Pengertian Paradigma dan Pendidikan
BAB II
LANDASAN TEORITIS PARADIGMA PENDIDIKAN
A.
Pengertian Paradigma dan Pendidikan
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan
membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan
istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of
Scientific Revolution. Paradigma di sini diartikan Khun sebagai
kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Pemikir lain seperti Patton mendefinisikan pengertian
paradigma hampir sama dengan Khun, yaitu sebagai “a world view, a
general perspective, a way of breaking down of the complexity of the real world
(suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk
menguraikan kompleksitas dunia nyata).”[1]
Kemudian
Robert Friedrichs mempertegas definisi
tersebut sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain
dikemukakan oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan
yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Akhirnya, saya berharap semoga blog ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua khususnya bagi saya pribadi.[2]
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh
Thomas Kuhn dalam El-Mubaraq Paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka
konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual
framework or model within which a scientist works).[3]
Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular
dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap
absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan
menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun
data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.[4]
Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh
dengan gaya bahasanya sendiri tentang paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma
di sini, seperti yang yang difahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya
realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau mode of inquiry
tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula.
Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang
disebut skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein
melihatnya sebagai cagar bahasa.[5]
Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga
elemen yang meliputi; epistimologi, ontologi, dan metodologi. Epistimologi
mempertanyakan tentang bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan
anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan
mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan.[6]
Dari definisi dan muatan paradigma ini,
mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk
merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan: Pertama, Apa yang harus
dipelajari. Kedua, Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab. Ketiga,
Bagaimana metode untuk menjawabnya. Keempat, Aturan-aturan apa yang
harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim
Elmubarok menyimpulkan bahwa paradigma adalah cara masing-masing orang
memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah
petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita lihat
segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat
penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia.
Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan
mengarahkan manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa
pendidikan sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini
oleh manusia. Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo
Freire dan Ivan Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi
tersebut. Mereka menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini
disakralkan dan diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata
mengandung penindasan[7].
Pendidikan berasal dari kata didik yang
artinya ”Memelihara, memberi latihan, dan pimpinan, kemudian kata didik itu
mendapat awalan pe- akhiran- an sehingga menjadi pendidikan yang artinya perbuatan
mendidik.”[8]
Syaiful Djamarah dalam bukunya “Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga” mengemukakan bahwa ”Pendidikan adalah usaha-usaha untuk membina
pribadi muslim yang terdapat pada pengembangan dari segi spiritual, jasmani,
emosi, intelektual dan sosial.”[9]
Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar
untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik
baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.”[10]
Menurut Ahmad D. Marimba Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.”[11] Menurut Soegarda Poerbakawatja pendidikan ialah semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai usaha menyiapkan agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.”[12]
Adapun definisi pendidikan Menurut Gold Simon: “adalah cara membuat seseorang intelek menjadi orang
intelek yang sesungguhnya dan hati yang menjadi hati yang sesungguhnya, dengan
demikian dapat diindikasikan bahwa pendidikan bahwa pendidikan harus menjadi
alat pencapaian pertumbuhan intelektual dan akhlak yang mulia.[13] Menurut Dr.
M. Budiman, MA : “pendidikan adalah proses segala penanaman nilai-nilai agama
ke dalam diri subjek didik dengan mempengaruhi, membimbing, melatih,
mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik”.[14]
Salah satu
prinsip gerakan reformasi dalam pendidikan adalah “pendidikan diselenggarakan
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan”. Sejalan dengan prinsip di
atas, perubahan mendasar menuju paradigma pendidikan masa depan adalah
pelaksanaan pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah, serta otonomi Perguruan
Tinggi pada tingkat pendidikan tinggi. Pembaharuan sistem pendidikan
juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola oleh
pemerintah dan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, serta perbedaan
pengelolaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.[15]
Pasal 53
ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan
bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, seperti
SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB Negeri tidak harus berbentuk atau di bawah Badan
Hukum Pendidikan (BHP). Sementara Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah seperti, Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan, dan Madrasah
Negeri harus berbentuk atau di bawah BHP. Pada satuan pendidikan dasar dan
menengah, dengan adanya Majelis Wali Amanat (MWA), Komite Sekolah atau Madrasah
ditiadakan, dan fungsinya dijalankan oleh Majelis Wali Amanat (MWA). [16]
[1]http://datastudi.wordpress.com/2010/12/07/paradigma-pendidikan-dalam-perspektif-pendidikan-islam/
[2]Hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 11 Maret 2011.
[4]Kuntowijoyo,
Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi,cet.1, (Bandung: Mizan, 1991) hal. 167-168.
[6]
Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research
(Thousand OAKS: SAGE publications, 1994), hal. 99.
[9] Syaiful Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua
dan Anak dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 78.
[12] Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi
Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 2008) hal. 257.
[16]
Upu, Hamzah, Badan Hukum Pendidikan. Universitas Negeri
Makassar Layak? Makalah yang Disampaikan pada
Kegiatan Intermediate Training Mahasiswa UNM, UNHAS, dan UIN. Makassar.
BALATKOP, 2006.