Pengertian Hadits Dha’if
BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber
ajaran Islam yang kedua setelah al Qur'an. Secara teoritis, mempelajari
hadits seharusnya lebih mudah dari pada mempelajari Al-Qur’an karena status
hadits merupakan penjelas bagi Al-Qur’an. Akan tetapi dalam prakteknya,
mempelajari hadits justu lebih sulit karena disebabkan oleh beberapa factor.
Yang pertma adalah karena Hadits
tersebar diberbagai kitab hadits yang sulit kita dapatkan. Yang kedua adalah tidak semua hadits berda pada kualitas
yang sama. Sehingga untuk menggunakan suatu hadits, terlebih dahulu seseorang
harus melakukan penelitian kualitasnya supaya mendapatkan hadits yang memenuhi
kualifikasi maqbul (diterima sebagai hujjah). Oleh karena itu para ulama
dalam menilai sesuatu hadits menggunakan metode kritik sanad dan kritik matan
untuk menguji kesahihan sebuah hadits.
Dengan menggunakan
metode kritik sanad dan matan hadits itulah, para ulama dapat
membedakan sebuah hadits itu dapat diterima riwayatnya (Maqbul) dan ada
juga hadits yang tidak diterima riwayatnya (mardud). Adapun hadits yang
ditema dan dapat diamalkan dalam kehidupan adalah hadits Shahih dan hasan
sedangkan hadits yang tidak diterima dan tidak dapat beramal dengannya adalah
hadits dha’if dan Maudhu’.
Adapun Hadits maqbul
yaitu hadits Shahih Dan Hadits Hasan. Hadits Shahih, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak
ber illat dan tidak syadz[1].
Illat haditsyang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat
menodai keshohihan suatu hadits. Sedangkan Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya
bersambung diriwayatkan oleh Rawi yang adil,tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalan), dan tidak ada syudhudz dan illat yang berat didalamnya[2].
Sedangkan Hadits yang mardud adalah Hadits Dha’if. Hadits Dhaif secara
istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan[3].
Secara umum, ada dua hal pokok yang menyebabkan sebuah
hadits itu dapat dikatakan Dha’if (lemah). Yang pertama adalah
hadits itu dha’if karena terputusnya sanad seperti: Hadits Mu'allaq, Hadits
Mu'addhol,Hadits Munqhothi', Hadits Mudallas, Hadits Mursal, Hadits Mu'annan. sedangkan yang kedua adalah karena
sebab lain selain dari terputusnya sanad seperti cacatnya perawi hadits dan
keganjilan pada matan Hadits, yaitu : Hadits Matruk, Hadits Munkar,
Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Munqolib dan Murokkab,Hadits Mu'allal dan Nazid
fil Mutthashilil Asanid dan lainnya.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Pengertian
Hadits Dha’if.
Menurut bahasa dha’if
berarti ‘ajiz yaitu lemah, sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.[4] Jadi
secara bahasa, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau
hadits yang tidak kuat. Adapun menurut isitlah, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah
hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula
didapati syarat hadits hasan.[5] Para
ulama yang lain mendefinisikan hadits dha’if itu ialah suatu hadits yang
terputus sanadnya, atau diantara perawinya ada yang cacat”.[6]
Ibnu shalah juga mendefiniskan hadits dhaif yaitu:
مَالَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ
الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الحَسَنِ
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat
hasan”.[7]
Sebagian dari para ulama memberika definisi hadits dha’if:
مَالَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ
صِفَاتُ القَبُوْلِ[8]
Artinya: “
Yang tidak terkumpul sifat-sifat yang diterima.
Dari pengertian diatas dapatlah
disimpulkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada
sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata
lain, hadits dha’if merupakan lawan dari hadits maqbul.
B.
Hadits
Dhaif yang Tidak Bersambung Sanad.
Adapun hadits dha’if karena tidak bersambung
sanadnya (tidak muttashil sanad) adalah Hadits Mursal, Hadits
Munqhathi', Hadits Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas.
1.
Hadits
Mursal.
Hadits mursal adalah:
مَا رَفَعَهُ التَّابِعِيُّ
إِلىَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِيْرٍ صَغِرًا كَانَ التَّابِعِيُّ أَوْ كَبِيْرًا.
Artinya: “Hadits yang
dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada rasulullah saw. Baik berupa perkataan
maupun taqrir baik tabi’in itu kecil ataupun besar”.[9]
Menurut
ahli fiqh dan ahli ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya
melepaskannya tanpa menjelaskan shahabat yang ia ambil riwayatnya. Sedangkan
ahli hadits berpendapat bahwa hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan
oleh shahabat kecil seperti ibnu abbas dan lainnya yang tidak mendengar
langsung dari rasulullah. Akan tetapi mereka meriwayatkannya dari shahabat yang
lain. Akan tetapi hadits mursal baik menurut definisi para ahli figh maupun
ahli hadits tetap digolongkan kepada hadits yang tidak bersambung sanandnya.[10]
Hadits mursal dibagi kepada dua katagori;
a.
Hadits Mursal Shahaby yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh shahabat kecil seperti ibnu abbas dan lainnya yang tidak
mendengar langsung dari Rasulullah. Akan tetapi mereka meriwayatkannya dari
shahabat yang lain. Ahli hadits menilai bahwa mursal shahaby adala dihukumi
sebagai hadits maushul (yang bersambung sanad) dan haditsnya dapat
dijadikan sebagai hujjah karena semua shahabat bersifat adil sehingga
kemajhulan mereka tidak berpengaruh negative.[11]
b.
Hadits Mursal Tabi’iy yaitu hadits yang gugur perawinya setelah
tabi’in, seperti salah seorang tabi’in mengatakan, rasulullah bersabda begini
atau berbuat seperti itu. Para ulama beberda pendapat tentang berhukum dengan
hadits mursal ini. Antara lain:
a).
Boleh berhujjah dengan hadits
mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat abu hanifah, imam malek dan
lainnya.
b).
Tidak Boleh berhujjah dengan
hadits mursal secara mutlak. Ini dipegang oleh imam nawawi, imam syafi’I dan
lainnya.
c).
Bias dijadikan sebagai hujjah
apabila ada hadits lain yang menguatkannya. Ini dipegang oleh mayoritas ahli
hadits.[12]
Contoh
hadits mursal: Diriwayatkan oleh imam muslem dalam shahihnya pada kitab
al-butu’ berkata: telah bercerita kepadaku Muhammad bin rafi’, (ia mengatakan)
telah bercerita kepada kami Hujain, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami
laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyib, “bahwa Rasulullah
telah melarang Muzabanah (jual beli dengan cara borongan hingga tidak
diketahui kadar timbangan”.[13]
Sa’id bin Musayyib adalah seorang Tabi’in senior langsung meriwayatkan hadits
dari Rasulullah tanpa menyebutkan para shahabat yang meriwayatkannya. Oleh
karena itu sananadnya menjadi gugur dan hanya sampai pada tabi’in.
2.
Hadits
Munqhathi'.
Hadits munqhathi’ adalah adalah hadits yang gugur rawinya
sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam
keadaan tidak berturut-turut.[14] Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Al-Tsaury dari Abu
Ishak dari Zaid Ibnu Yutsai’ dari Huzaifah Nabi bersabda: “Jika kalian
menguasakan kekhalifahan itu kepada Abu Bakar, Maka ia adalah seorang yang
perkasa lagi dapat dipercaya”.
Sanadnya hadits ini terputus pada dua tempat:
a).
Abdurrazzaq tidak pernah
mendengar dari Al-Tsaury.
b).
Al-tsaury tidak pernah
mendengar dari Abu Ishak, ia hanya meriwayatkannya dari Syuraik dari Abu Ishak.[15]
3.
Hadits Mu’dhal.
Hadits Mu'dhal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya,
dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy
bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.[16]
Contoh: Diriwayatkan oleh Hakim dengan sanad kepada Al-Qa’naby
dari Malik bahwasanya ia menyampaikan bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah
bersabda: “ Seorang hamba sahaya tidak berhak mendapatkan makanan dan pakaian
sesuai kadarnya baik, dan tidak dibebani pekerjaan melainkan apa yang ia mampu
mengerjakannya”. Hadits ini dari Imam Malik dalam kitab Al-Muatha’[17]
Hadits
ini dikatakan Mu’dhal karena gugurnya dua perai dari sanadnya sekaligus yaitu
dari sanadnya tidak disebutkan Muhammad bin Ajlan dan Bapaknya. Para ulama
sepakat bahwa hadits seperti ini adalah Dha’if, lebih buruk statusnya dari
pada mursal dan munqathi’, karena
sanadnya lebih banyak yang terbuang.
4.
Hadits Mu’allaq.
Hadits
Mu’allaq menurut istilah adalah hadits yang gugur perawinya, baik seorang atau
dua orang ataau semuanya pada awal sanad secara berurutan.
Contoh: Bukhari
meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin fadhl dari Abu salamah dari abu
Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Jangan kalian melebih-lebihkan
diantara para Nabi”.[18]
Para
ulama sepakat bahwa hadits Mu’allaq merupakan hadits Dha’if dan tertolak
riwayatnya serta tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat terhadap hadits mu’allaq yang terdapat didalam Kitab Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Terhadap hadits mu’allaq yang terdapat dalam kedua kitab
shahih ini mereka berpendapat:
a).
Jika diriwayatkan dengan
tegas dan jelas yaitu dengan shighat jazm(kata kerja aktif) maka
haditsnya dihukumi shahih dan dapat diterima sebagi hujjah.
b).
Jika diriwayatkan dengan shighat
tamridh (kata kerja pasif) seperti kata: dikatakan, diceritakan, maka tidak
dapat dipandang shahih semuanya. Akan tetapi ada yang shahih, hasan dan dha’if.
Hanya saja tidak terdapat didalamnya hadits dha’if karena keberadaannya dalam
kitab yang dijuluki dengan “Shahih”
5.
Hadits Mudallas.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut
cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Atau hadits yang tiada
disebut didalamnya sanad atau sengaja digugurkan oleh seseorang perawi nama
gurunya sendiri dengan cara member waham, bahwa ia mendengar sendiri secara
langsung dari orang yang disebut namanya itu.[19] Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
Tadlis pada hadits terdiri dari dua jenis, yaitu:
1.
Tadlis
Al-Isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan sesuatu dari orang yang semasa
dengannya yang ia tidak pernah bertemu dengan oaring itu, atau pernah bertemu
tetapi tidak pernah mendengar hadits darinya dengan menyamarkan seakan dia
mendengar langsung darinya.[20]
Contoh: Diriwayatkan
oleh Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin khusyrum dia berkata: “telah
meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhri…, maka dikatakan
kepadanya. “apakah anda telah mendengar langsung dari Az-zuhri.? Dia menjawab,”
tidak dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari az-Zuhri”.
2.
Tadlis
syuyukh yaitu haidts yang dalam sanadnya, perawi menyebut nama syaikh yang ia
mendengar dari padanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur
tentangnya baik berupa nama, gelar, pekerjaan dan asal kabilahnya.[21]
Contoh: Perkataan Abu Bakar bin
Mujahid salah seorang dari Imam ahli Qiraat,”telah menceritakan kepada kami
abdullah bin Abi Abdillah”. Yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abu Dawud
As-Sijistani.
C.
Kehujjahan Hadits Dha’if
Permasalahan tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits
dhaif, merupakan masalah yang telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu.
Sampai saat ini, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenainya. Baik kelompok
yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif secara umum, ataupun yang
melarangnya, masing-masing mempunyai hujjah dan alasannya. Ada juga kelompok
pertengahan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang
membolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan
3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhaif, yaitu:
- Hadits dhaif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhaif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
- Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhaif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
- Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.[22]
Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa digunakan meski hanya
untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri
serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan
apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya
lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka
sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam
Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat
hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua
dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Karim.
Secara ringkas, perbedaan pendapat mengenai hukum
mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
- Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua jenisnya (baik yang tidak terlalu lemah ataupun yang sangat lemah) adalah haram. Diantara hujjah mereka adalah bahwa hadits shahih dan hasan sudah mencukupi untuk menjadi rujukan dalam semua permasalahan manusia, sehingga menjadi sesuatu yang sia-sia menggunakan hadits dha’if yang secar zahir bukan sabdaNabi Muhammad SAW. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Ma’in, Syekh Ahmad Syakir, dan Syekh al-Albani.
- Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih, karena menurut mereka hadits dha’if lebih baik daripada analogi dan pendapat manusia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Abu Dawud, Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarok dll. Dan kalau kita melihat buku-buku fiqh ulama terdahulu, maka akan kita dapati banyak dari mereka yang menggunakan hadits dha’if sebagai dalil, terutama dalam kondisi tersebut. Imam Ahmad berkata: “Hadits dha’if lebih aku sukai daripada pendapat manusia, karena qiyas tidak dipakai kecuali dalam kondisi tidak adanya nash (dalil dari qu’ran atau hadits).”
- Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
a).
Hanya
boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan
masalah aqidah, ibadah, dan halal-haram.
b).
Hadits
dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah. Maka hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh berdusta, atau yang selalu
salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh diamalkan.
c).
Hadits
tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.
d).
Ketika
mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi
Muhammad SAW.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada
bab sebelumnya tentang hadits dha’if, maka pada bab terakhir ini penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
A.
Kesimpulan
1. Hadits
dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada sifat sifat hadit shahih dan
hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan
lawan dari hadits maqbul.
2. Adapun
hadits yang tergolong kedalam dha’if karena tidak bersambung sanadnya (tidak
muttashil sanad) adalah Hadits Mursal, Hadits Munqhathi', Hadits Mu'allaq,
Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas.
3. Berhukum
atau beramal dengan menggunakan hadits dha’if
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. perbedaan pendapat
mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai
berikut:Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua
jenisnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah,
terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih. Pendapat ketiga
memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai
berikut:Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal
ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah,
dan halal-haram. Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah.
Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh
berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh
diamalkan. Hadits tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang
shahih. Ketika mengamalkan hadits
tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad saw.
B. Saran - Saran
1. Disarankan
kepada para mahasiswa untuk dapat mengkaji lebih mendetail masalah hadist,
karena hadist merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an.
2. Disarankan
kepada mahasiswa untuk dapat lebih teliti dalam mengamalkan hadist tanpa
mengetahui asal – usul hadist tersebut, hal ini dikhawatirkan hadist yang
diamalkan tersebut adalah hadist dhai’f.
3. Disarankan
kepada mahasiswa untuk lebih professional dalam pengkajian ulumul hadist, hal
ini demi untuk menjaga keaslian hadist tetap terjaga sepanjang zaman.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amal Qardasy binti
al-Husain, Peranan wanita dalam periwayatan hadits, terj.Ml.Faishal,
Cet. I, Jakarta: Pustaka azzam, 2003.
A.Qadir Hasan, ilmu mushthalah Hadits, Cet. VII, Bandung:
cv. Diponegoro, 1996.
Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits,Surabaya:
Al-Ikhlas, 1981.
Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, Cet. III, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008.
Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: cv. Pustaka
Setia, 2000.
M. ‘Ajaj Al-Khathib,
terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2003
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu hadits, Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999.
[2] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, april 2008), hal. 121.
[3]M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
Agustus 2003), hal. 304.
[5] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.
[6] A.Qadir Hasan, ilmu mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung:
Diponegoro, 1996), hal. 89.
[7] Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1981), hal.93.
[9] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
Agustus 2003), hal.304.
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits,
(Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.
[11] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2003), hal.305.
[13] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.
[14] A.Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung:
cv. Diponegoro, 1996), hal. 95.
[15] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2003), hal. 306.
[17] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.137.
[18] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.133.
[19] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits,
(Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.
[20] M. ‘Ajaj Al-Khathib, terj.
M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal. 307.
[21] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.142.
[22] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: cv.
Pustaka Setia), hal. 162.