Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pendidikan Islam Pada Zaman Modern di Indonesia


A.    Pendidikan Islam Pada Zaman Modern di Indonesia   

Pendidikan Islam Pada Zaman Modern di Indonesia

Pendidikan  merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan  dalam  proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya.[1]
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan. Hal ini juga tampak pada Bab X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.[2]
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Persoalan krusial di atas nampaknya akan teratasi oleh diberlakukannya UURI No: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang ini keberadaan Pendidikan Agama nampak lebih kuat dibanding pada Undang-undang sebelumnya.
Pada Bab V Pasal 12 ditegaskan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.[3] Kemudian dalam bagian penjelasan pasal 12 dinyatakan bahwa pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan.
Dengan adanya pasal 12 ini maka setiap anak didik akan mendapatkan Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diberikan oleh Guru Agama yang sesuai dengan agamanya, tanpa membedakan tempat atau yayasan pengelolanya, baik negeri ataupun swasta, baik sekolah yang berdasar ciri khas agama tertentu maupun bukan.[4] Sayangnya, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan Undang-undang ini, khususnya pasal 12 ini. Itulah sebabnya, hingga saat ini, pelaksanaan di lapangan masih tetap menjadi persoalan.[5]
Selanjutnya dalam bab 1 pasal (1) undang – undang No. 20 Tahun 2003 di sebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[6] Dalam ketentuan umum Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat (2) juga disebutkan bahwa: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.[7]
Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3) Undang – undang No. 20 Tahun 2003 di sebutkan pula bahwa: sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[8] Selanjutnya, pendidikan Agama merupakan pendidikan yang berciri khas Islam harus diarahkan pada pembinaan dan pengembangan iman, taqwa, akhlak mulia, hati nurani, budi pekerti dan aspek – aspek humaniora lainnya, disamping aspek – aspek kecerdasan dan ketrampilan sehingga terwujud keseimbangan dunia dan akhirat.[9]
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah:[10] Pertama, Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Kedua, Pendidkan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, Ketiga, Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal, Keempat, Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis dan Kelima, Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Implementasi pendidikan agama Islam yang berdasarkan RUUSPN                         (Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional) memiliki sejumlah implikasi, di antaranya:[11]
Pertama, implikasi bagi sekolah, bahwa sekolah dalam menerapkan pendidikan agama seharusnya melakukan rekonstruksi, termasuk penemuan paradigma baru pendidikan agama, baik yang berlaku di sekolah umum, institusi pendidikan agama maupun madrasah. Hal ini secara ideal sangatlah menjanjikan, bahkan potensial dapat membekali bangsa dalam menghadapi tantangan masa depan. Namun tanpa didukung oleh SDM yang handal dan sistem yang mantap, upaya rekonstruksi apapun tak akan berarti.
Kedua, implikasi bagi sekolah Islam, bahwa sekolah yang di bawah yayasan agama Islam perlu lebih meningkatkan kualitas layanan pendidikannya, sehingga sekolah tersebut dapat melayani lebih banyak peserta didik yang beragama Islam. Dengan begitu pendidikan agamanya lebih terjamin. Memang untuk merealisasikannya tidaklah mudah, namun dengan segala keterbatasannya sekolah-sekolah Islam perlu terus memantapkan manajemen, up-grading tenaga kependidikan, dan rekrutmen tenaga baru lebih selektif.
Ketiga, implikasi bagi organsisasi sosial keagamaan, bahwa peserta didik yang belajar di sekolah yang berada di bawah yayasan agama lain perlu terus dibantu pendidikan agamanya oleh individu atau organisasi sosial keagamaan secara proaktif, di samping oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah yang memang bertanggung jawab menfasilitasinya.
Keempat, implikasi bagi pendidik (guru) agama, bahwa untuk menjamin pilihan anak dalam beragama, pendidik (guru) agama perlu mempertimbangkan materi dan cara yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sehingga dapat dihindari adanya konflik internal.
Kelima, implikasi bagi orangtua, bahwa untuk keberhasilan pendidikan agama orangtua bertanggung jawab untuk menjadi uswah hasanah dalam beragama di rumah dan menciptakan lingkungan dan iklim yang kondusif bagi kehidupan beragama anaknya.
Keenam, implikasi bagi manajemen pendidikan agama, bahwa untuk dapat menghindari reduksi pendidikan agama, maka pelaksanaan pendidikan agama tidaklah cukup hanya mengandalkan kegiatan pengajaran agama. Jika kondisi ini tidak dikendalikan, maka tidak menutup kemungkinan dapat terjadi praktek “kemurtadan” secara terselubung, misalnya peserta didik mengambil paket pendidikan agama lainnya hanya untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi.
Ketujuh, implikasi bagi masyarakat, bahwa pendidikan agama akan meraih keberhasilan yang berarti, manakala masyarakat memberikan dukungan positif melalui penciptaan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, masyarakat mampu memerankan dirinya dalam menyaring budaya asing yang destruktif, yang sangat membahayakan moral peserta didik. Jika masyarakat belum mampu memerankan dirinya secara efektif, maka sangatlah sulit kita dapat mengklaim keberhasilan pendidikan agama, karena peserta menghadapi double parameter.
Pendidikan Agama Islam menekankan perkembangan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sebagai warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, sasaran utama pendidikan madrasah adalah menumbuhkan manusia yang dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakatnya yang dilaksanakan dengan memberikan pendidikan yang utuh, dalam arti tidak ada dikotomi antara ilmu kauniah (sains) dan ilmu usul (Agama). Pendidikan madrasah berusaha mengembangkan manusia seutuhnya yang dilaksanakan pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
Dalam penjelasan pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan agama yang diberikan disekolah dimaksudkan untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia sementara itu pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia merupakan salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional.[12]
Pendidikan Agama Islam lahir sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional serta peraturan pemerintah sebagai pelaksanaanya, dijelaskan bahwa pendidikan madrasah khususnya Aliyah (MA) merupakan bagian dari system pendidikan nasional yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu; dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuainnya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian.
Adapan Pendidikan agama adalah identik pengertiannya dengan   pendidikan Islam, yang  dijelaskan oleh Zakiah Daradjat sebagai berikut:
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam itu   adalam pembentukan kepribadian  muslim. Pendidikan agama (pendidikan Islam) adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Karena ajaran Islam  berisikan  tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat,  maka pendidikan  Islam   adalah   pendidikan   individu   dan pendidikan masyarakat.  Semula  orang   yang   bertugas  mendidik adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan cerdik pandailah  sebagai  penerus  tugas  dan kewajiban mereka.[13]
Pendidikan Agama menekankan perkembangan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sebagai warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, sasaran utama pendidikan Agamaadalah menumbuhkan manusia yang dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakatnya yang dilaksanakan dengan memberikan pendidikan yang utuh, dalam arti tidak ada dikotomi antara ilmu kauniah (sains) dan ilmu usul (agama). Pendidikan Agama berusaha mengembangkan manusia seutuhnya yang dilaksanakan pada semua jenjang dan jenis pendidikan.[14]
Pendidikan Agama lahir sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional serta peraturan pemerintah sebagai pelaksanaanya, dijelaskan bahwa pendidikan Agama khususnya Aliyah (MA) merupakan bagian dari system pendidikan nasional yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu; dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuainnya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian.[15] Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada Agama dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Kesempatan ini akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam posisi status diakui sebagai bagian dari sisdiknas. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi Agama yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah. 



[1] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2006), hal. 3.

[2] Undang-Undang Sisdiknas.... , hal. 18.
[3] Undang-Undang Sisdiknas...., hal. 6.

[4] M. Ali Hasan dan Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 2003), hal. 8.

[5] M. Ali Hasan dan Mukti Ali. Kapita..., hal. 9.
[6] Undang-Undang Sisdiknas Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005, (Jakarta: Asa mandiri, 2009 ), hal. 2.

[7] Ibid.,

[8] Ibid, hal. 3.

[9]Malik, Fajar, Pengembangan Pendidikan Islam: Sekilas Telaah Dari Sisi Mekanisme Alokasi Posisional,(Jakarta: IPHI, 2004), hal. 33.

[10] Ibid., hal. 15.

[11] Rochmat Wahab, Rekontruksi Peran Pendidikan Agama, (Yogyakarta: HMI-MPO Komisariat Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 45
[12] Shaleh, Madrasah.....,hal. 262.

[13]Zakiah Daradjat,  Ilmu Pendidikan Islam, 1Bumi Aksara,   Jakarta, 1992, hal. 28.

[14] Ibid, hal. 35.

[15] A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam , (Jakarta: LP3NI, 1998), hal. 44.