BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pendidikan Islam mempunyai peranan
penting dalam mengembangkan mental anak, hal ini dikarenakan pendidikan Islam
memiliki nilai-nilai Islam yang bersumber langsung dari kitab suci Alquran dan
Al-hadits. Pada dasarnya pendidikan Islam itu sendiri memiliki peran yang
kongkrit dalam pembentukan kepribadian anak, terlebih lagi dengan pendidikan
akhlak. “Pendidikan akhlak mampu menjadi tolak ukur bagi perkembangan mental
seorang anak. Melihat fenomena yang ada akibat berkembangnya Ilmu Pengetahuan
dan teknologi bagi perkembangan mental anak, pendidikan Islam memiliki peran
yangkongkrit dalam pembentukan kepribadian anak”[1].
Pada dasarnya pendidikan Islam harus
diasaskan atas dasar pokok yaitubahwa manusia itu adalah makhluk Allah dan
diamanati tugas untuk memikulamanah. Dalam permasalahan pendidikan, kita tidak
boleh membedakan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya,
dengan anak yang mengalami kecacatan baik fisik maupun mental. “Pendidikan dan
pengajaran adalah hak bagi seluruh masyarakat baik yang normal maupun yang
cacat Lebih lanjut dari hal-hal yang fundamental seperti yang tercantum dalam
batang tubuh UUD 1945 Bab XIII tentang pendidikan pasal 31 Ayat 1 menyatakan
bahwa tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”[2].
Oleh sebab itu, Kesempatan untuk menjadi manusia mulia sebagai orang yang
bertaqwa diberikan kepada semua manusia, baik kaya, miskin, cacat atau tidak,
semuanya sama di hadapan Allah Swt.
Sebagai warga negara, seseorang yang
mengalami kelainan cacat fisik maupun mental (abnormal), tidak
didiskriminasikan untuk memperoleh pendidikan. Kelainan ini menjadi penting
untuk diperhatikan dalam pemberian layanan pendidikan dan pengajarannya, oleh
karena itu sangat dibutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus yaitu sekolah
luar biasa (SLB) yang disesuaikan dengan kondisi objektivitasnya. Disamping
hak-hak yang di miliki oleh seseorang yang memiliki kecenderungan abnormal
dalam memperoleh layanan pendidikan dan pengajaran, juga sebagai anggota
masyarakat yang hidupdan berinteraksi dengan lingkungan, keluarga dan sosial
kemasyarakatan. Untuk itu sangat diperlukan adanya adaptasi sosial sebagai
konsekuensi logis darimasing-masing individu sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu orang-orang yang
menderita cacat atau kelainan juga mendapatkan perlindungan hak seperti yang
tertuang pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa “Warga
Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau social
berhak memperoleh pendidikan khusus”[3].
Pendidikan khusus dalam hal ini biasa disebut dengan Pendidikan Luar Biasa.
Oleh karena itu, meskipun seorang anak itu memiliki kelainan fisik, maka anak
itu berhak untuk mendapatkan pengajaran. Dengan adanya Sekolah Luar Biasa
sangatlah membantu bagi orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, karena
SLB merupakan salah satu bentuk pelayanan pendidikan khusus bagi anak abnormal,
seperti cacat netra, cacat rungu, cacat grahita dan cacat daksa. Dalam kurikulum
SLB komponen-komponen Mata pelajaran yang diajarkan adalah sama seperti yang
terdapat dalam kurikulum pendidikan pada umumnya termasuk didalamnya adalah
pendidikan agama.
Dengan demikian kehadiran Sekolah Luar
Biasa (SLB) secara esensial merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
mengelola dan mendidik siswa jasmani dan rohani, yang saat ini berkembang dan
meningkat sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat, layaknya
disambut agar program pendidikan nasional dapat tercapai. Namun dalam kenyataannya
prosentase anak cacat yang mendapatkan layanan pendidikan jumlahnya amat
sedikit. Hal ini dikarenakan masih adanya hambatan pada pola pikir masyarakat
kita yang mengabaikan potensi anak cacat. “Pada umumnya masyarakat memandang
kecacatan sebagai penghalang untuk berbuat sesuatu, telah banyak bukti bahwa
orang cacat mampu melakukan sesuatu dengan berhasil. Karena banyak orang yang
tidak memiliki tangan namun mereka dapat menghasilkan lukisan dengan baik”[4].
Ada orang yang tidak bisa berjalan tetapi dapat menjadi ahli fisika seperti
Stephen Hopkins dan lain sebagainya.
Kondisi mental siswa SLB Juli Keude Dua
selain mengalami keterbelakangan mental, mereka juga mengalamiketerbelakangan
dalam beradaptasi dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan
hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Disamping itu
tidak sedikit yang mengalamigangguan kejiwaan atau disebut dengan gangguan
mental, tapi masih belum sampai padagangguan sakit jiwa. Gangguan mental
tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku yang berkebutuhankhusus, hal ini
ditandai dengan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan dalam beradaptasi
Dari latar belakang tersebut di atas,
maka penulis tertarik untuk meneliti dengan judul “Kontribusi
Masyarakat dalam Pembinaan Anak Cacat Mental di SLB Juli Keude Dua.”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagi berikut:
1. Bagaimana kontribusi masyarakat dalam
pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua?
2. Bagaimana upaya-upaya guru dalam meningkatkan
prestasi anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua?
3. Apa sajakah kendalah-kendala yang dihadapi
oleh guru dalam pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua?
4. Bagaimana evaluasi
terhadap pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua?
C. Tujuan
Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk mengetahui kontribusi masyarakat dalam
pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua.
2. Untuk mengetahui upaya-upaya guru dalam
meningkatkan prestasi anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua.
3. Untuk mengetahui kendalah-kendala yang
dihadapi oleh guru dalam pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua.
4. Untuk mengetahui evaluasi terhadap pembinaan anak cacat mental di SLB Juli
Keude Dua.
D. Penjelasan
Istilah
Adapun istilah
yang terdapat dalam judul skripsi ini
yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1.
Kontribusi
Dessy Anwar dalam Kamus Lengkap Bahasa Indoonesia menyebutkan bahwa, “kontribusi
adalah sumbangan”.[5]
Hoetomo Kamus Lengkap Bahasa Indoonesia menjelaskan bahwa “kontribusi adalah
sumbangan yang sifatnya positif”.[6]
Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu “contribute, contribution,
maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti
dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi atau tindakan”[7].
Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu memberikan pinjaman terhadap
pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan
yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu yang kemudian memberikan dampak
baik positif maupun negatif terhadap pihak lain. Sebagai contoh, seseorang
melakukan kerja bakti di daerah rumahnya demi menciptakan suasana asri di
daerah tempat ia tinggal sehingga memberikan dampak positif bagi penduduk
maupun pendatang.
Adapun menurut penulis, kontribusi adalah sumbangan pemikiran masyarakat
dalam pembinaan pendidikan bagi anak cacat mental.
2.
Masyarakat
Masyarakat juga sering dikenal dengan istilah society
yang berarti “sekumpulan orang yang membentuk sistem, yang terjadi
komunikasi didalam kelompok tersebut”[8].
Menurut Syamsuddin, kata Masyarakat sendiri diambil dari bahasa arab, “Musyarak.
Masyarakat juga bisa diartikan sekelompok orang yang saling berhubungan dan
kemudian membentuk kelompok yang lebih besar. Biasanya masyarakat sering
diartikan sekelompok orang yang hidupa dalam satu wilayah dan hidup teratur
oleh adat didalamnya”[9].
Masyarakat merupakan jaringan kelompok-kelompok manusia yang memangku kebudayaan. Menurut
J.L. Gillin dan S.P Gillin “Masyarakat adalah kesatuan hidup dari
manusia-manusia yang terikat oleh satu sistem adat istiadat tertentu”.[10]
Adapun menurut penulis, masyarakat adalah
orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
3.
Pembinaan
Pembinaan berasal dari “kata “bina”
yang mendapat awalan ke- dan akhiran-an, yang berarti bangun/bangunan”[11].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pembinaan berarti membina, memperbaharui,
atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang
lebih baik”[12].
Pembinaan adalah “suatu usaha yang dilakukan dengan
sadar, berencana, teratur dan terarah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan subjek didik dengan tindakan pengarahan, bimbingan”.[13]
Adapun menurut penulis Pembinaan adalah
Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan-urutan
pengertian, diawali dengna mendirikan membutuhkan memellihara pertumbuhan tersebut
yang disertai usaha-usaha perbaikan, menyempurnakan dan mengembangkannya.
4.
Anak
Daryanto,SS, dalam
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan, anak adalah “keturunan yang
kedua manusia, kelompok terkecil dari manusia, seseorang yang dilahirkan di
suatu daerah, bagian dari suatu kelompok keluarga”.[14] Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata anak diartikan
dengan: “Keturunan kedua, manusia yang masih kecil.”[15] “Batasan umur anak kanak-kanak (0-6
tahun), anak umur sekolah (6-12 tahun), umur remaja (13-16 tahun)”.[16]
Secara umum dikatakan anak adalah “seorang yang dilahirkan dari perkawinan
anatar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak menyangkut bahwa
seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan
pernikahan tetap dikatakan anak”[17].
Napitupulu mengartikan anak sebagai berikut “anak belum dewasa
perkembangannya menunjuk taraf kedewasaan nyakni, taraf berdiri sendiri,
berfikir dan berubah pada sesama manusia dan kepada tuhan yang maha kuasa.”[18]
Jadi, anak yang penulis
maksudkan adalah anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks
yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak
juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang memengaruhi
pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.
5.
Cacat Mental
Cacat mental adalah “kelainan mental
dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan ataupun akibat dari penyakit”[19]
Dessy Anwar dalam kamus lengkap bahasa Indonesia
menjelaskan mental adalah batin, kejiwaan.”[20] Menurut Zakiah Darajat Mental
anak adalah kemampuan anak untuk
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta
lingkungan di mana ia hidup.[21] Kata mental diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche
dalam bahasa Latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental
hygiene dimaknakan sebagai kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis
karena menunjukkan adanya usaha peningkatan[22].
Jadi, cacat
mental yang penulis maksudkan adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada
fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan
bicara.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan penelitian
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagi berikut:
Secara
teoritis pembahasan ini bermanfaat bagi para pelaku pendidikan, secara umum
dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai kontribusi
masyarakat dalam pembinaan anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua. Selain itu hasil pembahasan ini dapat di jadikan bahan
kajian bidang studi pendidikan.
Secara
praktis, hasil pembahasan ini dapat memberikan arti dan nilai tambah dalam
memperbaiki dan mengaplikasikan kontribusi masyarakat dalam pembinaan
anak cacat mental di SLB Juli Keude Dua ini dalam pelaksanaannya. Dengan
demikian, pembahasan ini di harapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.
F. Kajian
Terdahulu
Diantara
para peneliti sebelumnya, antara lain :
Nama: Nurjani Nim: A.
273343/2343 (Sekolah Tinggi Agama Islam) Almuslim
Matangglumpangdua Bireuen Pada tahun 2010
dengan judul dengan judul skripsi Perkembangan Pendidikan
Anak Berkebutuhan Di Indonesia metode yang digunakan dalam penelitiannya
adalah Metode Deskriptif Kualitatif dengan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan
luar biasa pada akhir abad ke 18 atau awal abad ke 19. Di indonesia sejarah
perkembangan luar biasa dimulai ketika belanda masuk ke indonesia, (1596-1942)
meraka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi barat. untuk
pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat di buka lembaga-lembaga khusus.lembaga
pertama untuk pendidikan anak tuna netra,tuna grahita tahun 1927 dan untuk tuna
rungu tahn 1930. Ketiganya terletak di kota Bandung.
2.
Seluruh warga negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau
tidak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oeh
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang mengumumkan. Bahwa tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran.
3.
Berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing – masing
katagori kecacatan SLB itu dikelompokan menjadi: SLB bagian A untuk anak tuna
netra, SLB bagian B untuk anak tuna rungu, SLB bagian C untuk anak tuna Grahta,
SLB bagian D untuk anak tuna daksa, SLB bagian E untuk anak tuna laras, SLB
bagian F untuk anak tuna ganda.
[8]
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. X. (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), hal. 578.
[10] T.
Syamsuddin, Diklat Antropolog.
Budaya. (Banda Aceh, Unsyiah, 1984), hal. 61.
[11] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 87.
[18]Napitupulu, Dimensi-dimensi Pendidikan,
(Jakarta: Tep, 1999), hal. 7.
[22]
Notosoedirjo, Moeljono & Latipun, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,
Cet.2, (Malang: UMM Press, 2001), hal. 21.
0 Comments
Post a Comment