Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Konsep Dasar Keteladanan


BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Konsep Dasar Keteladanan
Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya Islam dan Sekularisme menjelaskan bahwa keteladanan  menduduki posisi strategis dalam pendidikan. Faktor keteladanan mempunyai pengaruh besar pada perilaku dan mental anak, sebab biasanya anak akan meniru kedua orang tuanya, bahkan kedua orang tuanya akan mencetak perilaku paling kuat bagi perkembangan perilaku dan mental anak[1].
Sebagai contoh, jika seorang ayah memerintahkan anak salat, sementara dia sendiri belum melaksanakannyabahkan sedang asyik dengan aktivitas lain, dapat dipastikan ia tidak akan melaksanakan perintah kita. Jika seorang ibu menyuruh kepada anaknya untuk pergi mengaji, tetapi ibunya sendiri tidak pernah pergi ke pengajian, jangan harap perintah itu akan dilaksanakan. Bahkan, si anak cenderung akan berkata, "Ayah sendiri belum salat." Atau, "Ibu sendiri gak pernah ngaji."
Suri teladan yang ada pada Rasulullah SAW merupakan panutan dari segala teladan ummat manusia. Kehebatannya selain diakui oleh Allah SWT juga diakui oleh manusia, baik kawan maupun lawan. Kesempurnaan suri teladan Rasulullah SAW ini dilukiskan oleh  Hamka sebagai berikut:
“Kehidupan Rasulullah SAW adalah contoh kehidupan yang paling sempurna yang dirumuskan oleh salah seorang pujangga Islam dengan sebutan “The ideal prophet” atau Al-Mutsalul Kamil, artinya teladan kehidupan yang paling sempurna. Maka sejak itu kita menerima dari Ilahi, kita akan berusaha meneladani kehidupan itu sedaya upaya kita. Tujuan akhir kehidupan kita adalah hidup mencontoh kehidupan Rasulullah SAW menurut tenaga yang ada pada kita”.[2]

            Sehubungan dengan itu, Rasulullah SAW sendiri pernah mengungkapkan dalam haditsnya sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرة رَضى الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إنمابعثت لأ تمم احسنالأخلاق (رواه ملك)[3]

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW, bahwasanya aku diutus ke atas permukaan bumi ini untuk memperbaiki akhlak (manusia). (H.R. Malik).

            Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak manusia, merubah sikap dari kekufuran menjadi tauhid. Usaha-usaha untuk mengadakan revolusi dunia. Orang menyebutnya tokoh revolusi karena mampu membuat perubahan manusia bukan hanya aqidah saja, tetapi sekaligus merubah sikap di bidang-bidang lain seperti politik, sosial, adat istiadat, budaya, agama, ekonomi, dan lain-lain.
            Keberhasilan Rasulullah SAW, mengadakan revolusi akhlak dalam waktu singkat ini dilatarbelakangi oleh diri pribadinya yang berbudi pekerti luhur. Sejak kecil dia sudah memiliki akhlak yang mulia bahkan disenangi oleh kawan dan disegani oleh lawannya. Dengan keluhuran budi pekerti tersebut menyebabkan beliau diangkat menjadi utusan-Nya, sehingga timbullah pertentangan dari sebahagian masyarakat terutama ahli-ahli agama lama dan tokoh-tokoh politik, semua ini terjadi  karena kekhawatiran mereka terhadap pangkat dan kedudukannya dalam masyarakat nanti. Namun demikian, sikap Rasulullah SAW tidak berubah, tetap menegakkan agama Allah SWT kendatipun terpaksa melawan arus yaitu tokoh-tokoh arab dan ahli politik. Sikap tegas demikian merupakan kriteria pribadinya. Firdaus An menulis:
“Muhammad Rasulullah SAW telah diberi oleh Allah SWT karunia yang besar berupa sifat-sifat utama yang merupakan tabi’at atau watak kepribadian yang agung senantiasa memancarkan dalam diri pribadi beliau yang mulia dan suci”.[4]

Berdasarkan pernyataan hadits di atas, maka tujuan utama diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan, membimbing dan mengarahkan manusia kepada akhlak yang mulia di samping pembinaan tauhid dan hukum-hukum syari’at.
Keteladanan memang penting, tetapi bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan. Ada banyak hal yang perlu dijelaskan secara verbal mengapa sesuatu harus dilakukan atau mengapa pula sesuatu harus ditinggalkan. Atas dasar ini perlu ditegaskan bahwa dalam konsep pendidikan Islam, melarang atau berkata "jangan" kepada anak bukanlah hal yang tabu karena konsep pendidikan Islam ber-pijak pada prisip amrun bi maruf wa nahyun an munkar (memerintahkan hal yang makruf dan mencegah perbuatan tercela).
Prototipe yang dapat dijadikan pijakan bagi orang tua dalam mendidik akhlak bagi anaknya adalah Lukman Al-Hakim. Pengarahan langsung seorang Lukman Al-Hakim kepada anaknya yang terekam dalam Alquran, kiranya dapat kita aktual isasikan dan kita im-plementasikan serta kita tanamkan kepada anak-anak kita. Dapat kita bayangkan betapa indahnya sebuah keluarga yang anak-anaknya senantiasa menghiasi jiwanya dengan akhlak karimah, taat beribadah, selalu melaksanakan amar makruf nahi mungkar, pandai bersyukur, tawadu, dan memiliki sikap taawun (tolong-menolong).
Nabi Muhammad SAW adalah teladan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Tidak ada manusia yang demikian sempurna dapat diteladani karena di dirinya terdapat berbagai sifat mulia. Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengalami berbagai keadaan dalam hidupnya. Beliau pernah merasakan hidup sebagai orang susah sehingga dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup. Beliau juga pernah menjadi kaya, sehingga dapat menjadi teladan bagaimana seharusnya menggunakan kekayaan. Beliau pernah menjadi pemimpin di berbagai bidang sehingga kita dapat meneladani kepemimpinannya.
Keteladanan dan keerifan Nabi Muhammad dalam memimpin dan membimbing sukunya sudah tidak dapat diragukan lagi itu terbukti pada saat Nabi Muhammad melakukan hijrah bersama sukunya dari kota Mekkah ke kota Madinah. Bahkan beliau dapat bertindak cepat dalam menyatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin, itu membuktikan bahwa beliau bersikap sangat arif dalam memimpin sukunya dan patut dijadikan teladan bagi sukunya. Rasulullah SAW selalu mengingatkan para sahabat lewat contoh-contoh indah dari para umat terdahulu, sebagaimana beliau menuntun kita untuk mengikuti jejak para sahabat beliau.
Bila dicermati secara historis  pendidikan  di zaman Rasulullah Saw. dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilan adalah keteladanan (uswah).[5] Rasulullah Saw. di dalam mendidik tidak hanya melalui kata-kata saja, tetapi, lebih banyak memberikan keteladanan dalam mendidik umatnya. Karena itulah, keteladanan dikatakan sebagai  metode yang sangat efektif dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam.    

 Oleh karena itu, keteladanan yang baik adalah salah satu syarat  yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Hal ini karena keteladanan memiliki peranan yang sangat signifikan dalam upaya mencapai keberhasilan pendidikan, dan juga dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap nilai-nilai pendidikan Islam.
Dalam praktek pendidikan dan pengajaran, keteladanan ini dilaksanakan dalam dua cara, yaitu; Pertama, secara langsung (direct) maksudnya bahwa pendidik benar-benar menjadikan dirinya sebagai contoh teladan yang baik bagi anak didik. Kedua, secara tidak langsung (indirect) yang maksudnya, pendidik menceritakan riwayat para nabi, kisah-kisah orang besar, pahlawan dan syuhada, yang tujuannya agar anak didik menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai suri teladan dalam kehidupan mereka.[6]

B.    Tujuan Keteladanan
Muhammad Fadhil Al Jamaly dalam bukunya al-Falsafah at-Tarbawiyyah Fil Qur’an, diterjemahkan Judi al-Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani menegaskan, salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah, uswatun hasanah atau suri teladan.[7]. Teori keteladanan tak dapat disangkal telah memiliki peran yang sangat signifikan dalam usaha pencapaian keberhasilan pendidikan, hal itu disebabkan karena secara psikologis, anak didik lebih banyak mencontoh perilaku atau sosok figur yang diidolakannya termasuk gurunya, karena itu seorang pendidik hendaknya menyadari bahwa, perilaku yang baiok adalah tolak ukur yang menjadi keberhasilan bagi anak didiknya.
Muhammad Fhadil al-Djamali, menyatakan:
Tujuan keteladanan dalam Islam adalah untuk menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah SWT  dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki tanggung jawab sosial  terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitarnya ciptaan Allah SWT  bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada khalik pencipta alam itu sendiri.[8]

Adapun tujuan keteladanan sebagai menurut M. Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,  adalah sebagai berikut:
1.     Menjadikan insan yang berakhlakul karimah, yang sejahtera, aman dan damai dalam kehidupan manusia,  agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini tujuan pembinaan akhlak bukan hanya mengajarkan pengetahuan dan melatih keterampilan dalam melaksanakan ibadah saja, akan tetapi jauh lebih dari pada itu, keteladanan bertujuan membentuk kepribadian  manusia yang sesuai dengan ajaran Islam.
2.     Menciptakan manusia muslim (generasi muslim) yang berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan taqwanya menjadi pengendalian dalam menerapkan ilmu dalam masyarakat.
3.     Mendidik pribadi muslim ke arah kesempurnaan sebagai salah satu upaya mengoptimalkan pengabdian diri kepada Allah SWT. Tujuan pembinaan akhlak lebih ditekankan pada pembinaan moral untuk mewujudkan pribadi muslim yang sempurna. Hal ini senada dengan ungkapan Athiyah Al-Abrasyi, bahwa: “Pembentukan moral yang tinggi adalah fungsi utama dari tujuan akhlak”.[9]

Menurut al-Ghazali yang di kutip dari kitab Mausu’ah al-Mar’atul Muslimah anak adalah amanat bagi orang tuanya. Hatinya yang suci merupakan permata tak ternilai harganya, masih murni dan belum terbentuk.[10] Orang tuanya merupakan arsitek atau pengukir  kepribadian anaknya. Sebelum  mendidik orang lain, sebaiknya orang tua harus mendidik pada dirinya terlebih dahulu. Sebab anak merupakan peniru ulung.
              Segala informasi yang masuk pada diri anak, baik melalui penglihatan dan pendengaran dari orang di sekitarnya, termasuk orang tua akan membentuk karakter anak tersebut. Apalagi anak yang berumur sekitar 3-6 tahun, ia senantiasa melakukan imitasi terhadap orang yang ia kagumi (ayah dan ibunya). Rasa imitasi dari anak yang begitu besar, sebaiknya membuat orang tua harus ekstra hati-hati dalam bertingkah laku, apalagi didepan anak-anaknya. Sekali orang tua ketahuan berbuat salah dihadapan anak, jangan berharap anak akan menurut apa yang diperintahkan.
            Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi orang tua pemegang amanat, untuk memberikan teladan yang baik kepada putra putrinya dalam kehidupan berkeluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Orang tua terutama ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak dalam membentuk pribadinya.
              Ibu mempengaruhi anak melalui sifatnya yang menghangatkan, menumbuhkan rasa diterima, dan menanamkan rasa aman pada diri anak. Sedangkan ayah mempengaruhi anaknya melalui sifatnya yang mengembangkan kepribadian, menanamkan disiplin, memberikan arah dan dorongan serta bimbingan agar anak tambah berani dalam menghadapi kehidupan.[11]
              Teladan yang baik dari orang tua kepada anak (sekitar umur 6 tahun) akan berpengaruh besar kepada perkembangan anak di masa mendatang. Sebab kebaikan di waktu kanak-kanak awal menjadi dasar untuk pengembangan di masa dewasa kelak. Untuk itu lingkungan keluarga harus sebanyak mungkin memberikan keteladanan bagi anak. Dengan keteladanan akan memudahkan anak untuk menirunya. Sebab keteladanan lebih cepat mempengaruhi tingkah laku anak. Apa yang dilihatnya akan ia tirukan dan lama kelamaan akan menjadi tradisi bagi anak.
              Karena obyeknya anak (kanak-kanak) tentunya bagi orang tua dalam memberikan teladan harus sesuai dengan perkembangannya sehingga anak mudah mencerna apa yang disampaikan oleh bapak ibunya. Sebagai contoh agar anak membiasakan diri dengan ucapan “salam”, maka senantiasa orang tua harus memberikan ajaran tersebut setiap hari yaitu hendak pergi dan pulang ke rumah (keteladanan kerendahan hati). Yang penting bagi orang tua tampil dihadapan anak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, niscaya semua itu akan ditirunya.
Pendidikan keteladanan dengan jalan meniru sebagai bentuk belajar, telah digambarkan oleh Allah swt. Dalam kisa Qabil dan Habil, dimuat dalam surah al-Maidah ayat 30-31 sebagai berikut:
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ, فَبَعَثَ اللّهُ غُرَاباً يَبْحَثُ فِي الأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءةَ أَخِيهِ....... ) المائدة: ٣٠ - ٣١ (
Artinya:   Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudarannya, sebab itu dibunuhnyala, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi, kemudian Allah swt menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya…. (QS. al-Maidah: 30-31).

Peristiwa pembunuhan yang diikuti penguburan yang dilakukan didalamnya terhadap saudaranya (Habil), oleh Tohirin menganggap didalamnya terkandung proses belajar.[12]. Gambaran pembelajaran itu dapat kita simak lewat tingkah laku burung gagak yang menggali tanah untuk mengubur gagak yang lain[13]. Perbuatan burung gagak itu ditiru oleh Qabil yang sedang bingung memikirkan apa yang akan dilakukannya terhadap mayat saudaranya, begitu besar hikmah yang diberikan Allah kepada pembunuh (Qabil) dengan menurunkan seekor burung gagak memberi contoh, sehingga Qabil menemui jalan keluar.
Secara historis, Rasulullah saw. berhasil menyebar luaskan Islam lewat sikap dan tingkah laku beliau yang selalu menunjukkan contoh yang baik bagi para sahabatnya, Rasulullah saw. sebagai suri teladan telah dinyatakan Allah swt. dalam surah al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الأخر وذكر الله كثيرا  ﴿الأحزاب: ٢١
Artinya:   Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah( Qs. Al – Ahzab : 21 )

Rasulullah saw. sebagai suri teladan yang baik selalu mendahulukan dirinya mengerjakan segala perintah yang datang dari Allah swt. sebelum perntah itu disampaikan pada ummatnya, demikian pula larangan-larangan Allah swt. ia senantiasa menjauhinya.
Keberhasilan menerapkan teori keteladanan dalam pendidikan bukan hanya diakui oleh al-Qur’an tetapi orang-orang barat pun turut dalam teori tersebut, teori keteladanan diperkenalkannya melalui belajar sosial dengan istilah social learning theory (teori belajar sosial). Tokoh utama teori belajar sosial adalah Albert Bandura, seorang psikologi pada Universitas Stanford Amerika Serikat, teori disebut juga dengan teori observation learning, belajar observasional/pengamatan.[14].
Manusia dalam hidupnya mempunyai sikap saling ketergantungan dengan manusia lain, demikian pula dalam belajar, ia banyak dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya, sehingga Albert Bandura dalam teori belajar sosial, memandang tingkah laku manusia timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Adanya keterbukaan seseorang terhadap lingkungannya akan membuka peluang memperoleh pelajaran sebanyak-banyaknya, begitu banyak yang dapat diamati dan dipikirkan untuk diambil pelajaran darinya.
Nabi Muhammad Saw diutus Allah adalah rahmatan lil ‘alamiin (untuk menebarkan rahmat buat alam semesta). Dimana dengan kerasulannya, seluruh makhluk dapat merasa kan manfaatnya hatta semut dalam lobang, karena Rasul melarang buang air di lobang atau di bawah pohon yang sedang berbuah, yang puncaknya adalah kesejahteraan ummat manusia. Nabi Muhammad diutus untuk seluruh ummat manusia yang akan melahirkan budaya dan peradaban global. Nabi yang diserahi tugas atau risalah untuk mengajarkan petunjuk Ilahi, sekaligus memberikan contoh aplikasinya dalam segala bidang kehidupan.[15]
Keteladanan merupakan upaya konkret dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya. Sifat peserta didik itu diakui dalam islam. Umat meneladani nabi; nabi meneladani al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu adalah al-Quran. Pribadi rasul itu adalah interpretasi al-Quran secara nyata. Tidak hanya cara beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara kehidupan islami. Contoh-contoh dari rasul itu kadang-kadang amat asing bagi manusia ketika itu. Contohnya, Allah menyuruh Rasul-nya menikahi bekas istri Zaid; Zaid itu anak angkat rasul. Ini ganjil bagi orang arab ketika itu. Dengan itu Allah memberikan teladan secara praktis yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung; bekas istri anak angkat boleh dinikahi .
Banyak contoh yang diberikan oleh nabi yang menjelaskan bahwa orang (dalam hal ini terutama guru) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, nabi tidak hanya memegang komando; dia juga ikut berperang , menggali parit perlindungan. Dia juga menjahit sepatunya, pergi berbelanja ke pasar, dan lain-lain.
C.    Hikmah Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spritual dan sosial. Dari sini, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baik-buruknya anak.[16] Jika pendidik jujur,dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, keberanian dalam sikap yang menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama.
Dan jika pendidik bohong, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khiatan, durhaka, kikir, penakut, dan hina. Tanpa memberikan teladan yang baik ini, pendidikan terhadap anak-anak tidak akan berhasil, dan nasihat tidak akan membekas. Karenanya, bertakwalah kepada Allah, wahai para pendidik dalam mendidik anak-anak kita. Mendidik mereka adalah tanggung jawab yang dibebankan atas
Rasulullah SAW. Merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya, dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah SWT., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam shalat dan do’a, bagaimana sujud dengan penuh perasaan, bagaimana tunduk, bagaimana nangis kepada Allah SWT. di tengah malam, bagaimana makan, bagaimana tertawa, bagaimana berjalan- semuanya itu dilakukan oleh Rasulullah SAW.[17]
Kita berkeyakinan bahwa fungsi Rasululloh (Shollallohu 'alaihi wasallam) diutus tidak hanya sebatas sebagai pembawa dan penyalur amanat Risalah saja. Melainkan Beliau (Shollallohu 'alaihi wasallam) diamanati berbagai macam tugas yang berat namun mulia 'indallah Kalau dicermati mayoritas tugas dan fungsi Beliau tidak untuk pribadi dan keluarga-nya, melainkan untuk mengentaskan ummatnya dari jurang kenistaan kepada keselamatan dan kebahagiaan. Sehingga apapun yang diperoleh dan dilakukan oleh Beliau sebagai keteladanan yang patut bahkan harus diteladani dan diikuti oleh seluruh ummatnya.
Dalam islam uswatun hasanah dimanisfestasikan dalam ikutan yang baik, keteladan baik, adalah faktor terpenting dalam upaya memberikan pengaruh terhadap hati dan jiwa. Inilah faktor tepenting menyebarnya islam ke negeri – negeri jauh, kepelosok bumi dan dalam memberkan petunjuk kepada manusia untuk mencapai iman dan menelusuri jalan islam.[18]
Seluruh perilaku Rasulullah SAW. tersebut kemudian menjadi acuan bagi para sahabat sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah salah satu strategi pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya, hal ini sudah dibuktikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagai hasilnya, apapun yang diajarkan dapat diterima dengan segera dari dalam keluarga dan oleh masyarakat pengikutnya, karena ucapannya menembus ke hati mereka. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan al-Qur’an secara utuh, sebagaimana firman Allah dalam surat  Al-Ahzab ayat 21.
Beberapa prilaku Nabi Muhammad SAW. yang menjadi “Uswah Hasanah” antara lain Tentang Kesederhanaan Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya seperti itu, Nabi Muhammad SAW. tidak pernah menganggap dirinya lebih besar dan lebih hebat dibandingkan dengan orang lain, ia tidak gila penghormatan dari orang lain, ia hidup dan berpakaian seperti orang paling miskin, ia duduk dan makan bersama-sama dengan masyarakat (termasuk budak dan hamba sahaya), tidurnya beralaskan tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga ketika ia bangun dari tidurnya masih nampak goresan-goresan tikar di pipinya.
Kerendahan hati adalah salah satu sifat teragung Nabi Muhammad SAW. Dia mencapai derajat tertinggi setiap harinya, dia terus bertambah rendah hati dan tunduk kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW. tidak pernah tergoda untuk hidup bersenang-senang di dunia ini, ia telah mewakafkan seluruh kehidupannya untuk mengajak orang lain kembali kepada jalan yang benar, keyakinan bahwa dunia bersifat sementara untuk menuju kehidupan yang abadi di akhirat ia wujudkan dalam gaya hidup kesehariannya, sehingga Rasulullah SAW. benar-benar telah memberikan ketauladanan dalam kesederhanaan hidup di dunia ini.
D.    Rasulullah Saw Sebagai Kunci Keteladanan
              Rasulullah SAW selaku penyampai risalah Islam yang mulia merupakan cerminan yang komprehensif untuk mencapai kesempurnaan sikap, prilaku, dan pola pikir. Bahkan sayyidah ‘Aisyah tatkala ditanya oleh beberapa sahabat mengenai pribadi Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Rasulullah itu adalah Al-Qur’an berjalan. Artinya semua kaidah kehidupan yang ditetapkan islam melalui Al-Qur’an semuanya contoh sudah terdapat dan dijumpai dalam diri Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya menjadi seorang nabi, tapi juga kepala negara. Beliau tidak cuma sekadar bapak tapi juga guru dengan teladan yang baik.
Semenjak kecil Rasulullah SAW sudah bersama-sama mereka namun Rasulullah SAW tidak pernah terlibat dalam usaha penyembahan patung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nawawi Rambe dan Zuber Usman, yaitu:
“Muhammad SAW semakin dewasa juga dia tambah giat membantu pamannya, seperti menyediakan air bagi orang yang datang beribadah di Ka’bah. Meskipun begitu, dia belum pernah melakukan ibadah menurut cara mereka, karena mereka di saat itu menyembah berhala, yaitu patung-patung yang banyak digantungkan di Ka’bah”.[19]

Dalam kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, perbuatan Rasulullah SAW benar-benar membawa rahmat kepada seluruh alam. Ketika Rasulullah SAW berusia 35 tahun, pada waktu itu orang Quraisy sedang membangun Ka’bah dan hendak meletakkan kembali Hajarul Aswad pada tempatnya semula. Pada saat itu suku Quraisy berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajarul Aswad tersebut. Masing-masing suku merasa lebih berhak meletakkannya dan hampir saja terjadi perkelahian di antara mereka, karena pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang mulia. Perselisihan suku ini dapat diselesaikan oleh Rasulullah SAW dengan cara yang sangat bijaksana.
“Kemudian diputuskan bahwa siapa yang lebih dahulu masuk dari pintu Shafa dialah yang akan memutuskan perkara ini. Ternyata Rasulullah SAW yang masuk pertama kali, maka beliau memutuskan untuk meletakkannya di atas surbannya dan masing-masing suku memilih seorang wakil yang memegang ujung surban dan mengangkatnya bersama-sama hingga sampai di tempatnya, lalu Rasulullah SAW mengambil Hajarul Aswad dan menaruhnya di tempatnya dan bereslah persoalannya”.[20]

      Seperti itulah tindakan teladan yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW yang dapat membawa rahmat kepada ummat manusia. Dengan perbuatan yang demikian, maka tercipta kembali rasa persatuan dan kesatuan ummat. Andaikata Rasulullah SAW tidak ada pada saat itu kemungkinan perang saudara yang sangat hebat akan terjadi. Pekerjaan-pekerjaan seperti demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sangat pantas dan tepat untuk diamalkan dan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat.
           Jaminan mardhatillah akan didapatkan oleh setiap orang yang bersungguh-sungguh menggali dan meneladani kepribadian Rasulullah. Selain itu jaminan keselamatan dan syafa’at saat hari kiamat akan diberikan Rasulullah. Jadi tidak ada keraguan lagi dan tidak akan memilih cara lain termasuk dalam menerapkan pola pendidikan selain yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
            Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena dari sudut pragmatis seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”. Selain itu Michael Hart dalam bukunya 100 tokoh dunia meletakkan Rasulullah Muhammad di posisi pertama sebagai sosok paling berhasil dan tak tergantikan oleh sosok lainnya berkaitan dengan memimpin dan mendidik umat dalam kurun waktu singkat sehingga terwujud kehidupan yang mulia.
            Wujud pendidik umat yang mampu membangun generasi islami dengan ciri yang melekat padanya berupa pola pikir dan pola jiwa yang islami sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah bisa ditinjau dari sifat seorang pendidik serta strategi pendidikan yang dimiliki pendidik. Jika kedua hal ini dipahami dengan benar dan diimplementasikan dengan istiqomah, niscaya generasi islami akan terwujud. Sifat Rasulullah memang yang paling khas adalah Shiddiq, Fathonah, Tabligh, dan Amanah. Namun secara spesifik untuk seorang pendidik, bisa dijumpai sifat yang dicontohkan Rasulullah SAW berikut ini :
              Pertama Kasih Sayang. Wajib dimiliki oleh setiap pendidik sehingga proses pembelajaran yang diberikan menyentuh hingga ke relung kalbu. Implikasi dari sifat ini adalah pendidik menolak untuk tidak suka meringankan beban orang yang dididik.
Kedua Sabar. Bekal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendidik yang sukses. Keragaman sikap dan kemampuan memahami yang dimiliki oleh anak didik menjadi tantangan bagi pendidik. Terutama bagi anak didik yang lamban dalam memahami materi dibutuhkan kesabaran yang lebih dari pendidik untuk terus mencari cara agar si anak didik bisa setara pemahamannya dengan yang lainnya.
           Ketiga cerdas. Seorang pendidik harus mampu menganalisis setiap masalah yang muncul dan memberikan solusi yang tepat untuk mengembangkan anak didiknya merupakan wujud dari sifat cerdas. Kecerdasan yang dibutuhkan tidak cuma intelektual namun juga emosional dan spiritual.[21]
            Keempat tawadhu’. Pantang bagi seorang pendidik memiliki sifat arogan (sombong) meski itu kepada anak didiknya. Rasulullah mencontohkan sifat tawadhu’ kepada siapa saja baik kepada yang tua maupun yang lebih muda dari beliau. Sehingga tidak ada jarang yang renggang antara pendidik dengan anak didik dan akan memudahkan pembelajaran dan memperkuat pengaruh baik pendidik kepada anak didik karena penghormatan.[22]
           Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
           Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
            Kelima bijaksana. Seorang pendidik umat tidak boleh mudah terpengaruh dengan kesalahan bahkan oleh keburukan yang dihadapinya dengan bijaksana dan lapang dada sehingga akan mempermudah baginya memecahkan sebab-sebab permasalahan tersebut
           Keenam pemberi Maaf. Anak didik yang ditangani oleh pendidik umat tentunya tidak luput dari kesalahan maupun sikap-sikap yang tidak terpuji lainnya. Maka dari itu pendidik umat dituntut untuk mudah memberikan maaf meskipun ada sanksi yang diberikan kepada anak didik yang menjadi pelaku kesalahan  sebagai bagian dari edukasi.
           Ketujuh kepribadian yang Kuat. Sanksi bisa jadi tidak diperlukan dalam mengedukasi anak didik jika seorang pendidik umat memiliki kepribadian yang kuat (kewibawaan, tidak cacat moral, dan tidak diragukan kemampuannya) sehingga memunculkan apresiasi dari anak didik, bukannya apriori. Sehingga secara otomatis bisa mencegah terjadinya banyak kesalahan dan mampu menanamkan keyakinan dalam diri anak
            Kedelapan yakin terhadap Tugas Pendidikan. Rasulullah dalam menjalankan tugas mengedukasi umat selalu optimis dan penuh keyakinan terhadap tugas yang diembannya. Patutlah jika pendidik umat juga memiliki sifat ini yaitu yakin usaha sampai, karena Allah SWT akan mempercepat pemberian terhadap manusia yang memiilki keyakinan tinggi terhadap keberhasilan setiap tugas yang dilakukan. Sesuai dengan hadits Qudsi bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya.
           Sifat-sifat diatas menjadi bekal dan support bagi pendidik umat untuk berhasil dalam mengimplementasikan strategi yang disusunnya. Rasulullah sebagai pendidik memiliki strategi pendidikan yang penting diketahui. Strategi tersebut terdiri dari metode, aksi, dan teknik yang diperlukan dalam mendapatkan hasil yang maksimal untuk pendidikan islami.
           Penjelasan singkat mengenai keteladanan Rasulullah SAW bagi pendidik umat bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan mutu sikap dan pikir anak didik sesuai dengan syari’at Islam. Sebenarnya masih sangat luas sekali-hingga tak terhitung jumlahnya. Keteladanan yang diberikan Rasulullah SAW. Tapi sekali lagi, jika kita mau dan bertekad keras untuk memulai dari yang sedikit dulu namun istiqomah dan ada peningkatan bertahap kelak kemudian hari dari apa-apa yang telah dicontohkan Rasulullah, insya Allah akan menghasilkan kualitas anak didik yang tidak diragukan lagi kehandalannya.[23]
E.    Penelitian Terdahulu Yang Releven
Diantara para peneliti sebelumnya antara lain :
Nama: Abdullah Husaeri Nim: 104011000163 (Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ) Pada tahun 1429 H/ 2008 M dengan judul dengan judul skripsi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 11-13 metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode tafsir tahlili dengan kesimpulan sebagai berikut:
1.     Akhlak yang mulia merupakan cermin kepribadian seseorang, selain itu akhlak yang mulia akan mampu mengantarkan seseorang kepada martabat yang tinggi. Penilian baik dan buruknya seseorang sangat ditentukan melalui akhlaknya. Akhir-akhir ini akhlak yang baik merupakan hal yang mahal dan sulit dicari.” Minimnya pemahaman akan nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Al-Qur’an akan semakin memperparah kondisi kepribadian seseorang, bahkan hidup ini seakan-akan terasa kurang bermakna.
2.     Untuk membentuk pribadi yang mulia, hendaknya penanaman akhlak terhadap anak digalakkan sejak dini, karena pembentukannya akan lebih mudah disbanding setelah anak tersebut menginjak dewasa. surat al-Hujurat ayat 11-13 membahas tentang menciptakan suasana yang harmonis di antara lingkungan masyarakat serta menghindari terjadinya permusuhan. Sehingga akan tercipta pribadi yang santun sesuai dengan tuntunan al-Qur.an.
3.     Nilai pendidikan akhlak yang terdapat surat al-Hujurat ayat 11-13 meliputi: Nilai pendidikan menjunjung kehormatan kaum Muslimin, taubat, positif thinking, ta.aruf dan pendidikan egaliter (persamaan derajat). Adapun aplikasinya dalam pendidikan Islam, saling menghormati dapat dilakukan dengan keteladanan, nasihat, kisah, metode peringatan dan ancaman (tarhib). Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat (ceramah). Pendidikan positif thinking dapat dilakukan dengan metode keteladanan, metode nasihat dan metode pembiasaan. Pendidikan ta.aruf dapat dilakukan dengan nasihat, kisah dan pembiasaan. Pendidikan egaliter dapat dilakukan dengan ceramah, nasihat, keteladanan dan metode kisah.
F.     Kerangka Berfikir
Keteladanan merupakan kerja nyata dari keseriusan memperbaiki moral bangsa. Keteladanan tersebut membawa ke sebuah dimensi kehidupan yang sinergis dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pendek katanya bahwa keteladan merupakan suksesi terbaik untuk mempersiapkan generasi selanjutnya, sebagai penerima tongkat estafet pengelola kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih berkwalitas. Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi manusia yang harus diterpenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil seseorang atau sekelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi atau cita-cita untuk maju dan bahagia menurut konsep pandangan mereka, karena pendidikan itu sendiri adalah usaha membina dan mengembangkan.
Mengingat pentingnya pendidikan dengan keteladanan bagi terciptanya anak didik yang taat dan patuh pada agama, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa arab sebelum Islam datang maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur.an.
Sebagai Rasul terakhir Allah SWT, Nabi Muhammad SAW tercatat dalam sejarah adalah pembawa kemaslahatan dan kebaikan yang tiada bandingan untuk seluruh umat manusia. Bagaimana tidak karena Rasulullah SAW telah membuka zaman baru dalam pembangunan peradaban dunia. Beliaulah adalah tokoh yang paling sukses dalam bidang agama (sebagai Rasul) sekaligus dalam bidang duniawi (sebagai pemimpin negara dan peletak dasar peradaban Islam yang gemilang selama 1000 tahun berikutnya).
Kesuksesan Rasulullah SAW itu sudah banyak dibahas dan diulas oleh para ahli sejarah Islam maupun Barat. Namun ada salah satu sisi Muhammad SAW ternyata jarang dibahas dan kurang mendapat perhatian oleh para ahli sejarah maupun agama yaitu sisinya sebagai seorang pebisnis ulung. Padahal manajemen bisnis yang dijalankan Rasulullah SAW hingga kini maupun di masa mendatang akan selalu relevan diterapkan dalam bisnis modern. Setelah kakeknya yang merawat Muhammad SAW sejak bayi wafat, seorang pamannya yang bernama Abu Thalib lalu memeliharanya.
Abu Thalib yang sangat menyayangi Muhammad SAW sebagaimana anaknya sendiri adalah seorang pedagang. Sang paman kemudian mengajari Rasulullah SAW cara-cara berdagang (berbisnis) dan bahkan mengajaknya pergi bersama untuk berdagang meninggalkan negerinya (Makkah) ke negeri Syam (yang kini dikenal sebagai Suriah) pada saat Rasulullah SAW baru berusia 12 tahun. Tidak heran jika beliau telah pandai berdagang sejak berusia belasan tahun. Kesuksesan Rasulullah SAW dalam berbisnis tidak terlepas dari kejujuran yang mendarah daging dalam sosoknya.
Kejujuran itulah telah diakui oleh penduduk Makkah sehingga beliau digelari Al Shiddiq. Selain itu, Muhammad SAW juga dikenal sangat teguh memegang kepercayaan (amanah) dan tidak pernah sekali-kali mengkhianati kepercayaan itu. Tidak heran jika beliau juga mendapat julukan Al Amin (Terpercaya). Menurut sejarah, telah tercatat bahwa Muhammad SAW melakukan lawatan bisnis ke luar negeri sebanyak 6 kali diantaranya ke Syam (Suriah), Bahrain, Yordania dan Yaman. Dalam semua lawatan bisnis, Muhammad selalu mendapatkan kesuksesan besar dan tidak pernah mendapatkan kerugian.
Selain al-Qur.an, hadits Nabi dapat dijadikan rujukan mengingat salah satu fungsi hadits adalah menjelaskan kandungan ayat yang terdapat di dalamnya.
Penulis melihat, bahwa surat Al-ahzab ayat 21 memiliki kandungan (makna) tentang pendidikan keteladanan. Di antara kandungan yang terdapat di dalamnya adalah ajaran bahwa umat manusia agar senantiasa meneladani Rasulullah SAW dalam hidupnya, mengharap rahmat Allah, meyakini hari kiamat dan percaya kepada qadha dan qadar. Oleh karena itu, ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi umat Muslim dalam rangka pembelajaran, pembentukan serta pembinaan akhlak yang mulia.


[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno,  cet I  ,( Jakarta: Pustaka, 1981), hal. 29,
[2]Hamka, (H. Abd. Malik Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar, Juz: XVII, (Surabaya: Pustaka Islam, 1981). hal. 312.
[3] Imam Malik, Al-Muwatta’, Juz: III, (Darul Fikri: Bairut, t.t.). hal. 250.
[4] Firdaus An, Detik-detik Terakhir Rasulullah SAW, (Jakarta: Yayasan Al-Amin, 1984), cet. VI, hal. 17.
[5] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.116
[6] Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Shaleh; Prinsip-prinsip Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: al-Bayan, 1998), hal. 39 
[7] Muhammad Fadhil al-Jamaly, al-Falsafah at-Tarbawiyyah Fil Qur’an, diterjemahkan Judi al-Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, Cet. I; (Solo: Ramadhani, 1993), hal. 135
[8] H. Rachmat Djatnika, System Ethika Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hal. 11

[9] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Ed. I. Cet. III, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 133.
[10] Haya Binti Mubarok al-Barik, Mausu’ah al-Mar’atul Muslimah, terj. Amir Hamzah Fachrudin, “Ensiklopedi Wanita Muslimah”, ( Jakarta : Darul Falah, Cet. IV, 1998 ), hal. 247.
[11] Abdurrahman ‘Isawi, Anak dalam Keluarga, ( Jakarta : Studia Press, Edisi II, 1994 ),     hal. 35.
[12] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Cet.I; ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 56
[13] Abdul Mujid, Ilmu pendidikan Islam, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2006),hal. 175
[14] Muhibbin Syah, Psikologi belajar, Cet. V; (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 106
[15] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, pen, M.Arifin, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal. 18
[16] Amin, Munirul dan Eko Harianto, Psikologi Kesempurnaan, Membentuk Manusia Sadar Diri dan Sempurna, (Jogjakarta: Matahati, 2005), hal 20.
[17] Ibid, hal. 19
[18] Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan,...............hal. 28
[19] Nawawi Rambe dan H. Zuber, Muhammad Rasul  Penutup, (Jakarta: Wijaya, 1989), hal. 37.
[20] Zaid Husein Al-Hamid, Kisah 25 Nabi dan Rasul SAW, (Jakarta: Pustaka Amani, 1983) , hal. 133.
[21] Abdurrahman Jabal, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW, Cet-1, Irsyad ( Bandung: Baitus Salam, , 2005 ), hal. 30.
[22] Abdurrahman, Hafidz., Membangun Kepribadian Pendidik Umat, ( Jakarta: WADI Press, 2008 ), hal. 66
[23] Santrock, John W. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Jilid 1, Edisi 5, ( Jakarta:  Erlangga, 2002 ), hal. 79.