Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pembagian Hadist Maudhu’


BAB I
P E N D A H U L U A N


A. Latar Belakang Masalah
          Perpecahan dibidang politik dikalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya ‘ Utsman bin ‘ Affan, Khalifah ke-3 dari khulafa'ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan, telah mempunyai pengaruh yang cukup besar kearah timbulnya usaha-usaha sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik. Golongan Syi'ah sebagai pendukung setia kepemimpinan ‘ Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkirkan dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya.[1]
            Golongan ini termasuk golongan yang paling utama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha yang demikian. Golongan Rafidhah ( salah satu sekte Syiah ) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu. Diantara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, pertama-tama yalah yang dibuat oleh orang-orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan ummatnya.
            Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong orang Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif pembuatan hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut :
  1. Karena politik dan kepemimpinan;
  2. Karena fanatisme golongan dan bahasa;
  3. Karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam;
  4. Karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama;
  5. Karena keanehan-keanehan sejarah dan lain-lain;
  6. Karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam;
  7. Dan lain-lain.
            Keadaan demikian telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang baik dan sejumlah nama-nama orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits yang baik.










BAB II
P E M B A H A S A N

A. Pengertian Hadist Maudhu’
          Menurut secara bahasa berarti الجديد, yaitu sesuatu yang baru, selain itu hadits pun berarti الخبر , berita. Yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan  dari seseorang kepada orang yang lain. Sedangkan موضع merupakan derivasi dari kata  وضع – يضع – وضعا yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat.[2]
            Adapun pengertian hadits maudhu’ (hadits palsu) secara istilah ialah:
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و السلام إختلافا و كذبا ممّا لم يقله أويقره
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.
Dr. Mahmud Thahan didalam kitabnya mengatakan,
اذا كان سبب الطعن فى الروى هو الكذ ب على رسول الله فحد يثه يسمى الموضع
Apabila sebab keadaan cacatnya rowi dia berdusta terhadap Rasulullah, maka haditsnya dinamakan maudhu’. ( Taysiru Musthalahu Alhadits:89)
            Dan pengertiannya secara istilah beliau mengatakan
هو الكذب المختلق المنصوع المنسوب الى رسول الله صلى الله عليه والسلام
Hadits yang dibuat oleh seorang pendusta yang dibangsakan kepada Rasulullah  
            Hadist Maudhu’ yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
B. Pembagian Hadist Maudhu’
1. Hadits Matruk
            Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
2. Hadits Mungkar
            Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
3. Hadits Mu'allal
            Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).

4. Hadits Mudhtharib
            Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
5. Hadits Maqlub
            Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
6. Hadits Munqalib
            Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
7. Hadits Mudraj
            Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
8. Hadits Syadz
            Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.[3]
C. Syarat Hadist Maudhu’
          Adapun syarat – syarat hadist palsu antara lain:
            Pertama atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
            Kedua dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
            Ketiga terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
            Keempat terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).
D. Hukum Hadist Maudhu’
          Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
            Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
            Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh.[4]




















B A B   III
P E N U T U P
A.    Kesimpulan
1.     Hadist Maudhu’ yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi  hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas          disebut hadits.
2.     Pembagian hadist maudhu’ : 1. Hadits Matruk, 2. Hadits Mungkar, 3.                             Hadits Mu'allal, 4. Hadits Mudhtharib, 5. Hadits Maqlub, 6. Hadits Munqalib, 7. Hadits Mudraj, 8. Hadits Syadz.
3.     Hukum hadist maudhu’ secara muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
B. Saran - Saran
1.     Disarankan kepada umat islam untuk dapat mengamalkan islam sesuai dengan petunjuk Al – qur’an dan as – Sunnah.
2.     Disarankan kepada para mahasiswa/I untuk dapat meningkatkan pembelajaran tentang kajian Al – Qur’an dan As – Sunnah.
3.     Disarankan kepada umat islam untuk berpegang tuguh kepada Al – Qur’an dan as – Sunnah.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muhammad. H., "Ulumul Hadis", Bandung: Pustaka Setia. 1998

Al-Ma’udi,Hafidz Hasan. Ilmu Musthalahah Hadits.Surabaya:Al-Hidayah,1999.

Anwar,Muhammad..Ilmu Mushtalah Hadits.Surabaya:Al-Iklas,1981

Al-khatib,Muhammad ‘Ajaj..UshululAl-Hadits.Jakarta:Gaya Media Pratama,1997

Fadlil Sa’id An-Nadwi, Ilmu Mustholah Hadits, Al-Hidayah : Surabaya.

Muhammad Ahmad- Mudzakkir, Ulumul Hadits, Pustaka Setia :       Bandung,2004.

Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushul al-Hadits,Gaya Media Pratama : Jakarta, 2001.

Mahmud at-Tahhan, Mabahits fi Ulumil Hadits, Cairo: Maktabah Wahbah,   1992.

Rahman,Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT Al-ma’arif, 1974

Shiddiqie. M. Hasbi., ”Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits", Semarang: Pustaka
            Rizki Putra. 1999

Ahmad Muhammad. H., "Ulumul Hadis", Bandung: Pustaka Setia. 1998.

Soetari Endang. H. 2005, "Ilmu Hadis", Yogyakarta: Qalam.












               [1] H. Fadlil Sa’id An-Nadwi, Ilmu Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Hidayah, 2004 :), hal. 29
               [2] Muhammad Ajaj Al-Khotib, Ushul al-Hadits,( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),hal. 19.

               [3] H. Muhammad Ahmad-Drs. H. Mudzakkir, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,2004 ), hal. 27.

               [4] Mahmud at-Tahhan, Mabahits fi Ulumil Hadits, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1992), hal. 20.