempatkan manusia pada posisi yang mulia di dunia dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan.
2. Adapun karakteristik
wahyu antara lain Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan,
Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu.
3. Jelas bahwa dalam
aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan
segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang
dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan.
B. Saran – Saran
1. Disarankan kepada
mahasiswa untuk dapat belajar lebih giat tentang masalah akal dan wahyu, karena
hal ini sangat penting bagi mahasiswa
2. Disarankan kepada
mahasiswa untuk dapat menggunakan akal sebagaimana yang diperintahkan Allah
SWT.
3. Disarankan kepada
mahasiswa untuk dapat memanfaatkan akal pada tempat yang diridhai Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Yunan Yusuf, M, Alam
Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990.
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka,
2003.
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa
Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman
Islam, PT. Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997.
Nasution, Harun, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakata’ 1987.
0 Comments
Post a Comment