BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang masalah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
pengertian hadits menurut bahasa adalah baru atau khabar yang bermakna sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dalam bentuk
berita. Sedangkan menurut istilah hadits merupakan segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat-sifat beliau.
Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu
hadits menurut ulama mutaqaddimin adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan
tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah Saw dari segi
hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya
sanad, dan sebagainya.[1]
Ilmu hadits adalah salah satu ilmu
yang harus kita pelajari untuk mengetahui mana sebenarnya hadits yang murni
berasal dari nabi muhammad Saw, mana hadits yang meragu-ragukan dan mana hadits
yang tidak benar atau hadits yang dipalsukan oleh orang lain.
Jika kita melihat perkembangan ilmu hadits
pada masa sekarang ini, seperti yang telah penulis paparkan di atas, maka
mempelajari ilmu hadits yang berkaitan dengan hadits yang dapat diterima
(hadits maqbul) dan hadits yang tidak dapat diterima atau ditolak (hadits
mardud) merupakan salah satu bagian dalam ilmu hadits yang akan penulis coba
paparkan dalam pembahasan berikutnya dalam makalah ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang akan penulis coba bahas di
dalam makalah ini, diantaranya:
1) Bagaimana
hadits ditinjau dari segi ditolak dan diterimanya?
2) Apa
yang dimaksud dengan hadits maqbul dan hadits mardud?
3) Apa
saja bahagian-bahagian dari hadits maqbul dan hadits mardud?
3. Tujuan Pembahasan
1) Untuk
mendeskripsikan hadits dari segi ditolak dan diterimanya.
2) Untuk
mendeskripsikan hadits maqbul dan hadits mardud berserta dengan ciri-cirinya.
3) Untuk
menguraikan bahagian-bahagian dari hadits maqbul dan hadits mardud berserta
dengan tingkatan-tingkatannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maqbul Dan Mardud
1. Pengertian
hadits maqbul
Maqbul
menurut bahasa adalah “Ma’khudz” yang diambil mushaddaq yang mempunyai
makna yang dibenarkan atau yang diterima. Sebagaimana para ‘uruf hadits telah
menerangkan sebagaimana yang telah diterangkan oleh Hafidh ibn Hajar Al
Asqalani di dalam kitabnya An Nakhbah, ialah:[2]
مَا دَ لَّ دَ لِـيْــلٌ عَلَى رَ
جَحَا نِ ثُبُوْ تِهِ
"yang
ditunjuki oleh sesuatu keterangan, bahwa Nabi Muhammad Saw ada menyabdakannya.
(Yakni adanya lebih berat dari pada tidak adanya)”
Dari uraian di atas dapat penulis
paparkan bahwa hadits maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat untuk
diterimanya riwayat.
2. Pengertian
hadits mardud
Mardud
menurut
bahasa adalah berarti “ yang ditolak”, atau yang “tidak diterima”, sedangkan
menurut istilah adalah:
فَقَدْ تِلْكَ ا لشُّرُ وْ طِ اَ وْ
بَعْضِهاَ
"Hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul”.[3]
Dari
uraian di atas dapat kita pahami bahwa hadits mardud adalah hadits yang
tidak terpenuhi syaratnya baik itu terjadi pada sanadnya atau pada matannya.
Para ulama membagi hadits ini ke dalam dua bagian, yaitu hadits dha’if dan
hadits maudhu’. Oleh sebab itu
hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat semua atau
sebagian syarat diterimanya riwayat itu.
Hadits
mardud ditolak disebabkan cacat pada perawinya, cacat perawinya adalah
pemberian cacat dan cela padanya terhadap ke ‘adalahan nya dan agamanya,
atau pada ke dhabithannya hafalan dan ingatannya.
Sebab-sebab
cacat pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahannya adalah:
-
Dusta
-
Tuduhan berdusta
-
Fasik
-
Bid’ah
-
Al-jahalah
(ketidakjelasan)
Sebab-sebab
cacat pada perawi yang berkaitan dengan kedhabithannya, yaitu:
-
Kesalahan yang
sangat buruk
-
Buruk hafalan
-
Kelalaian
-
Banyaknya waham
-
Menyelisihi para
perawi yang tsiqah.[4]
B. Hadits Maqbul Dan Bahagian-Bahagiannya
Hadits
maqbul itu adalah hadits yang wajib diterima. Demikian kata jumhur ulama
hadits. Dan hadits maqbul dibagi ke dalam empat bagian:
a) Shahih li dzatihi = shahih dengan
sendirinya
Shahih
menurut bahasa adalah lawan dari kata saqiem: yang sehat lawan yang
sakit, dan bemakna haq lawan bathil.
Al
Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits shahih adalah:
مَا رَ وَ اهُ عَدْ لٌ تَا مُّ ا
لضَّبْطِ مُتَّصِلٌ مُسْنَدٌ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَ لآ شَا دَّ
"hadits
yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna keras ingatannya,
besambung-sambung terus sanadnya kepada Nabi Muhammad Saw, tidak ada sesuatu
yang cacat dan tidak bersalahan riwayat itu dengan riwayat orang yang lebih
rajih dari padanya”.[5]
Ringkasan hadits shahih
adalah hadits yang berkumpul padanya lima syarat yaitu:
-
Bersambung-sambung
sanadnya, karenanya hadits munqathi’, mu’dlal, mu’allaq dan mudallas tidak
dikatakan Muttashil.
-
Sejahtera dari keganjilan
(tidak berlawanan dengan riwayat yang lebih rajih).
-
Sejahtera dari
‘illat.
-
Semua perawinya
adil.
-
Semua perawinya dhabith.[6]
Yang dimaksud dengan hadits shahih
li dzatih, yaitu:
مَا ا شْتَمَلَ عَلىَ اَ عْلىَ صِفَا تِ
ا لْقَبُوْ لِ
“Hadits
yang melengkapi setinggi-tingginya sifat yang harus mengharuskan kita
menerimanya”.
Jadi menurut penulis, yang dimaksud
dengan hadits shahih li dzatihi adalah hadits yang shahih yang
memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, yaitu hadits yang telah penulis sebutkan haditsnya difinisinyaa di atas.
b) Shahih lighairihi = shahih karena
selainnya
Yang
dimaksud dengan hadits shahih lighairih adalah:
مَا لَمْ تَتَوَ ا فَرْ فِيْهِ اَ عْلىَ
صِفَا تِ ا لْقَبُوْ لِ
“Yang tidak sempurna
padanya setinggi-tingginya sifat yang mengharuskan kita menerimanya”.
Maka, yang dimaksud dengan hadits shahih
lighairihi adalah hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara
maksimal. Misalnya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas
intelektualnya rendah).[7] Jenis
hadits shahih lighairihi ini adalah jenis hadits yang berada di bawah
hadits shahih li dzatihi. Dengan demikian hadits ini adalah hadits yang
keshahihannya karena ada faktor lain, karena tidak memenuhi syarat secara
maksimal sebagaimana hadits hasan lidzatihi.
c) Hasan li dzatihi = hasan dengan
sendirinya
Hadits
hasan li dzatihi adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah
memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan. Jika kita lihat
dari segi bahasa, hasan berasal dari kata al-husnu (الْحُسْنُ) bermakna al-jamal (ا لْجَمَا لُ) = keindahan, sedangkan menurut istilah Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam An-Nukhbah mengemukakan bahwa:
Hadits
hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang
adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidah
ada keganjilan.[8]
Imam
Tirmidziy dan ulama-ulama setelahnya telah mendefinisikan hadits hasan,
sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Ibnu hajar di atas bahwa hadits hasan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna
kedhabitannya, muttashil, musnad tanpa syadz dan ‘illat itulah yang disebut
shahih lidzatihi, akan tetapi bila kedhabitannya kurang maka itulah disebut
dengan hadits hasan lidzatihi.[9]
Jika
kita melihat, antara hadits hasan dengan hadits shahih hampir sama, akan tetapi
hanya memiliki sedikit perbedaan yaitu pada sisi ke-dhabith-annya. Hadits
shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan
hadits hasan ke-dhabith-an sedikit kurang dari hadits shahih.
d) Hasan lighairihi = hasan karena
selainnya
Lighairihi
artinya: karena yang lainnya, yakni satu hadits hasan menjadi hasan karena
dibantu oleh yang lain atau dari jalan lain. Sedangkan menurut istilah hadits
hasan lighairihi adalah hadits yang dalam sanadnya ada rawi mastur atau
rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang bercampur hafalannya karena
disebabkan usianya, atau rawi yang pernah salah dalam meriwayatkan, lalu
dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya.[10]
Dalam
makna lain, satu hadits yang tidak terlalu lemah kemudian dikuatkan dengan
jalan lain yang seumpama dan sebanding dengannya. Dapat dikatakan hadits hasan lighairihi
apabila dalam hadits tersebut perawi dan sanadnya tidak memiliki sifat-sifat
seperti:
- Yang
tidak ada kefahaman tentang hadits.
- Yang
sering salah dan keliru dalam meriwayatkan.
- Yang
faasiq (yang keluar dari jalan kebenaran).
- Yang
tertuduh suka berdusta dalam hadits.
- Pendusta.
- Pemalsu
hadits.
- Yang
tertuduh memalsu hadits.
- Dan
yang lainnya yang terdapat pada hadits dha’if.
C. Hadits Mardud Dan Bahagian-Bahagiannya
1) Hadits
Dha’if
Hadits
dha’if adalah bagian dari hadits mardud, dari segi bahasa dha’if (ا
لْضَعِيْفُ) berarti
lemah lawan dari al-qawi (ا
لْقَوِ يّ)
yang
berarti kuat. Kelemahan hadits dha’if
karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang
diterima sebagai hujjah. Dalam istilah hadits dha’if adalah:
هُوَ
ماَ لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ ا لْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْ طِ مِنْ شُرُ وْ طِهِ
“hadits dha’if adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi.[11]
Jadi
hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi sebagian atas semua persyaratan
hadits hasan dan hadits shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttashil),
para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, adanya terjadi keganjilan baik
dalam sanad atau matannya dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘illat)
pada sanad dan matan.
Sebab-sebab
kedha’ifan perawi kembali kepada dua sebab pokok. Pertama karena kedha’ifan
karena cacatnya kualitas pribadi (‘adalah) perawi seperti berdusta atau
tertuduh berdusta kepada Rasulullah Saw, berdusta dalam menceritakan
keadaan-keadaan orang lain, kefasikan, tidak diketahuinya status perawi,
berbuat bid’ah yang dapat menjatuhkannya pada kekafiran dan lain-lain.[12]
Dari
segi pengamalannya, ada tiga pendapat di kalangan ulama mengenai penggunaan
hadits dha’if:
-
Hadits
dha’if tidak bisa diamalkan secara
mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam. Dan ini adalah
merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim, berdasarkan kriteria-kriteria
yang dipahami oleh keduanya.
-
Hadits dha’if
bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbahkan kepada Abu Daud dan Imam
Ahmad. Karena keduanya berpendapat bahwa hadits dha’if lebih kuat dari pada
ra’yu perseorangan.
-
Hadits dha’if
bisa digunakan dalam masalah fadha’il , mawa’idz atau yang sejenisnya bila
memenuhi beberapa syarat. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Hajar.[13]
2) Hadits
Maudhu’
Al-maudhu’
adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai
arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al ikhtilaq
(mengada-ada atau membuat-buat); dan at-tarku (ditinggal).[14]
Sedangkan
hadits maudhu’ menurut pengartian istilah adalah hadits yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw akan tetapi secara dibuat-buat dan dusta, padahal sebenarnya
Rasulullah Saw tidak mengatakan, berbuat dan menetapkannya. Sehingga hadits
maudhu’ ini dapat kita pahami merupakan hadits yang dibuat-buat oleh pendusta
yang dia nisbatkan kepada Rasulullah Saw secara paksa dan bohong baik secara
disengaja maupun tidak.
Menurut
Ahmad Amin, bahwa hadits maudhu’ ini telah terjadi pada masa Rasulullah Saw
masih hidup, alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah Saw:
فَمَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدً ا
فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَ هُ مِنَ ا لْنَّا رِ
“bagi siapa secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya
dia mengambil tempat diapi neraka”.
Hadits
tersebut di atas adalah respon Rasullullah Saw dalam menyikapi timbulnya
pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepadanya. Rasulullah Saw sudah dapat
merasakan kemungkinan bahwa akan adanya pemalsuan hadits baik pada masa beliau
maupun pada masa-masa sesudahnya, sehingga hal inilah yang membuat Rasulullah
Saw mengancam kepada orang-orang yang membuat hadits palsu.
Contoh
hadits palsu adalah seperti pada sebuah pernyataan di bawah ini:
مَنِ اتَّخَذَ دِ يْكاً اَ بْيَضَ لَمْ
يَقْرُ بْهُ شَيْطَا نٌ وَ لاَ سِحْرٌ
Artinya: Barang siapa mengambil
(memiliki) ayam jantan bewarna putih, maka setan dan sihir tidak akan mendekati
orang tersebut.[15]
Hadits
di atas dinyatakan palsu karena jika kita lihat dari isi yang terkandung di
dalamnya, ada kemungkinan bahwa hadits di atas bersumber dari sebuah
kepercayaan adat budaya suatu daerah. Dan kita juga dapat melihat bahwa hadits
di atas sangat jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu tentang
kedudukan ayam sebagai suatu benda yang dapat “melindungi” manusia dari
gangguan setan atau kekuatan sihir, sedangkan ajaran Islam jelas-jelas
mengajarkan kepada umat bahwa hanya Allah Swt-lah sebagai tempat kita
berlindung dan memohon pertolongan.
Oleh
karena itu para ulama sepakat menyatakan bahwa hadits maudhu’ adalah
hadits palsu atau hadits yang di buat-buat oleh orang-orang tertentu dengan
tujuan tertentu, hadits maudhu’ ini juga disebut sebagai hadits yang munkar
atau hadits bathil.[16]
D. Ma’mul Bihi Dan Ghairu Ma’mul Bihi
Dalam
hal ini perlu juga kita ketahui bahwa dalam penggunaannya hadits maqbul di bagi
ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Ma’mul bihi (yang diamalkan),
yaitu yang dipergunakan untuk menegakkan sesuatu hukum. Hadits-hadits yang
diamalkan adalah:
a. Semua
hadits muhkam, yaitu hadits yang menurut bahasa adalah yang dikokohkan,
sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diterima yang maknanya tidak
bertentangan dengan hadits lain atau semisalnya.[17]
b. Semua
hadits mukhtalif, menurut bahasa artinya bertentangan, sedangkan menurut
istilah adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnya kelihatan bertentangan
dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi ada kemungkinan untuk
dikompromikan antara keduanya.[18]
c. Hadits
yang nasikh, menurut bahasa adalah menghapus atau menukil, sedangakan
menurut istilah adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syari’ah
terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.
d. Hadits
yang rajih
2. Ghairu ma’mul bihi (yang tidak
diamalkan), yaitu yang tidak dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi
sesuatu hukum syara’. Hadits-hadits yang tiada diamalkan adalah:
a. Hadits
mutawaqqaf fihi (Hadits yang belawanan dengan yang lain yang tidak dapat ditarjihkan
dan tidak dapat diketahui mana yang terdahulu dan yang mana yang kemudian).
b. Hadits
marjuh (hadits yang dilawan yang lebih kuat dari padanya)
c. Hadits
mansukh (hadits yang telah dihapuskan hukumnya).[19]
BAB
III
KESIMPULAN
Pada dasarnya dalam menetapkan suatu
hukum syara’ dalam Islam tidak terlepas dari sumber-sumber hukum Islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu, sebagai sumber hukum Islam yang kedua
para ulama hadits telah bersepakat tentang hadits-hadits apa saja yang dapat
diterima dalam menetapkan hukum syara’ atau hadits-hadits apa saja yang harus
ditolah dalam menetapkan hukum Islam.
Para ulama hadits telah sepakat
bahwa Hadits-hadits yang dapat diterima sebagai sumber dalam menetapkan hukum
adalah hadits-hadits yang mencukupi syarat-syaratnya sebagaimana yang terdapat
pada hadits shahih atau pada hadits hasan. Sedangkan hadits-hadits yang ditolak
adalah hadits-hadits yang tidak mencukupi syarat-syaratnya sebagai hadits shahih
atau hadits hasan sehingga hadits ini dianggap lemah atau disebut dengan hadits
dha’if dan hadits maudhu’.
Hal ini sangat penting kita ketahui,
agar tidak terjadi kerancuan dan keragu-raguan dalam menetapkan suatu hukum
dengan menggunakan hadits yang benar-benar berdasarkan pada hadits yang
bersumber dari Rasulullah Saw langsung. Sehingga hukum Islam itu benar-benar
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits.
Para ulama hadits berpendirian bahwa
agama tidak dapat didasarkan pada dalil-dalil yang meragukan di samping itu
ancaman neraka yang dinyatakan oleh nabi terhadap para pemalsu hadits telah
memperkuat keyakinan ulama bahwa dalam mengemukakan suatu hadits haruslah
cermat, kritis dan hati-hati agar ketika terperosok dalam kesalahan yang fatal.
Maka dari itu, mengetahui sebab hadits itu diterima atau ditolak adalah suatu
hal yang sangat penting menurut penulis.
DAFTAR
PUTAKA
A.
Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: PT Diponegoro, 1996).
Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008).
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar
Study Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul
Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, penerjemah, Muhammad Nur Ahmad Musafiq,
(Jakarta: Gaya Media Pratama,2007).
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
al-Syaukani, Tuhfah Al-Dzakarin, (musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh,
Mesir, 1973).
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadits, Jilid Pertama, (Jakarta: PT Bulan Bintang).
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadits
Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995).
Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).
[1] Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hal. 24
[2] Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid Pertama, (Jakarta:
PT Bulan Bintang), hal. 106.
[3] Munzier
Suparlan, Ilmu Hadits..., hal. 125
[4] Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005), hal. 145
[5] Ibid., hal.
110
[6] Dhabith
adalah para perawinya tetap selalu memperhatikan hafalannya dan memelihara apa
yang dihafalnya, jika dia meriwayatkan dengan hafalannya. Dia memelihara
kitabnya dengan baik, tidak disentuh tangan-tangan kotor, jika ia meriwayatkan
hadits dari catatannya. Karena orang yang mughaffal (orang yang lengah) dan
orang yang sering silap, tidak dapat diterima riwayatnya. Ibid., hal.
110
[7] Muhammad ‘Ajaj
Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, penerjemah. Qadirun
Nur dkk, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 277
[8] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), hal. 159
[9] Muhammad ‘Ajaj
Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits..., hal. 299
[10] A. Qadir
Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: PT Diponegoro, 1996), hal. 73
[11]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadits..., hal. 164
[12] Muhammad ‘Ajaj
Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, penerjemah, Muhammad
Nur Ahmad Musafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), hal. 314
[13] Ibid., hal.
316
[14] Munzier
Suparlan, Ilmu Hadits..., hal. 176
[15] Lihat hadits
Nabi diriwayatkan oleh Ashbab Al Sunnah, Ibnu Hibban, dan Ibnu Abi
Syaibah dalam: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tuhfah
Al-Dzakarin, (musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Mesir, 1973), hal. 26
[16] Muhammad
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hal. 59
[17] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits..., hal. 126
[18] Ibid., hal.
127
[19] Hasbi Ash
Shiddieqy, pokok-pokok ilmu dirayah hadits..., hal. 107
0 Comments
Post a Comment