Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengembangan Anak dalam Cara Berfikir


A.    Pengembangan Anak dalam Cara Berfikir

Pengembangan Anak dalam Cara Berfikir

Pada dasarnya sejak kanak-kanak manusia sudah memiliki kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional, manusia selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kecenderungan manusia memberi arti pada berbagai hal dan kejadian di sekitarnya merupakan indikasi dari kemampuan berpikirnya. Kecenderungan ini dapat kita temukan pada seorang anak kecil yang memandang berbagai benda di sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Perhatikan ia maka kita dapat memperoleh pemahaman tentang bagaimana anak berpikir dan memberi makna pada lingkungannya. Lihat bagaimana mereka menguji coba segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya lalu menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemuinya.
Dengan pemahaman terhadap kondisi kognitif anak dan kemampuan belajar mereka yang tinggi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan untuk berpikir kritis hendaknya sudah diberikan pada anak sejak masih sangat muda, selain untuk mempersiapkan mereka di masa dewasa kelak, juga untuk membiasakan keterbukaan pada berbagai informasi sejak dini. Kurangnya pendidikan berpikir kritis dapat mengarahkan anak-anak kepada kebiasaan melakukan berbagai kegiatan tanpa mengetahui tujuan dan mengapa mereka melakukannya. Kebiasaannya ini sudah sering terlihat pada anak-anak yang kurang bahkan tidak mendapatkan pendidikan berpikir kritis.
Cara belajar dan berpikir seperti itu sama sekali tidak cocok untuk keadaan sekarang terutama bila bangsa kita tidak ingin hanya menjadi follower (pengikut) saja. Menyedihkan bila dalam dunia yang sudah makin menipis batas-batasnya ini Bangsa Indonesia hanya menjadi pelaksana dari perintah-perintah orang-orang bangsa lain, juga di negaranya sendiri, sedangkan pengambilan keputusan dipegang oleh orang dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dipersiapkan sebelumnya. Untuk menghindari kondisi seperti itu, perlu dilakukan usaha untuk mengembangkan kemampuan inisiatif dan berpikir anak yang nantinya mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang mampu mengambil keputusan, berpikir dan menghasilkan produk-produk baru. Usaha yang sesuai dengan masalah dan kondisi saat ini adalah mengajarkan mereka berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu manusia membuat keputusan yang tepat berdasarkan usaha yang cermat, sistematis, logis dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Bukan hanya mengajar kemampuan yang perlu dilakukan tetapi juga mengajar sifat, sikap, nilai dan karakter yang menunjang berpikir kritis. Artinya anak-anak perlu dididik untuk berpikir kritis.[1]
Tujuan pendidikan adalah membentuk anak agar senang dan termotivasi untuk terus belajar seraya bermain. Lebih menekankan pada penyiapan kecerdasan emosi sehingga anak diberi kesempatan untuk berkembang secara alami. Anak lebih senang bermain yang dapat mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan memudahkan anak menguasai pelajaran yang diberikan guru. Anak mengalami proses social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif). Anak bukan sekedar objek tetapi subjek pendidikan[2]. Oleh karena itu guru di sekolah dan orang tua di rumah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbukan rasa senang dan gembira seolah-olah mereka sedang bermain, padahal sebenarnya sedang belajar. Anak-anak tanpa sadar sedang diberikan pelajaran, seperti berhitung, menulis, atau membaca. Anak tertarik dengan angka dan huruf sehingga anak menjadi lebih banyak bertanya dan ingin tahu untuk diajarkan lebih banyak lagi oleh guru atau orang tuanya. Pada diri anak akan tumbuh rasa cinta untuk belajar, tidak perlu dipaksakan dengan perintah atau pelajaran terlalu kaku, membebani, dan membosankan, sehingga hasilnya tidak optimal.
Guru atau orang tua perlu memberikan bekal yang penting bagi anak yaitu menciptakan kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademik[3]. Kematangan emosi sosial anak juga berkorelasi positif terhadap kesehatan fisik anak, yaitu anak mampu mengendalikan stress yang dialaminya, karena jika stress tidak dikendalikan akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit.
Dengan pernilaian tersebut kita mengemukakan beberapa sifat, yang tidak dapat dijajarkan demikian saja, karena masing-masing merupakan aspek orang itu yang saling berlawanansatu sama lainnya.



[1] Suryabrata Sumadi, Psikologi Kepribadian, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 28-29.

[2] Ibid., hal. 30.
[3] Depkominfo., Pentingnya..., hal. 56.