1. Pendidikan
Ihsan
Dalam
kisah Ashhabul Kahfi dapat kita
lihat bahwa merupakan sebaik-baik kisah yang terdapat didalam Al-qur’an yang
menjadi pelajaran bagi kita bersama. Terutama dalam pendidikan ihsan. Pendidikan
ihsan merupakan bagian dari pendidikan akhlak dalam Islam. Menurut Islam
pendidikan akhlak adalah faktor penting dalam membina suatu umat membangun
suatu bangsa.[1] Yang
mana mereka adalah orang yang berbuat kebaikan ditengah kerusakan moral dan
aqidah. Seperti yang Allah jelaskan di dalam Al-qur’an Surat Al – kahfi ayat 13 – 14 :
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى,
وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَ مِن دُونِهِ
إِلَهاً لَقَدْ قُلْنَا إِذاً
شَطَطاً)الكهف : ١٤- ١٣(
Artinya: Kami ceritakan kisah mereka kepadamu
(Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya
mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami
tambahkan kepada mereka petunjuk. dan Kami telah meneguhkan hati mereka di
waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit
dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan
yang amat jauh dari kebenaran. (Qs. Al-Kahfi : 13- 14)
Dari ayat diatas
dapatlah kita lihat bahwa, mereka merupakan pemuda yang beriman kepada tuhannya
dan berbuat kebajikan sehingga Allah menambah kepada mereka petunjuk. Ini
berarti mereka adalah orang yang berbuat ihsan yang merupakan akhlaq yang
mulia.
Kalau kita
perhatikan Sifat ihsan dari lughoh
(bahasa), Al-Ihsan berasal dari kata Ahsana-Yuhsinu-Ihsanan
yang artinya membaguskan. Ihsaana Ilaihi artinya berbuat baik kepadanya[2].
Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan dalam pembahasan ini adalah menyampaikan setiap kebaikan kepada kepada
orang lain semampu kita dan bila
memungkinkan mencegah gangguan terhadap manusia. Dalam Al-qur’an Allah menjelaskan dalam surat Al-qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا
تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي
الْأَرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ )الكهف : ١٤- ١٣(
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Qs. Al-Qashash : 77)
Sesungguhnya agama Islam
mewajibkan kepada para pengikutnya (berbuat baik) dalam segala hal dan tidak
ridha dari para pengikutnya menyukai keburukan atau melakukannya. Maka sesuatu
yang diajak oleh agama kita adalah yang tertinggi dari perbuatan kita
sehari-hari yang salah yang merancukan gambaran akhlak dalam agama ini.
Sejak langkah
pertama di atas pintu Islam, kita dituntut untuk memperbaiki Islam kita agar
dilipatgandakan pahala kita. Al-Bukhari meriwayatkan:
إذا أحسن أحدكم إسلامه فكل حسنة يعملها تكتب له بعشر أمثالهاإلى سبعمائة ضعف
وكل سيئة يعملهاتكتب له بمسلها
Artinya: Apabila
seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya, maka setiap kebaikan yang
dilakukannya ditulis untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat,
dan setiap keburukan yang dilakukannya ditulis baginya seumpamanya."[3]
Bahkan sesungguhnya
tumpukan (dosa) di masa jahiliyah yang membebani pundak orang yang baru
mendapat petunjuk, ia tidak bisa bebas darinya kecuali dengan taubat yang benar
dan memperbaiki amal perbuatan. Karena itulah Nabi r bersabda:
من أحسن فى الإسلام يؤاخذا بما عمل فى الجاهلية ومن أساء فى الإسلام
أخذبالأول والأخر
Artinya: Barangsiapa
yang baik di dalam Islam, niscaya ia tidak terkana sangsi karena perbuatannya di masa jahiliyah, dan
barangsiapa yang berbuat jahat di dalam
Islam niscaya ia terkena sangsi karena dosa yang pertama(di masa lalu) dan yang
terakhir."[4]
Di dalam Al-Qur`an,
Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola
pikir khas orang-orang beriman. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung
kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah
hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta
menghindari ucapan tak berguna.
Titik pandang
sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah)
terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja berubah,
sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan
manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang kokoh berpegang pada
ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi,
waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada
perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan akhlaq
terpuji.
Kita dapat melihat
didalam islam sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai
penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku
terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam
Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih
terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam. Ada beberapa anjura dalam
islam yang harus diperhatikan oleh segenap manusia. Diantaranya adalah:
1.
Membersihkan
jiwa.
Allah menyeru
orang-orang beriman supaya membersihkan (menyucikan) diri mereka, yang sesuai
dengan fitrah jiwa mereka dan sunnah alam. Kesucian dianggap sebagai satu
bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan satu sumber
kelapangan dan kesenangan yang besar bagi mereka sendiri. Di dalam banyak ayat,
Allah memerintahkan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan raga.
Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian. Pengertian
qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh masyarakat
awam. Menurut Al-Qur`an, suci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa seseorang.
Demikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali membersihkan dirinya
dan nilai-nilai moral masyarakatnya, bentuk pola pikirnya, dan gaya hidup yang
bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an menganugerahkan
ketenangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari
keadaan suci ini berwujud dalam pemikiran. Tak diragukan lagi, ini merupakan
satu kualitas terpenting. Kesucian jiwa yang dialami manusia tersebut akan
terpancar dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, moral terpuji orang
tersebut akan nyata bagi siapa saja. Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan
pikirannya dari segala bentuk kebatilan. Mereka tidak pernah berniat menyakiti,
cemburu, kejam, dan mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan
tercela yang diserap dan ditampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep
moral Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, karena mereka
merindukan moral terpuji. Inilah sebabnya, terlepas dari penampilan ragawi,
orang-orang beriman pun menaruh perhatian besar pada penyucian jiwa
mereka-dengan cara menjauhi semua keburukan yang muncul dari kelalaian-dan
mengajak orang lain untuk mengikuti hal yang serupa.
2.
Menjaga
Kesucian Ragawi
Di dunia ini,
orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang mirip dengan surga.
Di dunia ini, mereka ingin menikmati segala sesuatu yang akan Allah anugerahkan
kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari Al-Qur`an, kesucian ragawi
merupakan salah satu dari kualitas-kualitas yang dimiliki manusia surga.seperti
firman Allah didalam Al-qur.an surat
ath-Thuur ayat 24 yang berbunyi:
وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ لَّهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ
مَّكْنُونٌ)الطور : ٢٤(
Artinya: Dan
berkeliling disekitar mereka anak anak muda untuk (melayani) mereka,
seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan.(Qs. ath-Thuur: 24)
Di ayat lain, Allah
menekankan perhatian pada kesucian raga adalah yang merujuk pada Nabi Yahya
a.s.firman Allah dalam Al-qur’an surat
Maryam ayat 12-13:
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ
صَبِيّاً, وَحَنَاناً مِّن لَّدُنَّا
وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيّاً) مريم:١٢- ١٣ (
Artinya: Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu
dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih
kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dankesucian
(dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, (Qs. Maryam: 12-13)
3.
Berbicara
dengan suara lembut.
Tinggi-rendahnya (intonasi)
suara adalah bagian penting dari ungkapan perasaan positif seseorang. Bagaimana
seorang menggunakan intonasi mencerminkan kualitas orang bersangkutan. Bahkan,
suara merdu sekalipun dapat menyakiti jika diartikulasikan dengan tidak
sepatutnya. Allah menasihati hamba-hamba-Nya melalui ucapan Luqman didalam Al-qur’an
surat Lukman
ayat 19:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ
الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ)لقمان : ١٩(
Artinya: Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan
dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
(Qs. Luqman: 19)
Seseorang yang
bicara dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan memberi kesan
menyenangkan pada pihak lain. Di samping itu, pada kebanyakan kasus, hal
seperti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan raungan keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang penting. Suara orang yang
sedang dirundung berang mungkin terdengar tak mengenakkan, meskipun suara
lelaki atau perempuan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap
ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap
bisa saja terdengar lebih merdu kalau mengikuti nilai-nilai terpuji dari
Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak
tertahankan, jika orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang
tersebut, yang merupakan pantulan sifat negatif diri, baik lelaki atau
perempuan, cenderung berkeluh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya
suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu memiliki sifat rendah hati, santun,
bersahaja, damai, dan konstruktif. Dengan sudut pandang positif dalam
kehidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat sempurna
ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti dijelaskan dalam
Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang. Sebaliknya,” orang
yang buruk pertengkarannya adalah orang yang bertengkar atau berdebat dengan
suara yang tidak sopan dengan mengeras-ngeraskan suara,tidak menjaga kesopanan,
sehingga bersahut-sahutan yang menyebabkan perang mulut hanya untuk memperoleh
suatu maksud”.[5]
4.
Berbudi
Baik
Al-Qur`an
menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pada kenyataannya adalah
orang-orang yang sangat bermurah hati. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang
akhlaq mulia agak berbeda dari yang secara umum ditemukan dalam masyarakat.
Manusia mewarisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari
lingkungan masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini berbeda dari satu strata
ke strata lain.
Wujud keluhuran
budi yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau bagaimanapun, melebihi dan di
atas nilai dari pemahaman mana pun, karena ia tidak akan pernah berubah, baik
oleh keadaan maupun manusia. Mereka yang menyerap unsur akhlaq mulia,
sebagaimana pandangan Al-Qur`an, memandang setiap manusia sebagai hamba-hamba Allah,
dan karena itu memperlakukan mereka dengan segala kebaikan, walaupun tabiat
mereka mungkin saja tidak sempurna. Orang-orang semacam ini menjauhi
penyimpangan dan tingkah laku yang tidak patut, teguh dalam pendirian, bahwa
berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih sayang Allah, sebagaimana
ditandaskan dalam sebuah hadits:
عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال : " إن الله كتب الإحسان على كل شيء , فإذا قتلتم فأحسنوا
القتلة , وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته " )رواه مسلم(
Artinya: Dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyAllahu
'anhu, dari Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku
baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara
yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan
hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya. (HR. Muslim).[6]
Moralitas agung ini
diperkuat dalam ayat Al-qur’an surat
Al – baqarah ayat 83 yang berbunyi:
…وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُواْ لِلنَّاسِ
حُسْنا)..البقرة: ٨٣(
Artinya: … berbuat
baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah kata kata
yang baik kepada manusia… (Qs. al-Baqarah : 83)
Orang-orang beriman
juga harus sangat berhati-hati terhadap cara mereka memperlakukan orang tua
mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka
diperlakukan dengan segala kebaikan, Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan
pentingnya menghormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan dari
keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke
dalam sebuah sumur. Tak lama kemudian, beliau ditemukan oleh satu rombongan pedagang
yang membawanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian, karena dakwaan
palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan dibebaskan, hanya
berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara kerajaan Mesir.
5.
Ramah
Tamah Terhadap Sesama
Bagi umat beriman,
yang mengikuti moralitas Al-Qur`an, memuliakan tamu mereka merupakan wujud
kepatuhan pada salah satu perintah Allah serta satu kesempatan untuk
mengaplikasikan moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba beriman
menyambut tamu-tamu mereka dengan penuh takzim.
Al-Qur`an secara
khusus menekankan perhatian agar manusia beriman menunjukkan akhlaq mulia
kepada tamu. Sebelum yang lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan hormat,
cinta, damai dan santun kepada setiap tamu. Sambutan biasanya didasarkan pada
mempersiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang tanpa ungkapan
hormat, cinta, dan damai, tidak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat
berikut, Allah mempertegas betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun
selain itu, seperti firman Allah dalam Al-qur’an surat An-nisaa ayat 86:
. وَإِذَا حُيِّيْتُم
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيباً)النساء: ٨٦(
Artinya: Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah dengan yang serupa.
Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu. (Qs.an-Nisa’: 86)
Perilaku lain yang
disukai berkenaan dengan hal ini adalah menawarkan bantuan tanpa menunda-nunda.
Di atas segalanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa senang tuan rumah
bila tamu merasa bahagia berada di sana .
Sebagaimana disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu "dengan segera"
mengungkap kemauan tulus tuan/nyonya rumah untuk melayani tamunya.
Tingkah laku mulia
lainnya yang dapat dipetik dari ayat-ayat tadi adalah walaupun Nabi Ibrahim
a.s. belum pernah kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya keras untuk melayani
mereka sebaik mungkin dan bersegera menyuguhkan daging bakar "anak sapi
gemuk", sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya, sehat dan
bergizi. Dus, bisa kita tambahkan bahwa selain dari mencukupi layanan-layanan
yang telah disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula mempersiapkan dan
menawarkan makanan kualitas prima, enak, dan segar. Saiful bahri menjelaskan
bahwa pendidikan ketelanan dari keluarga merupakan pendidikan yang memiliki
nilai strategis dalam menunjang pendidikan yang selanjutnya dalam membina
akhlak yang mulia.[7]
0 Comments
Post a Comment