BAB II
Kepribadian
Fatimah Az-Zahra
A. Ketekunan
Beribadah
Fatimah Az-Zahra adalah seorang
anak dari dua manusia agung. Ia lahir dari rahim seorang wanita yang memiliki
sifat-sifat mulia dan istimewa, Sayyidah Khadijah. Beliau adalah seorang wanita
terhormat yang melahirkan Fatimah Az-Zahra dan membesarkannya dengan
bakat-bakat dan nilai-nilai-ibadah. Ia mendapat didikan langsung dari
ayahandanya Muhammad, Rasulullah Saw yang memiliki akhlak yang khusus, jiwa
yang agung, semangat yang tinggi, keberanian serta semua kelebihan yang
dimiliki Rasulullah yang telah diketahui oleh setiap Muslim, bahkan oleh non
muslim yang mengkaji dan mengenalnya.
Ketekunan dalam beribadah adalah sifat yang khas bagi para anggota
ahlulbait Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari. Ketekunan beribadah bagi mereka merupakan tingkat
tertinggi kebahagiaan dan hubungan yang sejernih-jernihnya dengan Allah dan menjadi
tujuan hidup yang utama. Fatimah Az-Zahra sebagai seorang wanita yang penuh
bakti, beliau banyak melakukan ibadah kepada Allah sebagai bukti pengabdian dan
penyerahannya yang begitu tulus kepada Allah. Wajar saja Fatimah demikian
karena dia tumbuh di sebuah rumah dimana Alquran diturunkan. Ia diasuh oleh Alquran
dan pemimpin semua Rasul yang beribadah kepada Allah sampai bengkak kedua
kakinya.
Muhammad Abduh Yamani menjelaskan bahwa:
Tidak diragukan lagi, Fatimah ra adalah wanita yang agung
dan mulia, pemimpin wanita seluruh alam. Ia dikenal sebagai wanita yang cakap,
tangkas, pintar dan sangat tekun beribadah. Ia menguasai perkara agama dengan
baik serta memahami Alquran dan sunnah Nabi Saw. Meskipun selama hidupnya di
sibukkan oleh berbagai urusan besar, juga di terpa berbagai ujian dan cobaan,
ia tetap berusaha menyertai Nabi Saw. menjadikannya murid utama Rasulullah
sehingga ia meraih kedudukan yang mulia di sisinya, dan memiliki peran penting sebagai
pelayan dan pelindung ayahnya, terutama sejak ibundanya, Khadijah ra meninggal
dunia.[1]
Hasan bin Ali mengatakan "Aku melihat ibuku bangun
di mihrabnya pada malam jum'at, dan ia terus ruku' dan sujud sampai terbit
fajar subuh.” Aku mendengarkan ia mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. Ia banyak berdoa untuk mereka, dan tidak berdoa sesuatu pun untuk dirinya.
Maka aku bertanya kepadanya, ”Ibu, mengapa engkau tidak berdoa untuk dirimu
sendiri sebagaimana engkau mendoakan orang lain?” Ia pun menjawab, ”Anakku,
tetangga dulu baru kemudian rumah sendiri."[2]
B.
Kezuhudan
Fatimah Az-Zahra mengenal dan menghayati nilai-nilai kehidupan
yang sebenar-benarnya. Ia juga mengenal dengan baik bagaimana seharusnya
menghadapi kehidupan duniawi ini. Ia bisa dikatakan sama sekali tidak tergiur
oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dan kesenangan-kesenangan hidup lainnya.
Dengan rumah tangga yang sangat sederhana dan kehidupan sehari-hari yang serba berat
maka terbentuklah sifatnya yang rendah hati, tahan uji dan penyabar.[3]
Salah satu sikap yang menunjukkan kezuhudan Fatimah adalah
seperti yang diriwayatkan oleh Asma binti Umais: Asma binti Umais sedang
bercerita bahwa ia sedang berada di tempat Fatimah ketika tiba-tiba Rasulullah
masuk sedang di leher Fatimah terdapat kalung emas yang diberikan oleh Ali dari
bagian yang diperolehnya. Maka Rasulullah berkata kepada Fatimah, “Anakku,
janganlah engkau membuat orang-orang berkata, ‘Fatimah binti Muhammad memakai
pakaian kesombongan”. “Fatimah pun melepaskannya saat itu juga dan menjualnya
hari itu juga. Dengan uang hasil penjualan kalung itu, ia kemudian membeli
seorang budak wanita mukmin kemudian memerdekakannya. Berita itu sampai kepada
Rasulullah, dan beliau pun gembira”.[4]
Pembahasan tentang kezuhudan Sayyidah Fatimah as dalam
menjalani kehidupan, kita harus mengetahui terlebih dahulu makna kezuhudan itu
sendiri. Makna kezuhudan dalam Alquran adalah sebagai berikut, "Supaya
kalian tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan tidak terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian."
Sayyidah Fatimah as adalah seorang wanita yang sangat sederhana dan
sama sekali tidak tertarik dengan keindahan dunia. Beliau selalu mencari
keridhaan Allah swt karena keridhaan-Nya merupakan kenikmatan yang paling
tinggi. Bentuk kerelaan Allah swt untuk hamba-hamba-Nya bukanlah dunia yang
hina dan fana ini, akan tetapi alam akhirat yang mulia dan abadi. Sebagaimana
Allah swt dalam surat Al-Anfal ayat 67 berfirman,
مَا
كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ
تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ) الأنفال:
٦٧(
Artinya: Tidak patut, bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. Al-Anfal: 67).
Waktu Sayyidah Fatimah as banyak digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. Beliau sama sekali tidak menyibukkan dirinya untuk
kepentingan dunia karena cinta terhadap dunia merupakan penghalang untuk sampai
ke tujuan yang mulia. Keindahan
dan kesenangan dunia bersifat sementara, akan tetapi sangat disayangkan banyak
manusia yang tertipu ketika melihatnya. Mereka tidak sadar bahwa ada alam yang
lebih indah dan lebih menyenangkan dibanding dunia.
Oleh karena itu Sayyidah Fatimah as memilih alam akhirat karena
hakekat kebahagiaan dan kehidupan ada di alam tersebut. Beliau menjalani
kehidupannya dengan penuh kesederhanaan dan tidak perduli dengan keindahan
dunia. Selain itu Sayyidah Fatimah selalu ridha dengan keadaannya. Beliau sama
sekali tidak pernah mengeluh kepada siapapun dalam urusan dunia. Kehidupan
Sayyidah Fatimah as adalah sebuah kehidupan yang jauh dari kemewahan.
Kesederhanaannya bukan karena beliau miskin namun disebabkan oleh puncak
pengetahuan (makrifat) dan kekayaan spiritual beliau.
Bukti terbaik bahwa Sayyidah Fatimah ra hidup dalam
kesederhanaan adalah ketika beliau memiliki tanah Fadak. Tanah Fadak adalah
tanah yang sangat subur karena tanah ini bisa menghasilkan gandum yang sangat
banyak sehingga kebutuhan semua penduduk Madinah terpenuhi dengannya. Setelah
Allah swt menyuruh Rasulullah Saw memberikan tanah Fadak kepada Sayyidah
Fatimah ra, semua keuntungan hasilnya ada di tangan Sayyidah Fatimah ra. Namun penghasilan yang banyak ini tidak merubah kesederhanaan
beliau dalam menjalani kehidupan. Semua penghasilan tanah Fadak beliau infakkan
kepada masyarakat. Hal ini beliau lakukan hanya demi mencari keridhaan Allah
swt. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kesederhanaan Sayyidah
Fatimah ra
bukan karena keterpaksaan dan kemiskinan tetapi karena kecintaan beliau kepada
Allah swt.
Kesederhanaan dan ketidakcintaan terhadap dunia adalah suatu hal
yang dicontohkan oleh para Nabi dan Imam as. Tidak ada satupun dari mereka
memiliki rasa cinta terhadap dunia seperti yang kita lihat dalam sejarah
kehidupan mereka. Kezuhudan Sayyidah Fatimah ra
adalah salah satu pelajaran yang didapatkan dari ayahnya.
C.
Ketabahan Menghadapi Penderitaan
Imran bin Husain mengatakan, “Aku pernah bersama
Rasulullah yang sedang duduk. Tiba-tiba Fatimah datang. Beliau memandangnya.
Wajah Fatimah tampak kekuning-kuningan dan pucat karena sangat lapar. Lalu
beliau berkata, ‘Mendekatlah Fatimah!’ Fatimah pun mendekat Beliau berkata
lagi, ‘Mendekatlah Fatimah!’ Fatimah mendekat sampai berdiri di hadapannya.
Kemudian beliau meletakkan tangannya di atas dada Fatimah di tempat kalung
sambil merenggangkan jarijarinya. Setelah itu beliau berdo’a, ‘Ya Allah yang mengenyangkan
orang yang lapar dan mengangkat orang yang jatuh, janganlah Engkau laparkan
Fatimah binti Muhammad”
Imran mengatakan, “Lalu aku memandangnya. Darahnya tampak
kembali di wajahnya, dan hilanglah kekuning-kuninganya.”[5] Dalam
menghadapi kesulitan hidup, Fatimah Az-Zahra mempunyai sikap mental setangguh
ayahnya. Ayahnya memang selalu mengajarkan kepada Fatimah untuk senantiasa
bersabar dari kepahitan-kepahitan hidup di dunia. Ayahnya pernah berkata,
“Wahai Fatimah, bersabarlah atas pahitnya dunia agar engkau memperoleh kenikmatan
abadi di akhirat.” Fatimah sangat bersabar dalam menjalani kehidupannya yang susah.
Ia menghadapinya dengan sifat Qanaah. Ia selalu memuji Allah atas kehidupannya
itu. Ia senang dengan keadaannya dan rela pada kehidupannya.[6]
Ketika masih kanak-kanak, Siti Fatimah Az Zahra ra sudah mengalami
penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit
getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun,
dia bersama ayah bundanya hidup menderita dibuang daerah akibat pemboikotan
orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas penderitaan setelah 3 tahun diboikot,
datang pula ujian berat atas diri Siti Fatimah Az Zahra ra, apabila wafatnya ibunda
tercinta, Siti Khadijah ra. Perasaan sedih selalu saja menyelubungi hidup
sehari-harinya dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu. Fatimah tidak menyesali diri atau menceritakan kepada ayahnya
tentang penderitaan yang dialami di rumah suaminya. Fatimah adalah seorang ibu yang utama dan
istri yang taat lagi sabar. Dia mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya dan
menumbuhkan mereka dengan sempurna. Siang hari bekerja dan malam hari berjaga
hingga dia mempersembahkan untuk umat manusia pemuda terbaik ahli surga, yaitu
Hasan dan Husain.[7]
Saat itu, Fatimah sedang menggiling gandum dalam keadaan letih dan
jemu. Sayyidina Ali pun tidak tega melihatnya dan segera Ali menyuruhnya
kerumah sang Ayah agar ia diberi seorang
pelayan untuk membantu istrinya dirumah dan Ali tidak mau melihat sang istri
letih. Fatimah pun bangkit dan merapikan kerudungnya. Berangkatlah ia menuju
rumah ayahnya dengan langkah perlahan dan hati-hati. Rasulullah pun melihatnya
dengan penuh gembira lalu bertanya ” hai anakku ada apa ?” Fatimah menjawab,
“Aku datang hanya untuk menyampaikan salam kepadamu”. Rasa malu menahannya
untuk menyampaikan keperluan yang karenanya dia menemui Ayahnya.[8] Fatimah kembali kerumahnya dan menyampaikan kepada
suaminya bahwa ia malu untuk meminta sesuatu kepada ayahnya. Fatimah adalah manusia yang sangat pemalu dan paling dekat dengan kalbunya.
D.
Dermawan
Fatimah Az-Zahra adalah orang yang mengutamakan (orang lain)
atas dirinya sendiri karena meneladani sunnah dan perilaku ayahnya dan juga ia
memelihara sifat yang mulia itu. Ia adalah salah seorang ahlulbait yang dikenal
dengan kewibawaannya yang tinggi. Ibnu al Jauzi meriwayatkan, “Nabi pernah
membuatkan sehelai baju untuk Fatimah pada malam pernikahannya karena yang dimilikinya
pada saat itu hanya sehelai baju yang bertambal. Tiba-tiba seorang berdiri di
pintu rumahnya dan meminta darinya sehelai baju yang layak dipakai. Mula-mula
Fatimah hendak memberikan bajunya yang bertambal itu. Namun ia ingat akan
firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 92 sebagai berikut:
لَن
تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن
شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ) آل عمران: ٩٢(
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.(Qs.
Ali Imran: 92).
Fatimah kemudian memberikan kepada orang tersebut bajunya
yang baru. Menjelang hari pernikahan, malaikat Jibril datang dan memberinya
sebuah baju yang terbuat dari sutera hijau. Malam itu juga banyak wanita Yahudi
yang menyatakan diri memeluk agama Islam. Tindakan-tindakan wanita Yahudi ini
kemudian diikuti oleh suami mereka.[9]
Pada suatu hari Fatimah dan Ali didatangi seseorang yang sudah
tua. Fatimah bertanya, “Siapa Anda?” Lalu dia menjawab,”Aku seorang tua dari
Arab, aku telah menemui ayahmu, penghulu umat manusia. Aku datang dari negeri
yang jauh. Tubuhku tidak berbaju dan perutku lapar. Tolonglah aku. Semoga Allah
Swt merahmatimu.” Pada waktu itu Fatimah dan Ali dan Nabi sudah tiga hari tidak
makan dan Nabi juga mengetahui keadaan itu. Fatimah mengambil kulit domba yang
disamak yang biasa dipakai Hasan dan Husain sebagai alas tidur. Fatimah
berkata: Ambillah ini wahai tamuku. Mudah-mudahan Allah menyediakan yang lebih
baik bagimu.” Tetapi orang Badui itu berkata, “Wahai putri Muhammad, telah aku
katakan aku sangat lapar. Tetapi engkau memberiku kulit domba. Apa yang dapat
aku lakukan dengan kulit domba itu?”
Lalu Fatimah mengambil kalung yang ada di lehernya.
Kalung itu hadiah dari putri pamannya, Hamzah bin Abi Thalib. Lalu ia memberikan
kalung itu dan berkata, “Ambillah ini dan juallah. Mudah-mudahan Allah
memberimu sesuatu yang lebih baik.” Orang Badui itu mengambil kalung itu lalu
menemui Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, Fatimah telah memberiku
kalung ini. Ia memintaku untuk menjualnya dengan harapan semoga aku bisa mendapatkan
sesuatu yang lebih baik darinya.” Melihat itu Rasulullah meneteskan air mata.
Sewaktu menjadi isteri Sayyidina Ali, Siti Fatimah
menguruskan sendiri keperluan rumah tangganya. Sayyidina Ali sering tiada
kerana keluar berjuang bersama Rasulullah Saw. Setiap hari, Siti Fatimah
mengangkut air dari sebuah perigi yang jauhnya dua batu dari rumahnya. Beliau
mengisar tepung untuk keperluan makanan keluarganya. Dalam serba susah dan
miskin, beliau tetap ingin bersedekah walaupun hanya dengan sebelah biji kurma.
Siti Fatimah tidak pernah mengeluh atau menyalahkan suaminya terhadap kesusahan
yang terpaksa dihadapinya.
Beliau adalah ahli infak
yang senantiasa bersedekah dan sanggup berkorban apa saja. Contohnya,
pernah suatu ketika, ada seorang yang datang berada didepan rumahnya.[10]
Karena tidak memiliki apa-apa, tanpa pikir panjang sayyidina Fatimah memberikan
pakaian pengantinnya kepada orang itu. Beliau tidak pernah menolak untuk
membantu dari segi harta kepada orang-orang yang memerlukan dan telah menjadi
kebiasaan untuk hidup sederhana dan jauh dari kesenangan dan kekayaan, serta
menjalani hidup dengan keindahan akhlak, kasih sayang dan kerjasama.
E.
Menjaga Kesucian diri
Fathimah Al-Zahra dikenal sebagai wanita yang berakhlak mulia,
pemilik jiwa yang suci, berperasaan lembut, dan cerdas. kelembutan jiwa dan
keindahan pekertinya disempurnakan dengan kecerdasan pikiran dan
ketangkasannya. Ia tidak pernah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang sia-sia,
tidak pula mendekati prilaku yang tercela.[11]
Di antara ajaran Islam yang mendapatkan perhatian khusus
dari Fatimah adalah melindungi kehormatan dan kecantikan kaum perempuan lewat
menaati aturan berbusana islami. Fatimah menyadari bahwa kejahatan, bencana
kemasyarakatan, dan pelecehan karena pelepasan hijab dan kelonggaran pergaulan.
Ibnu al Maghazili menyebutkan dalam kitabnya, Al Manaqib, bahwa Ali bin Al
Hasan berkata, “Sekali waktu seorang laki-laki buta meminta izin memasuki rumah
Fatimah, namun Fatimah tetap membentangkan hijab (batas penutup) di antara
mereka berdua. Rasulullah melihat tindakannya itu dan bertanya, ‘Mengapa engkau
tetap membentangkan hijab di antara kalian padahal ia tidak dapat melihatmu?’
Fatimah menjawab, ‘Rasulullah, benar ia tak dapat melihatku, namun aku dapat
melihatnya dan ia dapat mencium wangiku.’ Mendengar hal ini Nabi Saw berkata,
‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah bagian dari diriku.[12]
Apabila ada orang laki-laki yang ingin berbicara
dengannya, maka ia akan melayaninya dari balik tirai atau hijab yang memisahkannya
dengan orang tersebut agar dengan cara itu ia bisa terpelihara dari pandangan
laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Sedemikian sucinya dirinya sehingga ia
juga berpesan bahwa kelak ketika ia wafat dirinya harus ditutup rapat-rapat
dari pandangan non muhrimnya. Fatimah menganggap bahwa tradisi saat itu yang
menutup wajah mayit perempuan, namun membiarkan bagian tengahnya terbuka dar
kain yang menyelimutinya adalah suatu aib besar. Ketika Asma’ binti Umais
memberitahukan bahwa seluruh tubuh jenazah wanita penduduk Habsyah tertutup
rapat, Fatimah memuji cara mengurus jenazah wanita seperti itu. Dia berpesan
agar dirinya kelak juga ditutup seperti itu, agar terhindar dari pandangan
laki-laki yang non muhrim.[13]
Sifat pemalu dan kesucian sayyidinah Zahra menjadi buah mulut semua
orang. Walaupun apabila berdepanan dengan orang buta dia tetap memelihara
hijabnya. Contoh, dihadapan lelaki buta, Sayyidina Fatimah sangat melindungi
dan memelihara maruahnya. Rasul Allah bertanya kepadanya, “mengapa anda berhijab,
sedangkan orang itu buta ?” Fatimah memberi respon dengan berkata, “walaupun
dia tidak nampak melihat saya, tetapi saya melihatnya,[14]
serta dia boleh mencium bauku”.
Fatimah
juga sangat mengerti tentang tanggung jawabnya yang berat
serta pengaruhnya terhadap suaminya. Sudah menjadi kewajiban seorang
wanita shalihah untuk taat kepada suami maksudnya mendahulukan segala
perintahnya daripada keperluan diri sendiri atau lainnya. Kewajiban
wanita dalam keluarga yang pokok adalah mengatur rumah tangga, termasuk
di dalamnya menerima kepemimpinan suami atau mentaatinya.
Apabila isteri sudah mengetahui kewajibannya dan melaksanakannya, maka suami
tidak boleh mencari-cari jalan untuk menyusahkannya atau
dengan kata lain suami harus memenuhi hak-haknya.
Sesungguhnya
wanita memiliki pengaruh yang besar terhadap suaminya.
Kebahagiaan dan kesusahan seorang suami, kemajuan dan kemundurannya,
ketenangan dan kesedihannya, serta keberhasilan dan kegagalannya
mempunyai kaitan yang kuat dengan isteri dan perlakuan isteri terhadapnya
di dalam rumah.
Fatimah
senantiasa memberikan semangat kepada suaminya, memuji keberanian
dan pengorbanannya, dan membantunya untuk menyiapkan diri
menghadapi peperangan berikutnya. Ia menghilangkan sakitnya,
membuang keletihannya. Tidak pernah Fatimah keluar tanpa seizin
suaminya. Tidak pernah ia membuat suaminya marah. Ia sadar betul bahwa
Allah tidak akan menerima perbuatan seorang isteri yang membuat marah
suaminya sampai suaminya ridha terhadapnya. Sebaliknya, Fatimah tidak
pernah marah terhadap suaminya, ia tidak pernah berdusta di dalamnya.
Rumah
tangga Ali dan Fatimah adalah rumah tangga yang menghimpunkan suami
istri yang maksum dan mempunyai sifat-sifat akhlak yang utama.
Ali dan Fatimah masing-masing merupakan pria dan wanita teladan yang
sempurna dalam Islam. Ali tumbuh sejak masa mudanya di tangan
Rasulullah dan merupakan pusat perhatian beliau. Beliau memberinya
ilmu, akhlak, keutamaan, dan kesempurnaan. Demikian pula
halnya dengan Fatimah.
Surga,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2009), hal. 135.
Putra, 1993),hal. 165.
0 Comments
Post a Comment