A. Paradigma Dalam
Pendidikan Islam
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan,
berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung
mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu
perubahan paradigma [paradigma shift] dari pendidikan untuk menghadapi
proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita
era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia,
oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk
terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Arah perubahan paradigma pendidikan dari
paradigma lama ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan
tersebut, yaitu, Pertama, paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih
cenderung pada : sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down,
orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didesain
untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta
teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan
pendidikan, dan lemahnya peran institusi pendidikan dan institusi non-sekolah. Kedua,
paradigma baru, orientasi pendidikan pada: disentralistik, kebijakan
pendidikan bersifat bottom up, orientasi pengembangan pendidikan lebih
bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran
untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, menjunjung tinggi
nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran
hukum.[1]
Meningkatnya peran serta masyarakat secara
kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan, pemberdayaan
institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha,
lemabag-lembaga kerja, dan pelatihan, dalam upaya pengelolaan dan pengembangan
pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat madani
Indonesia.[2]
Berdasarkan pandangan ini, pendidikan Islam sudah
harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu
[abad pertengahan] ke paradigma yang berorientasi ke masa depan, yaitu
mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke
paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Mengalihkan paradigma dari yang
berwatak feodal ke paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis. Mengalihkan
paradigma dari pendidikan sentralisasi ke paradigma pendidikan desentralisasi,
sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman, dengan titik
berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Dalam proses pendidikan, perlu
dilakukan “kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain,
pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka
pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan
pendidikan Islam. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai
keunggulan, penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus
dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu
secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antar jenjang – bottom-up
dan top-down planning), pendidikan harus berorientasi pada peserta didik
dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif
global”[3].
[1]
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta: Adicita, 2001), hal.5.
[2]
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan, From: http://www.
Bpk penabur.or.id/ kps-jkt/berita/200006/ artikel2.htm, Jakarta, 27 Mei 2002.
0 Comments
Post a Comment