Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pendidikan Tauhid dalam Perspektif Nurcholish Madjid


A.    Pendidikan Tauhid dalam Perspektif Nurcholish Madjid

Gagasan pemikiran teologis Nurcholish Madjid, pemikiran teologis Islam, antara lain penjelasannya tentang sikap pasrah terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Istilah “sikap pasrah” yang diungkapkannya bertitik tolak dari pandangan kesatuan kenabian dan kesatuan kemanusiaan. Berangkat dari konsep ke-Maha-Esa-an Tuhan[1]. Pendapat ini terdapat dalam kitab suci, setiap agama atau golongan manusia, telah pernah diutus seorang utusan Tuhan yang bertugas menyampaikan ajaran Tuhan Yang Maha Esa atau Tauhid, serta ajaran tentang keharusan manusia hanya menyembah atau tunduk kepada-Nya. Dari keterangan kitab suci tersebut diketahui bahwa prinsip semua ajaran nabi dan rasul yang telah dibangkitkan adalah  Ketuhanan Yang Maha Esa. Kitab suci juga menunjukkan bahwa kebenaran universal adalah tunggal, yang berpokok pangkal pada paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Konsep kesadaran dasar ajaran ini membawa kepada konsep kesatuan dan kerasulan.
Konsep kesamaan pada semua ajaran nabi dan rasul ini, oleh Nurcholish Madjid tidaklah mengejutkan. Sebab, semua yang berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al Haqq). Perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk respon khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya[2]. Perbedaan tersebut tidaklah berdiri pada tataran yang prinsip, karena inti ajaran pada nabi dan rasul adalah sama. Namun demikian, maka universalitas kebenaran yang merupakan inti dari semua ajaran nabi dan rasul, yang berpokok pada paham Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan titik temu atau common flatform dari agama-agama. Namun lebih jauh Nurcholish Madjid mengingatkan, sungguhpun Alquran mengajarkan kemajemukan keagamaan (religious plurality), tidak berarti memandang semua agama adalah sama suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataan agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal yang prinsip tapi memberi pangakuan sebatas masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan, agama mereka masing-masing.
Kaitan dengan misi agama yang dibawa oleh setiap agama wahyu, yang dibebankan kepada penganutnya masing-masing, Nurcholish Madjid menegaskan hal tersebut harus diberlakukan dengan semangat saling menghormati, menghargai dan toleransi. Menurutnya Nabi telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al hanafiyah al samhah, yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, toleransi, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa[3].
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, tauhid adalah kemahaesaan Tuhan sekaligus kemutlakan-Nya dan wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Wujud Tuhanlah wujud yang mutlak dan semua wujud selain wujud Tuhan adalah wujud yang nisbi. Termasuk manusia itu sendiri, betapa pun tinggi derajatnya atau kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, memutlakkan nilai manusia terhadap dirinya sendiri maupun orang lain bertentangan dengan tauhid. Berbuat baik dan beribadah kepada Tuhan tidak akan bisa terjalin dengan baik dengan memutlakkan sesama makhluk, termasuk manusia.
Salah satu kelanjutan logis dari prinsip keesaan Tuhan itu ialah persamaan manusia. Yakni, semua manusia dilihat dari derajatnya, harkatnya, dan martabatnya adalah sama. Tak seorang pun dapat merendahkan atau menjatuhkan derajat, harkat, dan martabat sesama manusia, misalnya dengan memaksakan sesuatu yang ia anggap benar kepada orang lain. Karena keesaan Tuhan adalah kemutlakannya. Ketiadaan sesuatu yang memiliki kebenaran mutlak selain diri-Nya meniscayakan kebenaran yang relatif bagi seluruh makhluknya.
Dari prinsip-prinsip tauhid di atas setiap manusia memiliki hak penuh untuk kebebasan pribadinya dan menentukan kebenarannya tanpa ‘intimidasi’ dari manusia lain. Dengan kebebasan pribadinya, manusia berhak menentukan secara sadar dan bertanggung jawab atas pilihannya yang baik dan yang buruk. Tuhan pun sepenuhnya memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya untuk menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentunya dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia itu sendiri berdasarkan pilihannya.



               [1] Nurcholish Madjid, Islam ...., hal. 427.
               [2] Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, Ulumul Qur’an, (No. 1 vol. IV, 1993), hal. 14.
               [3] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Jakarta: Paramadina, CLS dan Mizan, 2006), hal. 145.