Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Menyusui Sebagai Kodrat Manusiawi


A.    Menyusui Sebagai Kodrat Manusiawi   


Syari’at Islam mendorong para ibu untuk menyusui anak-anaknya dengan air susu ibu karena air susu ibu (ASI) sangat berguna dan berkhasiat bagi sibayi dalam batas umur paling lama dua tahun. Sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233 Hamka menjelaskan dalam tafsir Al-Azhar bahwa ayat tersebut memberi petunjuk tentang kewajiban dan tanggung jawab seorang ibu. Bukan Cuma seorang ibu yang harus menyusukan anak, bahkan binatang-binatang yang memberikan air susunya kepada anaknya sendiri, telah menyerahkan kepada induk yang lain untuk menyusukan anaknya, konon lagi manusia yang dilebihkan dalam segala bentuk dan pikiran. Karenanya kalau penyusuan anak disia-siakan berdosalah manusia tersebut dihadapan Allah SWT.[1]
Hasil penelitian para ahli kedokteran modern mengatakan bahwa air susu ibu (ASI) lebih baik dari segala air susu yang ada didunia, air susu ibu (ASI) merupakan bentuk keagungan manusia seperti yang terungkap dalam al-Qur’an yang mencerminkan kebenaran sejati.[2] Hal ini dapat dibaca dibeberapa konteks hadits Nabi yang diriwayatkan oleh para muhaddisin (ahli hadits) dalam berbagai dimensi dan bentuk yang pada dasarnya menganjurkan ibu untuk menyusukan anaknya.
Diantara hadits yang menyatakan kewajiban ibu untuk menyusui anaknya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. Beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda:
عن ابن مسعود قال: لا رضاع إلا ما شدالعظم أنبت اللحم

Artinya:   Tidak dikatakan menyusui kecuali kalau dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging (H. R. Abu Dawud).[3]

Berdasarkan dalil tersebut, Abdurrahman I. Dai menjelaskan sebagai berikut: Pertama, Masa menyusui yang normal adalah dua tahun, Kedua, Tanggung jawab memberikan nafkah bagi isteri yang terdahulu serta mengatur penyusuan anaknya dibebankan kepada suami, dialah yang menanggung biaya makan dan pakaian mereka secara wajar Ketiga, Wanita lain yang menyusukan anaknya tidak boleh diperlakukan dengan aniaya oleh suami, Keempat, Menyapih anak harus dengan kesepakatan bersama antara ibu dan ayah, Kelima, Jika sisuami meninggal maka harta peninggalannya dipergunakan untuk menafkahi isteri dan anak-anak yang ditinggalkan, Keenam, Bila dengan sebab apapun ibu tidak dapat menyusui sendiri anaknya, dan isteri bersama suaminya memutuskan untuk menyerahkan kepada ibu asuh, hal ini tidaklah membahayakan tetapi siibu tetap harus diberi nafkah, Ketujuh, Setiap muslim harus memahami bahwa apapun yang dilakukan, Allah SWT senantiasa melihatnya sepanjang waktu, oleh karena itu tidak boleh memperlakukan isteri yang terdahulu serta anaknya secara aniaya.[4]
Selanjutnya Muslim Ibrahim mengatakan sebagai berikut; Pertama, Penyusuan boleh dihentikan sebelum dua tahun dengan syarat keputusan didasarkan atas kesepakatan bersama suami isteri serta mempertimbangkan untung ruginya sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 233, Kedua, Ayah bagi bayi wajib membantu agar air susu ibu (ASI) yang tersedia cukup, dengan menyediakan makanan yang sehat dan sempurna untuk isterinya serta menciptakan suasana aman damai sejahtera dalam rumah tangga, Ketiga, Bila ayah bayi sedang bepergian jauh atau telah meninggal, maka salah seorang keluarganya harus mengambil alih kewajibannya, Keempat, Seorang ibu yang dapat menyusui sendri anaknya, dilarang mengalihkan pekerjaan tersebut kepada orang lain, sehingga seandainya terjadi perceraian seorang ibu tetap dituntut untuk melakukan penyusuan sendiri dan kepada mantan suami wajib membayar upah dan menanggung semua pembiayaan yang berkaitan dengan penyusuan.[5]
Karena lazimnya wanita dan kodratnya untuk menyusukan dengan air susunya sendiri yang sekarang diistilahkan dengan air susu ibu (ASI), sedangkan ia manusia biasa yang membutuhkan makanan yang sehat dan bergizi dengan komposisi mencukupi empat sehat lima sempurna.  Para ahli fiqih telah sepakat kalau nafkah anak itu menjadi kewajiban ayah. Hal ini berdasarkan kepada surat al-Baqarah ayat 233 tersebut diatas. Karena ayat tersebut mewajibkan  pula nafkah kepada ibu yang sedang menyusui anak itu. Dan kewajiban ini berlaku selama anak itu masih kecil.[6]
Al-Jashshash dalam tafsirnya “Ahkamul Qur’an” mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung dua unsur pengertian yaitu: Pertama, Seorang ibu berhak menyusukan anaknya sampai umur dua tahun dan seorang ayah tidak boleh menyerahkan anaknya kepada perempuan lain selama ibunya masih sanggup menyusui, Kedua, Ayah berkewajiban memberikan nafkah penyusuan itu, hanya berlaku selama dua tahun.[7]
Penjelasan Al-Jashshas tersebut menunjukkan bahwa seorang ibu wajib memberikan susu/menyusui anaknya sendiri dan bagi seorang suami tidak bisa kongsi dalam memberi nafkah penyusuan ini, sebab Allah SWT mewajibkan kepada suami membayar nafkah kepada isteri dan keduanya ini sama-sama dapat waris mewarisi. Kemudian suami ditetapkan sebagai yang lebih utama dalam persoalan ini sekalipun kedua-duanya sama-sama mewarisi dalam warisan. Sehingga dengan demikian dapat dijadikan sebagai pokok dikhususkannya kewajiban nafkah itu kepada suami dan bukan kepada yang lainnya. Hal ini termasuk pula kepada hal nafkah anak-anak yang dianggap masih kecil, atau anak-anak yang sudah dewasa yang menderita sakit. Kewajiban ini tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain melainkan suaminya sendiri.
Abdurrahman Dai dalam bukunya “The Islamic Law” menjelaskan bahwa: bagi sianak sendiri, maka perawatannya, kesejahteraannya, kediaman bagi ibunya tetap merupakan tanggung jawab ayahnya. Seandainya si ibu tidak dapat menyusunya atau timbul keadaan sedemikian rupa yang dapat menghalangi ibu dari memberi air susu kepada anaknya, maka merupakan tanggung jawab ayah untuk menyerahkan anak kepada orang lain agar dirawat, disusui dengan biaya sendiri. Hal in menurut pendapat Abdurrahman Dai jangan sampai ayah dapat mengurangi nafkah yang wajar dan berhak diperoleh oleh ibu sesuai dengan keadaannya.[8]
Apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam kitab suci al-Qur’an adalah peraturan yang tidak terbantah. Dengan ayat-ayat tersebut, kita memahami bahwa mengandung dan menyusui adalah kewajiban kodrati kaum perempuan, kewajiban yang langsung diberikan oleh Allah SWT secara tersurat, jelas dan tanpa bias.
Secara logika, kewajiban kodrati dapat dipahami sebagai kewajiban yang secara alami tidak dapat tergantikan oleh orang lain atau oleh laki-laki. Sebagai perbandingan banyak orang yang menyebut kewajiban wanita adlaah memasak, membersihkan rumah dan sejenisnya. Selain tidak ada aturan yang mewajibkan itu secara jelas, kegiatan memasak dan membereskan rumah sekarang sudah bisa dikerjakan oleh siapa saja bahkan laki-laki. Bahkan tersedianya makan dan rumah bagi isteri justru menjadi kewajiban suami. Mengandung, hamil dan menyusui adalah tugas yang istimewa. Tidak setiap perempuan diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk itu, tugas tersebut dikhususkan hanya bagi kaum ibu bukan wanita secara umum.
Akhirnya yang amat penting dipahami dari uraian diatas adalah bahwa menyusukan anak merupakan kodrat bagi kaum ibu dan mereka tidak boleh melawan kodrat tersebut. Menyusui adalah hak anak dan siapapun tidak boleh merampak hal tersebut termasuk ibu kandungnya sendiri. Dimana dari penjelasan diatas, bahwa begitu pentingnya menyusu anaknya sendiri, sehingga bagi seorang suami pun dituntut untuk wajib memberikan nafkah bagi ibu dan anaknya ketika masa penyusuan itu berlangsung.


[1]Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, Juz II, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 2002), hal. 289.

[2]Ibid., hal. 290.
[3]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), hal. 800.
[4]Abdurrahman I. Da’I, The Islamic Law, Jilid I, alih bahasa Usman Effendi AS dan Abdul Kadir, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), hal. 302-303.

[5]Rusmiati Ibrahim, Hukum Islam Tentang Penyusuan Anak Ditinjau dari Segi Pendidikan, Skripsi, (Sigli: Perguruan Tinggi Islam Al-Hilal, 2001), hal. 27.
[6]Ibid., hal. 295.

[7]Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, (Beirut: Darr Ilmu, t.t.), hal. 313.
[8]Abdurrahman I. Da’I, The Islamic Law, Jilid I, alih bahasa Usman Effendi AS dan Abdul Kadir, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), hal. 296.