Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pendidikan Keimanan

Pendidikan Keimanan

A.    Pendidikan Keimanan
            Pendidikan keimanan berarti melindungi aspek keimanan dari segala hal yang bisa mengotori keindahannya dan menimbulkan penyakit bagi pemiliknya,  sekaligus membangun diri dari berbagai ibadah yang di syariatkan, membersihkannya dari kotoran – kotoran, dan menghiasinya dengan bermacam – macam keutamaan yang beragam.           
            Iman adalah kepercayaan yang terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak (ragu-ragu) serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan aktivitas keseharian. Para ulama sering membahas tentang ini dan mengatakan iman adalah megucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut mendapat perhatian yang pertama dan utama dari orang tua. Memberikan pendidikan ini pada anak merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Pasalnya iman merupakan pilar yang mendasari keislaman seseorang.
Diantara hal yang paling berharga menjadi pelajaran bagi umat Islam dari kisah Ashhabul Kahfi  adalah pendidikan keimanan. Dengan keteguhan dalam keimanan mereka mampu untuk menahan berbagai tekanan dan penyiksaan dari kaum mereka yang ingkar kepada Tuhan. Keteguhan iman mereka Allah jelaskan didalam Al-qur’an surat Al-kahfi ayat 13:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى. )الكهف : ١٣(
Artinya: Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. (Qs. Al-Kahfi : 13 )

            Orang yang teguh Imannya pasti akan Allah teguhkan kedudukannya didunia dan di akhirat. Seperti firman Allah didalam Al-qur’an surat Ibrahim ayat 27:
. يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاءُ)ابراهيم : ٢٧(
Artinya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan          Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa         yang Dia kehendaki.(Qs. Ibrahim: 27)
            Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyAllahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
             “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat   Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha IllAllah) dan bahwa Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan         Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya:           {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan       ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”.     (HR. Al Bukhari dan Imam Muslim)[1]
            Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama hanyalah Allah ta’ala anugerahkan kepada orang beriman yang memiliki ‘ucapan yang teguh’, yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar.
            Maka berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu keutamaan dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak diragukan lagi hanya manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang benar-benar memberikan perhatian besar kepada pemahaman dan pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar, dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (Laa Ilaaha IllAllah), keutamaannya, kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan dengan tauhid.
            Demikian pula perhatian besar Manhaj Salaf terhadap kalimat syahadat (Muhammadur Rasulullah), dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang keindahan dan kesempurnaan Sunnah Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan semua perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.
            Berkata Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat dari ancaman azab Allah ta’ala / orang-orang yang mengikuti manhaj salaf) adalah orang-orang yang (sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon keselamatan dalam keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar, dan ibadah-ibadah lainnya, serta keharusan menjauhi syirik dan fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara Islam.
             Dan mereka adalah orang-orang yang selalu menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadah, tingkah laku dan (semua sisi) kehidupan mereka, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang asing di tengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam yang menggambarkan keadaan mereka:
             “Sesungguhnya islam awalnya datang dalam keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman) akan kembali asing, maka         beruntunglah (akan mendapatkan surga) orang-orang yang asing (karena berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallAllahu ‘alaihi wa sallam)” (HR. Muslim).
            Dalam riwayat lain: “… Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia dalam keadaan rusak”. Berkata Syaikh Al Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad yang shahih.”[2]
            Beriman dengan benar sesuai dengan yang di perintahkan oleh Allah dan rasulnya merupakan sesuatu yang sulit untuk dijalankan. Akan tetapi apabila dilaksanakan dengan keteguhan yang sesuai dengan kebenaran maka Allah akan memberikan balasan yang besar kepadanya seperti dijelaskan dalam firman Allah dalam surat At-taubah ayat 119:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ(التوب:١١٩ (
Artinya: Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama dengan orang-orang yang benar.(Qs. At-taubah: 119)

طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الْأَمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ). محمد :٢١ (
Artinya: Dan andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik untuk mereka sendiri. (Qs.Muhammad: 21)
            Dan hadits dari rasulullah:
عَنْ ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال: إن الصدق يهدي إِلَى البر وإن البر يهدي إِلَى الجنة؛ وإن الرجل ليصدق حتى يكتب عند اللَّه صديقا، وإن الكذب يهدي إِلَى الفجور وإن الفجور يهدي إِلَى النار؛ وإن الرجل ليكذب حتى يكتب عند اللَّه كذابا )مُتَّفّقٌ عَلَيْهِ.(
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya kebenaran - baik yang berupa ucapan atau perbuatan - itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke syurga dan sesungguhnya seseorang itu nescaya melakukan kebenaran sehingga           dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang ahli melakukan kebenaran. Dan sesungguhnya berdusta itu menunjukkan kepada kecurangan dan sesungguhnya kecurangan itu menunjukkan kepada neraka dan sesungguhnya seseorang itu nescaya berdusta sehingga dicatatlah di sisi      Allah sebagai seorang yang ahli berdusta. (HR. Muttafaq 'alaih)

            Sabda Nabi s.a.w. Yuriibuka, boleh dengan difathahkan ya'nya (dan boleh pula didhamahnya, ertinya: "Tinggalkanlah olehmu apa saja yang engkau ragukan perihal boleh atau halalnya sesuatu dan beralihlah kepada yang tidak ada keragu-raguan perihal itu dalam hatimu."[3] Kata Shidqun yang bererti benar itu, maksudnya tidak hanya benar dalam pembicaraannya saja, tetapi juga benar dalam amal perbuatannya. Jadi benar dalam kedua hal itulah yang menurut sabda Nabi s.a.w. dapat menunjukkan ke jalan kebajikan dan kebajikan ini yang menunjukkan ke jalan menuju syurga.
            Secara ringkasnya, seseorang itu baru dapat dikatakan benar, manakala ucapannya sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan, atau dengan kata lain ialah manakala amal perbuatannya itu masih bertentangan dengan ucapannya, tetaplah ia dianggap sebagai manusia yang berdusta atau kadzib. Misalnya seorang yang mengaku beragama Islam, tetapi shalat tidak dilakukan, puasa tidak dikerjakan, bahkan mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak dapat, maka dapatkah orang semacam itu dikatakan benar ucapannya. Tentu tidak dapat. Ia tetap berdusta yang oleh Rasulullah s.a.w. disabdakan bahawa kedustaan itu menunjukkan ke jalan kecurangan dan kecurangan itu menunjukkan ke jalan menuju neraka.



            [1]  Imam Muslim,Shahih Muslim, cet. 1 (Beirut: Daar Ihya-it turats al ‘araby,) no. 2871
               [2] Syaik Muhammad Bin Jamil Zainu, Minhaajul Firqatin Naajiyah(terjemahan: abu shafia), cet, 1, ( Beirut: Media Hidayah, 2003 ), hal. 20
               [3] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (terj, Agus Hasan Basri dan M. Syu’ib), cet 2 (Jakarta: Duta Ilmu, 2004 ), hal. 109.