BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG RIBA
A.
Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa arab, yaitu ”masdar
dari”(بوا- ربا
ربا
– ير) artinya
bertambah, biak, bayaran lebih, keuntungan”[1]
Abul A’la Al-Maududi menjelaskan bahwa ”pokok kata riba adalah (الربا). Termasuk di
dalam al-Qur’ãn (رب) yang
mengandung arti bertambah, berkembang, naik dan meninggi.”[2]
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan
tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam.
Dalam menjelaskan tentang riba, Antonio
menjelaskan panjang lebar tentang pengertian riba dengan mengutip pendapat
jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqh yang di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Badr ad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul
Qari Syarah Shahih Bukhari:
menjelaskankan ”Prinsip utama dalam riba adalah penambahan, menurut syari’at,
riba adalah penamabahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.
Kedua, Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
menjelaskan”Riba adalah
tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan)
yang dibenarkan syari’at atas penambahan tersebut”.
Ketiga, Raghib al-Isfahany:menjelaskan: ”Riba
adalah penambahan atas harta pokok”.
Keempat, Qatādah:menjelaskan: ”Riba adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu
tertentu, apabila telah datang sa’at pembayaran dan sipembeli tidak mampu
membayar, ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan”[3]
Arifin, menjelaskan bahwa, riba adalah
tambahan bayaran (bunga) salah satu dari dua pengganti yang sejenis dengan tak
ada bagi tambahan itu penukarannya, atau dengan kata lain riba adalah membayar
lebih disebabkan lantaran meminta tangguh karena tidak sanggup membayar di
waktu yang telah ditentukan semula.”[4]
Dari pengertian dari para ulama di atas
maka penulis menyimpulkan bahwa riba adalah tambahan bunga dari harta pokok
karena adanya tangguhan atau karena perjanjian yang tidak disyari’atkan yang
membawa kepada kerugian satu pihak dan menguntungkan bagi pihak yang lain yang
bertentangan dengan prinsip Islam.
[1]Wahid
‘AbdussalamBali,Muslim diantara Halal dan Riba, Cet. I,(Jakarta, CV.Cendekia Sentra Muslim, 2002) hal. 8-9.
[2]Abul
A’la Al-Maududi, Riba, terj. Abdullah Sahili , Cet. 3, (Jakarta: Hudaya,
2001), hal. 89.
[3] M.
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Cet. I, (Jakarata:
GIP, 2001), hal. 45.
0 Comments
Post a Comment