Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Hadits Dha’if


BAB I

P E N D A H U L U AN


A.    Latar Belakang Masalah

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur'an. Secara teoritis, mempelajari hadits seharusnya lebih mudah dari pada mempelajari Al-Qur’an karena status hadits merupakan penjelas bagi Al-Qur’an. Akan tetapi dalam prakteknya, mempelajari hadits justu lebih sulit karena disebabkan oleh beberapa factor. Yang pertma adalah karena  Hadits tersebar diberbagai kitab hadits yang sulit kita dapatkan. Yang kedua  adalah tidak semua hadits berda pada kualitas yang sama. Sehingga untuk menggunakan suatu hadits, terlebih dahulu seseorang harus melakukan penelitian kualitasnya supaya mendapatkan hadits yang memenuhi kualifikasi maqbul (diterima sebagai hujjah). Oleh karena itu para ulama dalam menilai sesuatu hadits menggunakan metode kritik sanad dan kritik matan untuk menguji kesahihan sebuah hadits.
Dengan menggunakan metode kritik sanad dan matan hadits itulah, para ulama dapat membedakan sebuah hadits itu dapat diterima riwayatnya (Maqbul) dan ada juga hadits yang tidak diterima riwayatnya (mardud). Adapun hadits yang ditema dan dapat diamalkan dalam kehidupan adalah hadits Shahih dan hasan sedangkan hadits yang tidak diterima dan tidak dapat beramal dengannya adalah hadits dha’if dan Maudhu’.  
Adapun Hadits maqbul yaitu hadits Shahih Dan Hadits Hasan. Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak syadz[1]. Illat haditsyang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits. Sedangkan Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung diriwayatkan oleh Rawi yang adil,tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), dan tidak ada syudhudz dan illat yang berat didalamnya[2]. Sedangkan Hadits yang mardud  adalah Hadits Dha’if. Hadits Dhaif secara istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan[3].
Secara umum,  ada dua hal pokok yang menyebabkan sebuah hadits itu dapat dikatakan Dha’if (lemah). Yang pertama adalah hadits itu dha’if karena terputusnya sanad seperti: Hadits Mu'allaq, Hadits Mu'addhol,Hadits Munqhothi', Hadits Mudallas, Hadits Mursal, Hadits Mu'annan.  sedangkan yang kedua adalah karena sebab lain selain dari terputusnya sanad seperti cacatnya perawi hadits dan keganjilan pada matan Hadits, yaitu : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Munqolib dan Murokkab,Hadits Mu'allal dan Nazid fil Mutthashilil Asanid dan lainnya.

BAB II

P E M B A H A S A N


A.    Pengertian Hadits Dha’if.
Menurut bahasa dha’if berarti ‘ajiz yaitu lemah, sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.[4] Jadi secara bahasa, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Adapun menurut isitlah, yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang didalamnya tidak didapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.[5] Para ulama yang lain mendefinisikan hadits dha’if itu ialah suatu hadits yang terputus sanadnya, atau diantara perawinya ada yang cacat”.[6] Ibnu shalah juga mendefiniskan hadits dhaif yaitu:
مَالَمْ يُجْمَعْ صِفَاتُ الصَحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الحَسَنِ
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.[7]
Sebagian dari para ulama memberika definisi hadits dha’if:
مَالَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَاتُ القَبُوْلِ[8]
Artinya: “ Yang tidak terkumpul sifat-sifat yang diterima.
            Dari pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan lawan dari hadits maqbul.
B.    Hadits Dhaif yang Tidak Bersambung Sanad.
Adapun hadits dha’if karena tidak bersambung sanadnya (tidak muttashil sanad) adalah Hadits Mursal, Hadits Munqhathi', Hadits Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas. 
1.     Hadits Mursal.
Hadits mursal adalah:
مَا رَفَعَهُ التَّابِعِيُّ إِلىَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ صَغِرًا كَانَ التَّابِعِيُّ أَوْ كَبِيْرًا.
Artinya: “Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada rasulullah saw. Baik berupa perkataan maupun taqrir baik tabi’in itu kecil ataupun besar”.[9]
Menurut ahli fiqh dan ahli ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya melepaskannya tanpa menjelaskan shahabat yang ia ambil riwayatnya. Sedangkan ahli hadits berpendapat bahwa hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat kecil seperti ibnu abbas dan lainnya yang tidak mendengar langsung dari rasulullah. Akan tetapi mereka meriwayatkannya dari shahabat yang lain. Akan tetapi hadits mursal baik menurut definisi para ahli figh maupun ahli hadits tetap digolongkan kepada hadits yang tidak bersambung sanandnya.[10]
Hadits mursal dibagi kepada dua katagori;
a.      Hadits Mursal Shahaby yaitu hadits yang diriwayatkan oleh shahabat kecil seperti ibnu abbas dan lainnya yang tidak mendengar langsung dari Rasulullah. Akan tetapi mereka meriwayatkannya dari shahabat yang lain. Ahli hadits menilai bahwa mursal shahaby adala dihukumi sebagai hadits maushul (yang bersambung sanad) dan haditsnya dapat dijadikan sebagai hujjah karena semua shahabat bersifat adil sehingga kemajhulan mereka tidak berpengaruh negative.[11]
b.     Hadits Mursal Tabi’iy  yaitu hadits yang gugur perawinya setelah tabi’in, seperti salah seorang tabi’in mengatakan, rasulullah bersabda begini atau berbuat seperti itu. Para ulama beberda pendapat tentang berhukum dengan hadits mursal ini. Antara lain:
a).   Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat abu hanifah, imam malek dan lainnya.
b).   Tidak Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini dipegang oleh imam nawawi, imam syafi’I dan lainnya.
c).   Bias dijadikan sebagai hujjah apabila ada hadits lain yang menguatkannya. Ini dipegang oleh mayoritas ahli hadits.[12]
Contoh hadits mursal: Diriwayatkan oleh imam muslem dalam shahihnya pada kitab al-butu’ berkata: telah bercerita kepadaku Muhammad bin rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Hujain, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyib, “bahwa Rasulullah telah melarang Muzabanah (jual beli dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar timbangan”.[13] Sa’id bin Musayyib adalah seorang Tabi’in senior langsung meriwayatkan hadits dari Rasulullah tanpa menyebutkan para shahabat yang meriwayatkannya. Oleh karena itu sananadnya menjadi gugur dan hanya sampai pada tabi’in.
2.     Hadits Munqhathi'.
Hadits munqhathi’ adalah adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[14] Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishak dari Zaid Ibnu Yutsai’ dari Huzaifah Nabi bersabda: “Jika kalian menguasakan kekhalifahan itu kepada Abu Bakar, Maka ia adalah seorang yang perkasa lagi dapat dipercaya”.
Sanadnya hadits ini terputus pada dua tempat:
a).   Abdurrazzaq tidak pernah mendengar dari Al-Tsaury.
b).   Al-tsaury tidak pernah mendengar dari Abu Ishak, ia hanya meriwayatkannya dari Syuraik dari Abu Ishak.[15]
3.     Hadits Mu’dhal.
Hadits Mu'dhal : adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'iy, tabi'iy bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum shahaby dan tabi'iy.[16]
Contoh:  Diriwayatkan oleh Hakim dengan sanad kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwasanya ia menyampaikan bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda: “ Seorang hamba sahaya tidak berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya baik, dan tidak dibebani pekerjaan melainkan apa yang ia mampu mengerjakannya”. Hadits ini dari Imam Malik dalam kitab Al-Muatha’[17]
Hadits ini dikatakan Mu’dhal karena gugurnya dua perai dari sanadnya sekaligus yaitu dari sanadnya tidak disebutkan Muhammad bin Ajlan dan Bapaknya. Para ulama sepakat bahwa hadits seperti ini adalah Dha’if, lebih buruk statusnya dari pada  mursal dan munqathi’, karena sanadnya lebih banyak yang terbuang.
4.     Hadits Mu’allaq.
Hadits Mu’allaq menurut istilah adalah hadits yang gugur perawinya, baik seorang atau dua orang ataau semuanya pada awal sanad secara berurutan.
Contoh: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari Abdullah bin fadhl dari Abu salamah dari abu Hurairah dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Jangan kalian melebih-lebihkan diantara para Nabi”.[18]
Para ulama sepakat bahwa hadits Mu’allaq merupakan hadits Dha’if dan tertolak riwayatnya serta tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap hadits mu’allaq yang terdapat didalam Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Terhadap hadits mu’allaq yang terdapat dalam kedua kitab shahih ini mereka berpendapat:
a).   Jika diriwayatkan dengan tegas dan jelas yaitu dengan shighat jazm(kata kerja aktif) maka haditsnya dihukumi shahih dan dapat diterima sebagi hujjah.
b).   Jika diriwayatkan dengan shighat tamridh (kata kerja pasif) seperti kata: dikatakan, diceritakan, maka tidak dapat dipandang shahih semuanya. Akan tetapi ada yang shahih, hasan dan dha’if. Hanya saja tidak terdapat didalamnya hadits dha’if karena keberadaannya dalam kitab yang dijuluki dengan “Shahih”
5.     Hadits Mudallas.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Atau hadits yang tiada disebut didalamnya sanad atau sengaja digugurkan oleh seseorang perawi nama gurunya sendiri dengan cara member waham, bahwa ia mendengar sendiri secara langsung dari orang yang disebut namanya itu.[19]  Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
Tadlis pada hadits terdiri dari dua jenis, yaitu:
1.     Tadlis Al-Isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan sesuatu dari orang yang semasa dengannya yang ia tidak pernah bertemu dengan oaring itu, atau pernah bertemu tetapi tidak pernah mendengar hadits darinya dengan menyamarkan seakan dia mendengar langsung darinya.[20]
Contoh: Diriwayatkan oleh Hakim dengan sanadnya kepada Ali bin khusyrum dia berkata: “telah meriwayatkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Az-Zuhri…, maka dikatakan kepadanya. “apakah anda telah mendengar langsung dari Az-zuhri.? Dia menjawab,” tidak dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari az-Zuhri”.
2.     Tadlis syuyukh yaitu haidts yang dalam sanadnya, perawi menyebut nama syaikh yang ia mendengar dari padanya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur tentangnya baik berupa nama, gelar, pekerjaan dan asal kabilahnya.[21] 
Contoh: Perkataan Abu Bakar bin Mujahid salah seorang dari Imam ahli Qiraat,”telah menceritakan kepada kami abdullah bin Abi Abdillah”. Yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abu Dawud As-Sijistani.
C.    Kehujjahan Hadits Dha’if
Permasalahan tentang boleh tidaknya mengamalkan hadits dhaif, merupakan masalah yang telah menjadi topik perdebatan sejak dahulu. Sampai saat ini, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenainya. Baik kelompok yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif secara umum, ataupun yang melarangnya, masing-masing mempunyai hujjah dan alasannya. Ada juga kelompok pertengahan yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.
Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhaif, yaitu:
  1. Hadits dhaif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhaif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
  2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhaif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan).
  3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.[22]
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha''if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Karim.
Secara ringkas, perbedaan pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:
  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua jenisnya (baik yang tidak terlalu lemah ataupun yang sangat lemah) adalah haram. Diantara hujjah mereka adalah bahwa hadits shahih dan hasan sudah mencukupi untuk menjadi rujukan dalam semua permasalahan manusia, sehingga menjadi sesuatu yang sia-sia menggunakan hadits dha’if yang secar zahir bukan sabdaNabi Muhammad SAW. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm, Ibnu Ma’in, Syekh Ahmad Syakir, dan Syekh al-Albani.
  2. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih, karena menurut mereka hadits dha’if lebih baik daripada analogi dan pendapat manusia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Abu Dawud, Ibnu Mahdi, Ibnul Mubarok dll. Dan kalau kita melihat buku-buku fiqh ulama terdahulu, maka akan kita dapati banyak dari mereka yang menggunakan hadits dha’if sebagai dalil, terutama dalam kondisi tersebut. Imam Ahmad berkata: “Hadits dha’if lebih aku sukai daripada pendapat manusia, karena qiyas tidak dipakai kecuali dalam kondisi tidak adanya nash (dalil dari qu’ran atau hadits).”
  3. Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:
a).   Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah,  dan halal-haram.
b).   Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh diamalkan.
c).   Hadits tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.
d).   Ketika mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
















BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya tentang hadits dha’if, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu:
A.    Kesimpulan
1.     Hadits dha’if adalah hadits yang lemah tidak terkumpul pada sifat sifat hadit shahih dan hasan yang dapat diterima riwayatnya. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan lawan dari hadits maqbul.
2.     Adapun hadits yang tergolong kedalam dha’if karena tidak bersambung sanadnya (tidak muttashil sanad) adalah Hadits Mursal, Hadits Munqhathi', Hadits Mu'allaq, Hadits Mu'dhal, Hadits Mudallas.
3.     Berhukum atau beramal dengan menggunakan hadits dha’if  terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. perbedaan pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif dapat dipaparkan sebagai berikut:Sebagian ulama berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if dengan semua jenisnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dha’if bisa dijadikan hujjah, terutama dalam masalah yang tidak ditemukan hadist shahih. Pendapat ketiga memberikan syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if sebagai berikut:Hanya boleh diamalkan dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal ibadah), bukan masalah aqidah, ibadah,  dan halal-haram. Hadits dha’if tersebut bukan kategori sangat lemah. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi pendusta, atau yang dituduh berdusta, atau yang selalu salah dalam meriwayatkan hadits tidak boleh diamalkan. Hadits tersebut berisi hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil yang shahih.  Ketika mengamalkan hadits tersebut tidak berkeyakinan bahwa bahwa ia adalah sabda Nabi Muhammad saw.
B.    Saran - Saran
1.     Disarankan kepada para mahasiswa untuk dapat mengkaji lebih mendetail masalah hadist, karena hadist merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-qur’an.
2.     Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat lebih teliti dalam mengamalkan hadist tanpa mengetahui asal – usul hadist tersebut, hal ini dikhawatirkan hadist yang diamalkan tersebut adalah hadist dhai’f.
3.     Disarankan kepada mahasiswa untuk lebih professional dalam pengkajian ulumul hadist, hal ini demi untuk menjaga keaslian hadist tetap terjaga sepanjang zaman.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amal Qardasy binti al-Husain, Peranan wanita dalam periwayatan hadits, terj.Ml.Faishal, Cet. I, Jakarta: Pustaka azzam, 2003.

A.Qadir Hasan, ilmu mushthalah Hadits, Cet. VII, Bandung: cv. Diponegoro, 1996.

Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits,Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.

Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008.

Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: cv. Pustaka Setia, 2000.

M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999.






[1] Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, oktober 1981), hal. 34.

[2] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, april 2008), hal. 121.

[3]M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, Agustus 2003), hal. 304.
[4] Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, oktober 1981), hal. 93.

[5] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.

[6] A.Qadir Hasan, ilmu mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung: Diponegoro, 1996), hal. 89.

[7] Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal.93.

               [8] Ibid, hal. 94.
[9] M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, Agustus 2003), hal.304.
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, (Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.

[11] M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal.305.

[12] Ibid., hal. 305.

[13] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.129.

[14] A.Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, cet. VII (Bandung: cv. Diponegoro, 1996), hal. 95.

[15] M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal. 306.

[16] Moh. Anwar Bc.Hk, Ilmu Musthalah hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal.95.

[17] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.137.

[18] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.133.
[19] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, (Semarang: PT. pustaka Rizki putra, 1999), hal. 197.

[20] M. ‘Ajaj Al-Khathib,  terj. M.Qadirun Nur, Ushul Al-Hadits, Cet.III, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003), hal. 307.

[21] Manna’ Al-Qatthan, terj.Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. III (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kaustar, 2008), hal.142.
[22] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadits (Bandung: cv. Pustaka Setia), hal. 162.