BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan,
persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi
Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran.
Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt
al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut
merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah
hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu
sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot
suatu hadits sebagai sumber ajaran.[1]
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa
pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang
panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap
materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan
kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan,
maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan
hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang
dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek
B A B II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian Hadits Shahih
Ibnu Sholahmendefinisikan bahwa
hadist Shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil dan dhabit dari orang yang memiliki kualitas serupa hingga akhir
sanad serta tidak mengandung kejanggalan dan cacat.[2]
Imam Nawawi meringkas definisi
diatas menjadi; Hadist yang sanadnya bersambung antara orang-orang yang adil
dan sempurna hafalannya dengan tanpa ada kejanggalan ataupun cacat[3].
Dari kedua definisi di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ada lima
ketentuan hadist Shahih, yaitu:
1.
al-Musnad (bersambung sanadnya). Maksudnya tiap – tiap perawi mendengarkan
langsung sanad hadits dari orang yang meriwayatkan sebelumnya. Dengan demikian
mengecualikan hadist yang sanadnya tidak bersambung seperti hadist mursal,
munqati’ , mu’adlal, dll.
2. Diriwayatkan oleh perawi yang adil. Adil
adalah orang Islam yang sudah akil balig, berakal, memiliki agama yang kuat,
berakhlak baik, tidak fasiq dan terjaga kehormatannya.
3. Masing-masing perawi merupakan orang yang
dhabit (memiliki ingatan yang kuat dan pemahaman yang sempurna atas hadist yang
diriwayatkan serta mampu menjaga sejak dia memperoleh hadist tersebut sampai
kemudian menyampaikannya).[3]
* Dhabith dibagi menjadi
dua:
1. Dhobith Shadri,
yaitu ingatan perawi tersebut benar – benar kuat
menyimpan apa yang ia dengar dalam pikirannya dan mampu mengeluarkan ingatan
tersebut kapanpun diperlukan.
2.Dhobith Kitabi,
yaitu perawi itu kuat ingatannya berdasarkan catatannya
yang dia tulis semenjak dia mendengar / menerima hadits dan mampu menjaga
tulisan hadits tersebut dari kerusakan
/cacat.
4. Hadist yang
diriwayatkan bukan merupakan hadist yang syadz (mengandung kejanggalan).
Seperti riwayat tersebut berbeda dengan riwayat yang lainnya.
5. Hadist yang
diriwayatkan bebas dari illat (cacat). Yakni sifat – sifat buruk yang
tersembunyi yang menyebabkan hadist tersebut cacat dalam penerimaannya.
Kelima
ketentuan di atas disepakati secara mutlak oleh para Muhaditsin. Namun di
samping itu ada pula beberapa ketentuan yang masih diperdebatkan, seperti
syarat harus hadist Aziz sebagaimana yang dikriteriakan oleh al-Hakim Ubai
Abdullah, perawi harus faqih menurut Abu Hanifah dan lain sebagainya.
B. Pembagian Hadits shahih
Hadits Shahih dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Hadits Shahih Lidzatihi (Murni)
Yaitu hadist yang memenuhi
sifat-sifat penerimaan hadist pada tingkat tertinggi, atau dengan kata lain
memenuhi lima
kriteria di atas secara sempurna. Contoh: لا يئمن احدكم حت يحب لاخيه ما يحب لنفسه
2. Hadits Shahih Lighorihi (Tidak murni)
Yaitu hadits yang tidak memenuhi
lima kriteria
hadits shahih secara sempurna[6]. Merupakan bentuk dari ketidaksempurnaan
misalnya suatu hadist diriwayatkan oleh perawi yang adil namun dlabitnya tidak
sempurna sehingga digolongkan dalam hadits hasan. Namun karena didukung oleh
hadits lain yang semakna, dengan jalur sanad lain yang kualitasnya sama atau lebih baik maka
naik menjadi hadist shahih.[4]
Contoh:
ما رواه محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة رضى الله عنه أن
رسول الله قال: لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
( Hadist di atas jalur sanadnya melalui Muhammad bin Amr
dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Meskipun Muhammad bin
Amr diragukan hapalannya, kekuatan ingatan dan kecerdasannya, namun karena
diriwayatkan pula oleh Abi Salamah dari gurunya lagi maka termasuk kategori
hadist shahih lighoirihi. Hadist ini juga diriwayatkan dari abu Hurairah oleh
banyak orang, seperti al-A’raj bin Humuz dan sa’id al-Maqbari).
C. Variasi Hadits Shahih
* Mutlak : Hadits yang
keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
*
Muqayyad
: Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan/kelompok sahabat (ulama) tertentu.
* Muqoyyad : Hadits yang keshahihannya dikenal di
wilayah/negara tertentu
Tingkat keshahihan hadist juga
berbeda berdasarkan kota
dimana hadist tersebut diriwayatkan. Jumhur Ulama sepakat bahwa hadist yang
paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk
Basrah dan kemudian penduduk Syam[8].
Begitu pula derajat keshahihan
hadist berbeda. Menurut jumhur Ulama,
tingkatan hadist yang paling shahih adalah:
1. Hadist yang
diriwayatkan oleh oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari
3. Hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim
4.Hadist
yang diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Bukhari dan Muslim, meskipun
mereka tidak meriwayatkannya.
5. Hadist yang
diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Bukhari
6. Hadist yang
diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Muslim
7. Hadist yang dianggap
shahih oleh imam-imam yang lain.[5]
D. Hukum Hadist shahih
Hadist shahih adalah hadist yang
maqbul (diterima) dan dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum
syari’at Islam serta wajib pula diamalkan.
E. Kitab-Kitab Hadits
Shahih
1. Shahih Bukhari.
Kitab yang disusun oleh imam Abu Abdillah Muhammad
ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah bin
bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari ini dikenal sebagai kitab pertama yang hanya
memuat hadist shahih[9].
2.Shahih Muslim.
Kitab ini disusun oleh Hujjatul Islam Abu al-Husain
Muslim ibn Hujjaj al-Qasyiri al-Naisaburi.
3. Dll
F. Cara
Mengukur Keshahihan Hadits
Untuk mengetahui suatu hadits itu
apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang telah
tercantum dalam sub yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat
yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat
hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits,
kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas
intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada
tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya
hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi.[6]
Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti
kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga
menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih
lidatihi.
Untuk hadits shahih lighairihi kita bisa merujuk pada
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits
hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan
naik derajatnya menjadi hadits shahih lighairihi. Dengan kata lain kita dapat
menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh
beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits
tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih
dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah
hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin
(ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan
boleh mengamalkannya.
Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama
Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada,
serta tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat)
seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke
dalam jenis hadist yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya
dibawah hadits sahih.[7]
B A B III
P E N U T U P
Berdasarkan
uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab
terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan
beberapa saran.
A. KESIMPULAN
1.
Ibnu Sholah mendefinisikan bahwa hadist Shahih adalah hadist yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari orang yang
memiliki kualitas serupa hingga akhir sanad serta tidak mengandung kejanggalan
dan cacat. Imam Nawawi meringkas definisi diatas menjadi; Hadist yang sanadnya
bersambung antara orang-orang yang adil dan sempurna hafalannya dengan tanpa
ada kejanggalan ataupun cacat.
2.
Hadits Shahih dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Hadits Shahih Lidzatihi (Murni),
Hadits Shahih Lighorihi (Tidak murni)
3. Menurut
jumhur Ulama, tingkatan hadist yang paling shahih adalah: Hadist yang
diriwayatkan oleh oleh Bukhari dan Muslim, Hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Hadist yang diriwayatkan
berdasarkan syarat shahih dari Bukhari dan
Muslim, meskipun mereka tidak meriwayatkannya, Hadist yang diriwayatkan
berdasarkan syarat shahih dari Bukhari, Hadist yang diriwayatkan berdasarkan
syarat shahih dari Muslim dan Hadist yang dianggap shahih oleh imam-imam yang
lain.
B. Saran - Saran
1.
Disarankan
kepada umat islam untuk dapat mengamalkan islam sesuai dengan petunjuk Al –
qur’an dan as – Sunnah.
2.
Disarankan
kepada para mahasiswa/I untuk dapat meningkatkan pembelajaran tentang kajian Al
– Qur’an dan As – Sunnah.
3.
Disarankan
kepada umat islam untuk berpegang tuguh kepada Al – Qur’an dan as – Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman,Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT Al-ma’arif,
1974
Al-Ma’udi,Hafidz
Hasan. Ilmu Musthalahah Hadits.Surabaya:Al-Hidayah,1999.
Anwar,Muhammad..Ilmu
Mushtalah Hadits.Surabaya:Al-Iklas,1981
Al-khatib,Muhammad
‘Ajaj..Ushulul Al-Hadits.Jakarta:Gaya
Media Pratama,1997
Shiddiqie.
M. Hasbi., ”Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits", Semarang : Pustaka Rizki Putra. 1999
Ahmad
Muhammad. H., "Ulumul Hadis", Bandung : Pustaka Setia. 1998.
Soetari Endang. H., "Ilmu
Hadis", Yogyakarta : Qalam. 2005
0 Comments
Post a Comment