A.
Pembinaan Mental Bermasyarakat
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk “memelihara agama, jiwa,
akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas
berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya
dengan tuntunan kesehatan”[1]. Namun
demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap batasan atau definisi
kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan antara lain karena
adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda. Dengan
tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya
perbedaan konsep kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya
perbedaan implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang sehat. “Perbedaan
itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu
justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa dan
bagaimana kesehatan mental”[2].
Para
psikolog membuat banyak pengertian mental sehat, dalam berbagai pengertian itu
nampak adanya beragam penekanan pada masalah perilaku manusia sesuai perbedaan
aliran dan sudut pandang yang dipilih oleh masing-masing psikolog. Meskipun
demikian perbedaan yang mengemuka tetap bermuara pada satu poros yaitu
pemahaman tentang mental sehat. Inti pembahasan mental sehat adalah kemampuan
beradaptasi secara personal dan sosial sehingga individu hidup dengan perasaan
senang dan bahagia.
Dalam
Islam, Individu dapat dikatakan sehat
tidak cukup hanya dilihat dari segi fisik, psikologis, dan sosial saja, tetapi
juga perlu dilihat dari segi spiritual atau agama. Jadi seseorang yang sehat
mentalnya tidak cukup hanya terbatas pada pengertian terhindarnya dia dari
gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, “melainkan patut pula dilihat
sejauhmana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan
lingkungannya, mampu mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi
problema hidup termasuk kegelisahan dan konflik batin yang ada, serta
sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai kebahagiaan”[3].
Dalam mendidik anak, Islam
menerapkan program pendidikan yang bertujuan untuk merealisasikan keseimbangan
antara dimensi material dan dimensi spritual dalam pribadi manusia. Karena
hanya dengan keseimbangan inilah akan tercipta kepribadian yang mantap yang
pada gilirannya akan menghasilkan kesehatan mental, berhubung banyak sekali
manusia yang cenderung untuk meraih kebahagian akhirat yang lebih langgeng,
maka orang tua harus memberikan pendidikan khusus dalam mendidik anaknya yaitu
pendidikan mental.
Beberapa pakar psikologi mendefinisikan mental sehat sebagai
suatu keadaan di mana individu terbebas dari penyimpangan, kekhawatiran,
kegelisahan, kesalahan dan kekurangan. Individu yang sehat mentalnya adalah “individu yang tidak menyimpang dari
norma, tidak berperilaku salah, tidak menampakkan kekhawatiran dan kegelisahan,
individu seperti inilah individu ideal yang terhindar dari kekurangan dan
kelemahan”.[4]
Pengertian di atas nampak sederhana tetapi maknanya sangat
beragam dan menjadikannya tidak bisa diterima baik secara teoritis maupun
praktis, beberapa pengertian tersebut adalah:
a. Tidak
ada individu yang terhindar dari penyimpangan, tidak akan pernah dijumpai
individu yang terbebas dari kekhawatiran
dan kekurangan. Manusia bukanlah malaikat yang tidak pernah berbuat
salah dan tidak pernah menyimpang, manusia bisa salah bisa benar, bisa
menyimpang bisa lurus. Nabi memberikan petunjuk kepada manusia bahwa salah
adalah watak atau tabiat yang dimiliki manusia.
b. Terhindarnya
individu dari penyimpangan bukan berarti individu tersebut sehat mentalnya,
sebagaimana tubuh yang tidak sakit bukan berarti semua anggota tubuh mampu
berfungsi dengan baik tanpa adanya kekurangan. Jiwa yang terbebas dari
penyimpangan bukan berarti ia mampu menanggung semua beban
Dengan demikian, agar pengertian ini sesuai dengan
pengertian mental sehat, maka idealnya definisi mental sehat adalah mental yang
terhindar dari penyimpangan yang berat, kekhawatiran yang kuat dan kesalahan
yang banyak. Individu yang sehat mentalnya adalah individu bisa meminimalisir
kesalahan, sedikit penyimpangan dan
kekhawatiran.
Pembentukan
mental Islam yang kuat akan menghindarkan anak didik dari penyakit hati seperti
benci, dengki, buruk sangka, sombong, bohong, pesimis, dsb. Jika seseorang
telah mampu mengeliminasi penyakit hati, maka orang tersebut berpotensi besar
untuk sukses. Allah Swt. tidak pernah
memerintahkan keimanan kecuali disertai dengan tindakan nyata. Maka berawal
dari kenyataan ini, Rasulullah Swt. melakukan penguatan pengetahuan teoritis
dengan aplikasi praktis. Sebab akan bisa didapatkan manfaat hakiki yang lahir
dari aplikasi praktis terhadap pengetahuan teoritis tersebut.
Agama Islam ini
memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia,
maka “pengajaran agama Islam sebenarnya harus berarti pengajaran tentang tata
hidup yang berisi pedoman pokok yang akan digunakan oleh manusia dalam
menjalani kehidupannya di dunia ini untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera
di akhirat nanti”[5]. “Agama sendiri diturunkan untuk membimbing
akal dan ilmu pengetahuan. Dan dengan bimbingannya akan sampai kepada tujuan
yang hakiki”[6].
Pembentukan
masyarakat Islami untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah Saw.
Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya
masyarakat Islam itu terbentuk, langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh
Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu
keluarga besar, yang memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa
memandang asal suku dan kabilahnya. Itulah keluarga Islam "masyarakat Islam".
Berikut penjelasan beberapa langkah praktis yang dilakukan oleh Rasulullah
dalam membentuk masyarakat Islam itu:
- Pembinaan Melalui Masjid
“Sesampainya di
Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan
terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw membangun
masjid”[7]. “Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas
utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam
tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap
sistem, aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui
semangat masjid”[8].
Di dalam
masyarakat Islam masjid berkedudukan sebagai pusat pembinaan mental spiritual
dan phisik material, tempat berhubungan dengan Tuhan sepanjang zaman, yang akan
melahirkan hubungan yang kokoh antara hamba dengan Tuhannya dan akan menjadi
sumber kekuatan individu-individu Muslim. Bagaimana tidak kaum muslimin
diwajibkan melakukan kejama'ahan shalat fardu yang lima di masjid-masjid, dan
shalat jum'at berjama'ah setiap minggu. Kejam'ahan shalat di masjid inilah yang
akan membentuk jama'ah (masyarakat) Islam yang solid, menjadi kultur (adapt
istiadat) perkampungan kaum muslimin, sehingga terwujud masyarakat yang "la
khaufun 'alaihim walahum yahzanun"[9].
Masjid itu
bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi
sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan
bimbingan-bimbingan Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk
mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan
semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus
sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan[10].
Kemudian
diantara sistem dan prinsip Islam adalah tersebarnya mahabba dan ukhuwah sesama
kaum muslimin, tetapi ikatan ini tidak akan terjadi kecuali dalam masjid,
dengan bertemunya kaum muslimin berkali-kali dalam sehari dimana kedudukan,
kekayaan dan status sosial lainnya terhapuskan. Dan juga “sistem Islam adalah
terpadunya beraneka ragam latar belakang kaum muslimin dalam satu kesatuan yang
kokoh diikat oleh tali Allah Swt., ini pun bisa dilakukan bila masjid-masjid
telah dibangun ditengah masyarakat muslim, karena masjid adalah tempat kaum
muslimin beerkumpul mempelajari ajaran Islam”[11].
- Pembinaan Melalui Persaudaraan Sesama Kaum Muslimin
Sebagai langkah
selanjutnya, Rasulullah Saw. mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum
Muhajirin dan Anshar. Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh
tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan
dan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai.
Suatu masyarakat yang tidak disatukan oleh tali ikatan kasih sayang dan
persaudaraan yang sebenarnya, tidak mungkin bersatu pada satu prinsip.
Persaudaraan itu harus didasari oleh aqidah yang menjadi idiologi dan faktor
pemersatu. “Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah adalah mimpi dan
khurafat. Oleh sebab itu Rasulullah menjadikan aqidah Islamiyah yang bersumber
dari Allah Swt. Sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya”[12].
Inilah di
antara buah yang dihasilkan dari perjalanan hijra yang dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Pelajaran yang paling berharga bagi nilai
kemanusiaan dari peristiwa ini adalah pengorbanan, pembelaan, dan itsar
(mendahulukan kepentingan orang lain). “Dasar dari persaudaraan yang dilakukan
oleh Rasulullah ini tidak memandang perbedaan suku, ras, dan status social.
Rasulullah memandang sama mereka yang merupakan bangsa Arab maupun non-Arab.
Antara orang yang bebas dan seorang budak. Antara seorang tokoh pada suatu
kabilah dengan orang biasa. Dan antara orang kaya dan miskin”[13].
Persaudaraan
yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut tidak hanya
antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni dilakukan
antara semsama orang-orang Muhajirin, dan sesama orang-orang Anshar. Hal ini
dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubngan antara
kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus
dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke Madinah.
"maksud dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran
meninggalkan kampong halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan
keluarga, disamping agar mereka saling
membantu satu sama lain"[14].
Praktek
persaudaraan sebagaimana telah dijelaskan di atas, telah menghasilkan suatu
'masyarakat Islam' yang terdiri dari bermacam-macam kabilah dan unsur-unsur
yang berbeda, tetapi masing-masing anggota masyarakat itu telah melupakan
asal-usul keturunan dan golongannya. Mereka hanya melihat kepada ikatan Islam
yang dijadikan Rasulullah sebagai ikatan persaudaraan di antara mereka[15].
- Perjanjian Kaum Muslimin dengan Orang-orang di Luar Islam
Setelah
Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil memancangkan
sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan aqidah,
politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka selanjutnya
yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada
golongan atau pihak di luar Islam. “Perhatian beliau pada saat itu adalah
bagaimana menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia,
mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan”[16].
Secara garis
besar perjanjian antara Rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian
dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prisip hukum yang
terkandung di dalamnya, yaitu :
Pertama, pada pasal pertama disebutkan bahwa Islam
adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum muslimin dan
menjadikan mereka satu ummat. Semua perbedaan akan sirna di dalam kerangka
kesatuan yang integral ini. Ini merupakan asas pertama yang harus diwujudkan
untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan kuat. Kedua, Pada pasal
kedua dan ketiga disebutkan bahwa di ntara ciri khas terpenting dari masyarakat
Islam ialah, tumbuhnya nilai solodaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan
antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggungjawab kepada yang lainnya baik
dalam urusan dunia maupun akhirat. Ketiga, Pada pasal keenam disebutkan
betapa dalamnya asas persamaan sesama kaum muslimin. Ia bungan hanya slogan,
tetapi merupakan salah satu rukun syari'at yang terpenting bagi masyarakat Islam
yang harus diterapkan secara detil dan sempurna. Ini berarti bahwa jaminan
seorang Muslim, siapapun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan. Keempat,
Pada pasal kesebelas disebutkan bahwa hakim yang adil bagi kaum Muslimin, dalam
segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syari'at dan hukum Allah swt
yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah Swt dan sunnah Rasul-Nya. Jika
mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini
maka mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan siksa Allah swt di
akhirat[17].
Piagam Madinah
yang dibuat oleh Rasulullah saw ini, berdasarkan wahyu Allah Swt. dan ditulis
para sahabatnya kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati kaum
muslimin dan tetangganya yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk Islam,
merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Islam sejak awal pertumbuhannya tegak
berdasarkan undang-undang yang sempurna, “bahwa masyarakat Islam sejak awal
telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan
setiap masyarakat atau negara. Dari sini tertolaklah tuduhan orang-orang yang
mengatakan bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya”[18].
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka
anggota IKAPI, 2003), hal. 181.
[3]Zakiah
Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, Pokok-Pokok Keimanan, (Jakarta: GunungAgung, 1982 ), hal. 20.
Avecenna,1981),
hal. 15.
[7]
Masjid Nabawi dibangun diatas tempat menderumnya onta beliau, milik dua anak
yatim yang kemudian ditebus oleh rasulullah. Dalam pembangunan masjid tersebut
Rasulullah terjun langsung bersama kaum Muslimin sambil memberi semangat kepada
mereka dengan bersya'ir.
[8]
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hal. 171.
[9]M
Shalahuddin Sanusi, Pembangunan Masyarakat Masjid; Format Pembangunan
Berparadigma Surgawi, (Sukabumi: Lembaga Pembinaan
'Imaratul Masajid, 2003), hal.
110.
[10] Ibid., 185.
[11]
Al-Buthy, Sirah ...., hal.
171.
[12]
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Press, 2001), hal. 176-177.
[13]
Jazuli, Hijrah..., hal. 261-262.
[15] Ibid.
hal. 43.
0 Comments
Post a Comment