A.
Pemberian Ganjaran dan Hukuman dalam Pendidikan Shalat
Ganjaran adalah “hadiah (sebagai pembalas jasa) dan
ganjaran bisa dipakai untuk balasan yang baik maupun balasan yang buruk”.[1] “Ganjaran
yang diberikan oleh pendidikan pada anak didiknya merupakan reinforcement atau
penguatan. Dalam hal ini penguatannya berupa upah atau hadiah”.[2] Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa ganjaran merupakan suatu balasan yang dapat
berupa upah atau hadiah yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan) bagi
anak didik agar termotivasi untuk belajar. Hukuman adalah “tindakan yang
dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa,
dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan
berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya”.[3]
Hukuman fisik dalam pendidikan Islam merupakan keadaan
darurat, bukan merupakan metode yang secara rutin harus diterapkan dalam proses kependidikan,
oleh karena mendidik , menurut pandangan islam bukan didasarkan atas paksaan
atau kekerasan melainkan berdasarkan kehalusan budi dan rasa kasih sayang. “Semestinya
guru itu tidak usah menggunakan pukulan dalam mendidik anak-anak, kecuali kalau
cara yang lunak tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.Satu hal yang sangat
baik adalah guru memperkecil penggunaan kekerasan atau tidak sama sekali”.[4]
Ganjaran dan hukuman orang tua dapat menjadi motivasi
belajar anak apabila perakteknya lebih menekankan pada ganjaran, dari pada
hukuman, karena apabila hukuman berlebihan maka berakibat pada psikologis anak,
yakni anak akan tumbuh tidak percaya diri atau mender. Hukuman fisik pada era modern sudah tidak dipakai yang diberlakukan
saat ini hukuman yang mengandung pendidikan seperti menghafal surat-surat
pendek, membersihkan rumah, menghafal kosa kata dll. Abdullah
Nashih
Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
Pertama, Pendidik tidak terburu-buru. Kedua, Pendidik tidak
memukul ketika dalam keadaan sangat marah. Ketiga, Menghindari
anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut. Keempat, Tidak terlalu
keras dan tidak menyakiti. Kelima, Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun. Keenam, Jika
kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk
bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu. Ketujuh,
Pendidik menggunakan tangannya sendiri. Kedelapan, Jika anak sudah
menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia
menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.[5]
Metode yang dipakai oleh orang tua di Gampong Meunasah
Krueng Peudada dalam pendidikan shalat menurut Bapak Zakaria Abdullah Keuchik
Gampong Meunasah Krueng Peudada yaitu dilakukan dengan memberikan ganjaran dan
hukuman. Penggunaan hukuman sebagai metode pendidikan lazim digunakan oleh para
guru, orang tua ataupun yang lainnya ketika mereka sudah tidak ada alternatif
lain untuk mengkondisikan si terdidik agar sesuai dengan keinginannya.[6]
Menurut pengakuan Bapak Martunis Sekretaris Gampong
Meunasah Krueng Peudada bahwa dalam prakteknya, orangtua di Gampong Meunasah
Krueng yang memiliki anak usia 3-6 dalam mendidik anak juga menggunakan
ganjaran dan hukuman. Misalnya Nurlaili, dia lebih suka dengan cara memotivasi
anak dan memberikan hadiah kepada anak jika anak sulit untuk diatur dan didik
untuk melakukan shalat. Dan ini berbeda dengan Syamsidar yang memukul dan
menjewer anaknya ketika tidak mau atau sulit diatur dalam melakukan shalat”.[7]
Berbeda dengan ganjaran, hukuman diberikan agar anak didik
menyadari kekeliruannya dan merasakan duka nestapa akibat perbuatan yang
dilakukannya. Sehingga dalam memberikan hukuman terkandung tujuan etis (moral,
susila, baik dan benar). Berdasarkan wawancara penulis dengan Tgk. Danil Imum Gampong Meunasah
Krueng Peudada menurut beliau “hukuman disebabkan adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh anak, sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran banyak sekali, namun yang paling utama adalah faktor niat (rencana)
dan kesempatan (peluang) untuk melakukan pelanggaran atau pembalasan yang
dengan sengaja diberikan kepada anak didik dengan maksud supaya anak tersebut
jera”.[8]
Hukuman tidak mutlak diperlukan, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abdullah Nashih Ulwan bahwa “untuk membuat anak jera, pendidik
harus berlaku bijaksanan dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai”.[9] Berdasarkan penjelasan di atas dapat
dikatakan, bahwa metode pendidikan banyak ragamnya. Oleh karena itu dalam
proses pendidikan agama Islam yang lebih menekankan pendidikan ibadah shalat,
maka orang tua tidak hanya dituntut untuk dapat menguasai mampu dan memahami
(materi) tata cara shalat, namun kemampuan ibu rumah tangga dalam memilih
metode guna menyampaikan materi tersebut kepada anak-anaknya adalah hal yang
lebih penting.
0 Comments
Post a Comment