Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengaruh Ahli Hadist Dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri Masa Tabi’in


BAB I
P E N D A H U L U A N

A.    Latar Belakang Masalah
Kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti “sumber air yang jernih untuk diminum.” Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa dan akal.[1]
Syari’ah Islamiyah didefinisikan dengan: “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat."
Sedangkan kata tasyri’ berarti: penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini.

BAB II
P E M B A H A S A N

A.    Faktor – Faktor Perkembangan Tasyri Masa Tabi’in


            Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat.[2]
            Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[3]
            Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan
            Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad.
            Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
              Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan peng¬andaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).[4]
              Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang empat).
              Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
              Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; khowarij sebagai penentang Ali, syi’ah sebagai pendukung ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
              Salah satu langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu melalakukan ekspansi ke Negara barat sehingga dapat menguasai beberapa wilayah dibagian barat.
              Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.

B.    Sumber – Sumber Tasyri Masa Tabi’in

              Pada zaman nabi dan khalifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.[5]
              Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebbagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
              Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, makaperkembangan hokum Islam banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
              Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
              Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.
C.    Pengaruh Ahli Hadist Dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri Masa Tabi’in
              Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.[6]
              Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
              Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka.
D.    Pengaruh Golongan Politik Terhadap Perkembangan Tasyri Masa Tabi’in
            Perpecahan kaum muslimin dalam politik sebagaimana dalam gambaran politik, maka masing masing golongan yaitu Khawarij dan syi’ah mempunyai kesenangan khusus. Pendukung ali mempunyai kecenderungan kepada Ali dan keluarganya dan setiap orang yang ada pada setiap partainya, Ia selalu menghindari perpecahan atas musuh-musuh dan orang-orang yang memeranginya, Khawarij selalu cenderung kepada Abu BAkar, Umar dan orang yang mengikutinya, dan mereka melepaskan diri dari Usmant, ali dan Mu’awiyah serta orang yang mengikuti mereka. Pendukung Mu’awiyah atau jumhur islam lari dari dua golongan itu dan tidak menempatkan timbangan untuk mereka.
              Terpisahnya ulama’ muslimin dalam Negara-negara besar Islam, karena para sahabat-sahabat pindah dari Madinbah ke tempat-tempat tinggal baru pada Negara-negara besra. Dan dikalangan mereka lahirlah sekumpulan Tabi’in besar yang bersekutu dengan mereka dalam berfatwa dan para sahabat mengakui mereka dalam hak persekutuan pada kedudukan ini.
              Tersiarnya riwayat hadist. Penghalang periwayatan hadist telah hilang, sahabat-sahabat yang masih ada setelah Khulafaur Rasyidin, menjadi tempat pemberhentian dalm bepergian dari Negara-negara besar untuk minta fatwa dan belajar. Oleh karena hadist-hadist tidak terkumpul dalam satu negeri bahkan tidak dalam satu buku karena shabat yang berfatwa telah terpisah pisah pada Negara-negara besar, penduduk setiap Negara meriwayatkan dari sahabat yang tinggal disitu, maka pada setiap Negara tidak mempunyai hadist yang tidak ada pada negeri lain.[7]
              Munculnya dusta pada hadist Rasululloh S.A.W. itulah yang ditakutkan oleh Abu Bakar dan Umar.
              Salah satunya adalah Mereka mengetahui adanya kebohongan dalam hadist Rasululloh. Mereka bermacam –macam, sebagiannya ada orang yang membuat buat atas Belau dengan sesuatu yang sama sekali Beliau tidak mensabdakannya seperti oleh orang-orang Zindik dan yang menyerupainya dari orang-orang yang tidak mengharapkan kehormatan agama.[8] Adakalanya menurut sangkaan mereka dan demi agam sseperti bodohnya orang-orang yang beribadah yang membuat hadist tentang keutamaan –keutamaan dan hal-hal yang menggemarkan beribadah. Dan masih banyak lagi sangkaan-sangkaan yang lain. Kumpulan-kumpulan semuanya itu telah nyata, menururt orang yang ahli dalam pekerjaan ini dan ahli ilmu rijal ( rijalul hadist ) .        


















BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.    Kesimpulan

1.     Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam; Adanya partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar, Semakin luasnya wilayah Islam dan Perbedaan hujjah dalam menentukan hukum Islam.
2.     Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijmak para sahabat, dan ijtihad.
3.     Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
B.    Saran – saran
1.     Disarankan kepada umat Islam agar dapat mengkaji sejarah perkembangan hukum Islam mulai zaman Rasulullah sampai sekarang.
2.     Disarankan kepada para mahasiswa untuk dapat memahami hokum Islam dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
3.     Disarankan kepada umat Islam agar dapat menjaga dan melestarikan hukum Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam (Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999
Harjono, Anwar. Hukum Islam (Keluasan dan Keadilan). Jakarta: Bulan Bintang. 1987
Pulungan Suyuthi. Fiqih Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999
Schacht Joseph. Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990), 155
Hasbi Ashidiqi, Pengantar Ilmu Fiqih,Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/pengaruh-pentadwinan-Sunnah-dalam.html diakses pada tanggal 30 Desember 2009


















[1] Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), hal. 28
[2] Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990), hal 20
[3] Muhammad Salam Madkur, Al Madkhal Li al fiqh al Islam ( Cairo : Dar an Nadhah Islamiyah), hal. 56
[4] Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-Nafais,1991), hal. 17
[5] Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam (Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di Indonesia). ( Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999 ), hal. 43
[6] Harjono, Anwar. Hukum Islam (Keluasan dan Keadilan). ( Jakarta: Bulan Bintang. 1987), hal. 48
[7] Ibid, hal 35
[8] Ibid, hal. 77