BAB SATU
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang masalah
Praktek
sufi bukanlah monopoli penganut tarekat, karena itu mudah ditemukan dalam
keseharian hidup kaum Muslimin yang awam dan miskin hingga intelektual dan
ulama serta yang kaya di desa atau pusat kota .
Inti ajaran sufi ialah panduan perilaku berhubungan dengan dirinya sendiri,
orang lain, alam dan Allah dengan satu tujuan terpenting pencapaian makrifat.
Maqam inilah yang menurut sebagian pihak disebut tertinggi dalam tradisi sufi
yang mencerminkan kecerdasaan purna yang bukan sekedar merupakan rasional
positifis dan materialis melainkan sekaligus spiritual dan intuitif atau irfan
yang belakangan populer di kalangan akademisi IAIN.
Ajaran
Islam yang tersusun dalam ilmu tauhid, akhlak dan syariat membuka kemungkian
luas setiap Muslim melakukan praktik-praktik sufi walaupun tanpa tarekat
tertentu. Dzikir khafi banyak dilakukan umat di dalam keseharian hidup mereka,
tidak seperti dzikir dalam aturan-aturan tarekat. Kepribadian dan perilaku yang
didasari kesadaran ruhaniah bisa diaktualkan atau dibangkitkan dan
dibangun dalam tradisi Sufi. Banyak orang dan tokoh dalam berbagai kisah
sejarah sufi mengalami ssuatu revolusi kesadaran yang membuat mereka lebih
menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya.”[1]
Perubahan
kesadaran ketuhanan dan hidup sosial tersebut semakin diperlukan dalam situasi
kehidupan dunia global terutama di tengah krisis negeri ini yang tak kunjung
berakhir. Ketaatan formal atas syariah atau akhlak, tidaklah memiliki arti jika
tidak didasari ketaatan batiniah. Pengetahuan hukum fikih yang tidak didasari
kesadaran ketuhanan sering mendorong penafsiran aturan fikih atau hukum publik
sesuai selera sendiri. Hati nurani manusialah yang paling mengerti apa yang
baik dan buruk serta siapa sang diri. Inilah kesadaran makrifat atau kearifan
makrifat, inti dari pencapaian ketuhanan dalam tradisi Sufi.
BAB DUA
P E M B A H A S A N
Fana (الفناء)
artinya hilang, hancur. Fana adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi
agar dapat bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Baqa (البقاء) artinya tetap, terus
hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran
diri untuk mencapai ma’rifat. Seorang sufi untuk ma’rifat harus bisa
menghancurkan diri terlebih dahulu, dan proses penghancuran diri inilah di
dalam tasawuf disebut “Fana” yang diiringi oleh “Baqa.”[2]
Dalam ‘Risalatul Qusyairiyah’ dinyatakan bahwa Fana
adalah menghilangkan sifat-sifat yang tercela dan Baqa artinya mendirikan
sifat-sifat yang terpuji. Barang siapa yang menghilangkan sifat tercela maka
timbullah sifat yang terpuji. Jika sifat tercela menguasai diri maka
tertutuplah sifat yang terpuji bagi seseorang.”[3]
Dari segi bahasa Al-Fana
berarti hilangnya wujud sesuatu, sedangkan Fana menurut kalangan sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain Fana berarti bergantinya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya
sifat-sifat yang tercela.”[4]
B. Pengertian
Takhalli – Tahalli
Takhalli berarti membersihkan
diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah
pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan
kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan
menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan
akan diperoleh seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-qur’an surat Asy- syams ayat 9 –
10:
قَدْ أَفْلَحَ مَن
زَكَّاهَا, وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
Artinya:Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya(Qs.
Asy-Syams: 9-10).
Dalam
rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap :
Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus
hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai
langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap
dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Dunia
dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia.
Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang
sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan,
kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan,
lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya
dari kecintaan pada dunia.”[5]
Tahalli
adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu
Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan
mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan
kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya.
Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan.
Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli,
lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya,
anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir.
Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya
didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam
berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. “[6]
Pada
tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia
yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai
kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang
seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya
sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
C. Pengertian
Tajalli
Tajalli.
Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah
Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam
kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada
tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna
sebagai manusia luhur.”[7]
Syekh
Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan
lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah
mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk
pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah
memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian
manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi,
Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Ma’ruf al-Karkhi, Imam
Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib
Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya.
Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.
BAB TIGA
P E N U T U P
A. Kesimpulan
- Fana
adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu
dengan Tuhan. Sedangkan Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana
dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat.
- Takhalli
‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan
langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi
al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga
berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu
tajalli.
- Tajalli.
Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam
wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata’ala. Ia lebur bersama Allah
dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya.
Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang
sempurna sebagai manusia luhur.
B. Saran - Saran
1. Disarankan
kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu tasawuf.
2. Disarankan
kepada pihak STIT Almuslim agar dapat menyediakan staf pengajar yang ahli
dibidang tasawuf, karena dengan adanya staf pengajar yang ahli dapat
meningkatkan kualitas para mahasiswa.
3. Disarankan
kepada para mahasiswa untuk dapat menelaah islam secara mendalam, supaya dapat
menambah ilmu pengetahuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Dudung, , Kehidupan
Penganut Tarekat Qadiriyah Wa An-Naqsyabandiyah Di Desa Temuroso Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Jawa Tengah, Laporan Penelitian,
Jakarta : Depag
PLPA, 1990.
Amin Syukur, Tasawuf
Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2004.
___________, Menggugat Tasawuf,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1997
---------------, Perubahan Struktur Dan Sosial-Budaya
Penganut Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah di Desa Mlangi Sleman Yogyakarta,
Laporan Penelitian, Fak Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Burckhardt, Titus, , Mengenal
Ajaran Kaum Sufi, Jakarta :
Pusataka Jaya, 1984.
Dasuki (ed), , Ensiklopedi Islam,
Jld 1-5, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,. 1994.
---------------, Revolusi Harapan,
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, , 1999.
Mulkhan, Abdul Munir, Revolusi
Kesadaran Dalam Serat-Serat Sufi, Jakarta :
Serambi, 2003
----------------, Burung Surga
dan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003.
----------------, Ajaran Dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003.
----------------, , Mencari Tuhan
Dan Tujuh Jalan Kebebasan; Sebuah Esei Pemikiran Imam Al Ghazali, Jakarta : Bumi
Aksara,1992.
Nasution, Harun, Filsafat dan
Mistitisme Dalam Islam, , Jakarta :
Bulan Bintang,1978
Trimingham, J.
Spencer,Madzhab Sufi, Majalah Tempo, 22 September 2002
.
0 Comments
Post a Comment