Pandangan Eksistensialisme Tentang Pendidikan
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Filsafat dalam kehidupan manusia tidak terpisahkan,
bukan saja karena sejarahnya yang panjang ke belakang zaman dalam
catatan-catatan yang ada. Melina jug Karena ajaran filsafat Malahan menjangkau
masa depan umat manusia dalam bentuk-bentuk ideologi, manusia, bangsa-bangsa
pengabdi setia nilai-nilai filsafat tertentu, sebagai ideologi nasional
masing-masing.
Filsafat dari sudut pendidikan secara sederhana
dapat dimengerti dari namanya sendiri, yaitu filsafat yang dijadikan asas dan
pandangan dasar bagi pelaksanaan sendiri. Akan tetapi persoalan sesungguhnya
tidaklah sesederhana itu. Pengertian pendidikan baik sebagai bidang ilmu
pengetahuan maupun sebagai lembaga pembinaan manusia, sedemikian luas ruang lingkup
dan problematikanya. Demikian pula pengertian pendidikan dan pengertian
filsafat, sebagai suatu ilmu yang paling komprehensif.
Untuk sekedar memperjelas pengertian sebagai suatu
langkah dan pendekatan memahami pendidikan lebih lanjut, mengerti sesuatu dari
segi definisi agaknya dapat diterima. Tetapi untuk mengerti sesuatu sebagaimana
mestinya, melalui definisi saja bukanlah tindakan bijaksana. Sebab bagimanapun
pengertian melalui definisi tentang suatu konsepsi yang abstrak akan selalu
tidak representatif. Bahkan, pengertian kita tentang sesuatu yang kongkrit,
yang dapat dihayati dengan panca indera, sedemikian sukarnya untuk
merumuskannya dalam suatu definisi.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan
bagaimana aku hidup. Dengan demikian, eksistensialisme adalah filsafat
subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga eksistensialis
terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976) dan
Jean-Paul Sartre (1905-1980).[1]
Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena
menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya
Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan ‘pengada
otentik’, atau kecerdasan identitas.[2]
Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep
Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan. Diri bagi Sartre adalah pengakuan
atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita inginkan, tak ada
satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan gambaran
tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.
Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang
menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang berada atau menyatu dalam
diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah kebajikan metafisik.
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan
“sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi
dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari
dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang
harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran.
Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.
Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk
memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya, di bandingkan cara
tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi perhatian
terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan
tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara
umum, kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan
manusia, pilihan dan kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut
yang berlebihan dan kematian.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu
makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkrit.[3]
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu
melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada
unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang
terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif,
dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.
B.
Sejarah Munculnya Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli
filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan
filsafat dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang
dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).[4]
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat
itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya).
Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara
khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah
benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa
menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya
sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme
berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga
aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks
bearti keluar, sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri
sendiri. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat
yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain
Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti
ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang.
Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas
esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa
itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap
orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan
seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan
sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas
guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi
dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk
dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis
menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya
sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti
kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara
lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan
kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah
satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang
hampir punah akibat perang dunia kedua.[5]
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda
dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan
manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai
tema sentral.”[6]
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional.[7]
Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan
pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh
hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai
dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta
keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum
Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas
dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[8]
adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
C.
Pandangan Eksistensialisme Tentang Pendidikan
Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van
Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.” Oleh sebab
itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in
education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan
Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan
ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan aliran
Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
Pandangan eksistensialisme adalah:
1. Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi
manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan
menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
2. Epistimologi: (hakekat pengetahuan),
data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
3. Logika: (hakekat penalaran), mencari
pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis &
introfeksi diri \
4. Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan
prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
5. Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral
bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
6. Estetika (hakekat keindahan), keindahan
ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
7. Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui
pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup.[9]
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis bahas
diatas, maka pada bab ini penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran – saran
sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Eksistensialisme berarti filsafat
mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian, eksistensialisme adalah
filsafat subyektif mengenai diri.
2. Munculnya eksistensialisme berawal dari
ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855)
filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial
(manusia melupakan individualitasnya).
B.
Saran – Saran
1. Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat
memperadalam ilmu pengetahuan, terutama tentang ilmu filsafat pendidikan, demi
untuk kemajuan pendidikan di masa yang akan dating
2. Disarankan kepada Pihak Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah Almuslim agar dapat menyediakan staf pengajar yang ahli dalam
masalah filsafat pendidikan demi untuk kemajuan mahasiswa di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Fernando R. Molina. The Sources of Eksistentialism As Philophys. New Jersey,
Prentice-Hall, 1969.
Fuad Hassan. Kita dan kami. Bulan Bintang, Jakarta, 1974 hal 7-8
Paul Roubickzek. Existensialism For and Agiant. Cambridge University Press. 1966
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta 1995
Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2008
Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Usaha
Nasional, Surabaya 1983.