Pendidikan Agama dan Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Mental Anak
D. Pendidikan Agama dan Pengaruhnya Terhadap Pengembangan
Mental Anak
Pendidikan agama sangat penting untuk pembinaan dan
penyempurnaan pertumbuhan mental anak , karena pendidikan agama mempunyai dua
aspek terpenting. Aspek pertama dari pendidikan agama adalah yang ditujukan
kepada jiwa atau pembentukan kepribadian. Anak didik diberikan kesadaran kepada
adanya Tuhan lalu dibiasakan melakukan perintah-perintah Tuhan dan meninggalkan
larangan Nya. Dalam hal ini anak didik dibimbing agar terbiasa berbuat
yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama. Aspek kedua dari pendidikan agama
adalah yang ditujukan kepada pikiran yaitu pengajaran agama itu sendiri.
Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan sempurna bila isi dari ajaran-ajaran Tuhan
tidak diketahui betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan apa yang disuruh, apa
yang dilarang, apa yang dibolehkan, apa yang dianjurkan melakukannya dan apa
yang dianjurkan meninggalkannya menurut ajaran agama.
Pakar muslim
mendefinisikan etika yang baik sebagai pondasi atau pokok agama, sebagaimana
Ibnu Abbas mengatakan:”Setiap bangunan mempunyai pondasi dan pondasi Islam
adalah etika yang baik”. Menurut Al-Ghazali, etika yang baik adalah
keimanan dan etika yang buruk adalah kemunafikan . Selanjutnya Al-Ghazali
menjelaskan ciri-ciri individu yang beretika
baik yaitu mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya,
menghormati tamu dan menjaga tetangga, berkata baik atau diam, merahasiakan
kebaikan-kebaikannya, tidak menyakiti orang lain, tidak riya, tidak membuka aib
orang lain, mengatakan kebenaran, suka bekerja dan ikhlas.”26
Pendidikan sebagai
suatu proses transformasi yang memanfatkan dan mengaktualisasikan potensi
manusia secara maksimal dari sisi perkembangan jasmani, psikis, moral, sosial
dan spiritual. Dalam upaya ini pendidikan sebagi proses humanisasi dan sosial
mempertimbangkan norma-norma sosial, ekonomi dan filosofis yang berlaku di
dalamnya dengan selalu mendasarkan pada pentingnya proses pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Dari sini manusia diarahkan, dibiasakan dan dididik untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang terintegrasi dengan apa yang
dinamakan kepribadian. Sebagaimana yang telah diuraikan di muka, bahwa
kesehatan mental dalam pengembangan kepribadian yang di dalamnya terpolah atas
kalbu, akal dan nafsu, bila tetap dalam kendali kalbu maka masing-masing
potensi akan memunculan sifat positif yang akan mendatangkan kecerdasan. Fungsi
kalbu sendiri dalam hal ini selain berdaya emosi juga berdaya kognisi, bahkan
dapat menjadi alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner, memperoleh hidayah,
ketakwaan, rahmah, serta mampu memikirkan dan merenungkan sesuatu .
Adapun kecerdasan yang
dimotori kalbu ini untuk menggambarkan sejumlah kemampuan diri dan berbagai
aktivitasnya dalam pengelolaan fungsi-fungsi kepribadian, adalah sebagai
berikut:
1. Kecerdasan Intelektual (intuitif)
Kecerdasan intelektual
yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran
pengetahuan yang bersifat intuitif-ilahiah, seperti wahyu (untuk para
rasul dan nabi) dan ilham atau firasat (untuk manusia biasa yang shalih).
Adanya sifat ini sebagai pembeda dengan kecerdasan intelektual yang ditimbulkan
oleh akal fikiran yang bersifat rasional insaniah. Secara umum
kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses
kognitif seperti berfikir, daya menghubungkan, dan menilai atau
mempertimbangkan sesuatu. Atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi
pemecahan masalah dengan menggunakan logika.
2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan
emosional yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan pengendalian nafsu-nafsu
impulsif dan agresif. Kecerdasan ini mengarahkan manusia untuk bertindak secara
hati-hati, waspada, tenang, sabar dan tabah ketika mendapat musibah, dan
berterima kasih ketika mendapat kenikmatan
Kecerdasan emosional yang
dikembangkan Daniel Golemen ini, merujuk pada kemampuan seseorang mengendalikan
diri ketika marah, takut, gembira, kasmaran, terkejut, terpesona, muak,
tersinggung, dan berduka. Jadi pada hakekatnya adalah kemampuan meredam gejolak
emosinya.
Menurut penelitian
Tomlinson-Keasey dan Little (dalam Satiadarma & Sadalis E. Waruwu, 2003:37)
bahwa sukses seseorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh
kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, pendidikan orang tua dan variabel
lingkungan rumah tangga. Pola asuh orang tua sangat berperan untuk meningkatkan
kecerdasan emosional anak, dengan demikian agar anak-anak kelak mampu
mengendalikan emosinya dengan baik, orang tua harus memberi contoh bagaimana
mengendalikan emosi dengan baik.
3. Kecerdasan Moral
Kecerdasan moral yaitu
kecerdasan kalbu yang berkaitan dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam
semesta. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik,
sehingga orang lain merasa tenang dan gembira kepadanya tanpa rasa sakit, iri hati,
dengki, dendam dan angkuh.
Secara umum kecerdasan
moral berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan
mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional dan
intelektual pikiran manusia. Indikator untuk mengukur tentang prilaku baik dan
buruk dan kemampuan menginternalisasikan prilaku yang baik dalam kehidupan
sehari-hari dalam konsep pendidikan Islam masuk muatan pelajaran akhlak.
4. Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas batin seseorang.
Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga
dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal
fikiran manusia. Pendek kata kecerdasan spiritual merupakan kesadaran dalam
diri yang membuat manusia menemukan dan mengembangkan bakat-bakat bawaan,
intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan benar serta
kebijaksanaan.
Kecerdasan spiritual
bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih
atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih
merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana mengelola dan mendayagunakan
makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya, sehingga
memiliki hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang
memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the
meaning of life) dan mendambahkan hidup bermakna (the meaningful life).
Sehingga dapat difahami bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki
kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme,
dan intoleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan
dan peperangan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif,
setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal
ini mengindikasikan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) dalam pengertian
ini tidak selalu berarti agama atau bertuhan.
Untuk mengembangkan
kecerdasan spiritual, setidaknya harus di mulai dari lingkungan keluarga, yakni
dengan cara melatih anak-anak melakukan tugas hariannya dengan kesadaran dan
dorongan motivasi dari dalam, anak diberi kasih sayang dan tidak perlu
dimanjakan karena akan mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri dan
mengabaikan kebutuhan orang lain, kikir dan berpikiran sempit. Anak perlu
belajar untuk bisa menerima dan mendengarkan dengan baik baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Orang tua harus menciptakan suasana lingkungan
keluarga penuh kasih dan pengalaman saling memaafkan, dan banyak lagi yang
intinya orang tua harus menjadi model bagi anak-anaknya untuk melayani, rela
berkorban dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri
sendiri, karena yang memandu setiap perbuatan adalah apa yang bernilai bagi
sesama.
5. Kecerdasan Beragama
Kecerdasan beragama
adalah kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kualitas beragama dan bertuhan.
Kecerdasan ini mengarahkan pada seseorang untuk berperilaku secara benar, yang
puncaknya menghasilkan ketakwaan secara mendalam, dengan dilandasi oleh enam
kompetensi keimanan, lima
kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan.
Kecerdasan agama
dalam hirarki ini tentunya merupakan tingkatan yang tertinggi daripada
kecerdasan kalbu yang lain. Seseorang yang memiliki kecerdasan ini seharusnya
telah melampaui kecerdasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual, karena
keempat kecerdasan ini merupakan bagian dari kecerdasan agama, sebagaimana
firman Allah yang memerintahkan berislam secara kaffah sebagaimana firman Allah
dalam surat Al
– baqarah ayat 208 :
يا
ايها الذين امنوا اد خلوا فى السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو
مبين)
البقرة:٢٠٨(
Artinya:Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu
.( Qs. Al-Baqarah: 208)
Dalam konsep pendidikan
Islam, kelima kecerdasan ini harus difahami dengan pendekatan sistem, artinya
pada masing-masing kecerdasan merupakan bagian-bagian yang otonom tetapi saling
terkait dan terpadu. Terminologi kecerdasan kalbu sebagaimana dijelaskan Allah SWT
dalam surat Al-Hajjayat
ayat 46:
أفلم
يسيروا فى الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها أو أذان يسمعون بها فإنها لا تعمى
الأبصار ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور ) الحج:٤٦(
Artinya:Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka berakal atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesunggugnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada (Qs. Al-Hajj: 46).
Kecerdasan qalbiah akan
terjadi ketika kalbu mampu berinterksi dengan akal, yaitu merupakan gabungan
antara fakultas zikir (hati) dan fikir (rasio) yang hanya
dimiliki oleh orang-orang yang berpredikat ulil albab. Sebagaimana
Firman Allah SWT dalam surat
Ali – imran ayat 190 - 191:
إن فى خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار
لأيات لأولى الألباب , الذين
يذكرون الله قباما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون فى خلق السماوات والاؤض ربنا ما
خلقت هذا بااطلا سبحانك فقناعذاب النار ) آل عمران: ١٩١ - ١٩٠(
Artinya:Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Qs. Ali Imra: 190-191)
Dalam hubungannya dengan
ranah pendidikan, konsep kesehatan mental dalam membentuk kepribadian muslim
yang ideal, bukan dengan serta merta “menjadi”, tapi memerlukan proses
transformasi melalui transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dan
transfer nilai-nilai (transfer of value) secara istiqamah (continue)
ke dalam diri manusia. Pemahaman ini diperoleh berdasarkan ketiga aspek iman,
islam dan ihsan yang sejajar dengan kognisi, afeksi dan amalan
sebagai sisi aspek spiritual seorang muslim.”27
Konsep iman,
islam dan ihsan tersebut dipandang sebagai sisi positif, maka kufur
adalah sisi negatifnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis ungkapan Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa al-nafs memiliki potensi taqwa (baik,
positif) dan sekaligus juga memiliki potensi fujur (buruk, negatif), hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
Asy – syam ayat 8;
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا )الشمس:٨(
Artinya:maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujur) dan ketakwaannya (taqwa)(Qs. Asy Syam: 8).
Dengan demikian, pengembangan
kepribadian muslim adalah sebuah keharusan fitrah kemanusiaan dalam
mengeksplorasi segala potensi positif yang “dicelupkan” melalui penghayatan
ajaran Islam dalam aktifitas di setiap sisi kehidupan, sehingga kehidupan yang
diharapkan benar-benar menjadi dambaan yang bermakna. Untuk itulah
seyogyanyalah nilai-nilai luhur menjadi penuntun untuk memahami makna hidup (al-hayah).
Inna al-hayah hiya al-harakah wa al-harakah hiya al-barakah wa al-barakah
hiya al-ni’mah wa al-ziyadah wa al-sa’adah. Hidup adalah bergerak (dinamis)
yang dapat membawa berkah, dan hidup yang berkah adalah hidup yang membawa
nikmat, nilai tambah dan kebahagiaan (di dunia dan akhirat).”28