Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Peran Wanita Dalam Pendidikan


A.    Peran Wanita Dalam Pendidikan

Tidak bisa dipungkiri perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan ini terutama dalam bidang pendidikan, kendati peran tersebut sering terlupakan. Pepatah mengatakan bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki terdapat rahasia seorang perempuan bukanlah sekedar dongeng belaka. Sejarah pun telah melukiskan kebenaran pepatah tersebut. Keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam berdakwah tidak bisa dilepaskan dengan peran Siti Khadijah yang begitu gigih mendampingi beliau. Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.
Khusus untuk proses kelahiran generasi-generasi penerus bangsa dan agama, perempuan sebenarnya mempunyai peran yang sangat penting. Namun peran tersebut sering terlewatkan dan disia-siakan, baik oleh perempuan itu sendiri maupun oleh lingkungan yang ada. Banyak yang menjadi sebab terjadinya fenomena ini, yang di antaranya adalah budaya patriarki yang masih sangat dijunjung tinggi, di samping kurangnya pengetahuan akan peran penting perempuan dalam pendidikan anak.14
Budaya patriarki tidak hanya eksis di lingkungan kita saja, akan tetapi ia telah mendominasi hampir di seluruh wilayah yang ada di dunia ini. Maka ketika perempuan yang sudah tersadarkan akan menggugat budaya tersebut dengan berupaya untuk menumbangkan budaya tersebut. Gerakan ini pada awalnya hanya sekedar menggugat segala ketidakadilan yang ditimbulkan oleh hegemoni budaya patriarki. Namun dalam perjalanannya, tidak jarang para pelaku gerakan ini sudah melewati garis-garis kewajaran. Mereka para pelaku gerakan yang biasa disebut dengan kaum feminis- akan menggugat segala hal yang dianggap mendeskriditkan perempuan, termasuk agama.
Dalam Islam budaya ini sesungguhnya tidak dikenal. Islam menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dan mereka hanya dibedakan dalam kadar kualitas keimanan mereka masing-masing. Kalaupun terdapat perbedaan, itu hanya dalam segi fungsi sosial yang diperankan oleh masing-masing pihak, perempuan dan laki-laki. Maka apabila terdapat anggapan bahwa laki-lakilah yang mempunyai peran penting dalam rumah tangga –termasuk dalam pendidikan anak, itu merupakan anggapan yang keliru. Bukankan Allah swt. telah mengajarkan kita untuk mendoakan kedua orang tua kita dengan: "Allahumma ighfirlii dzunuubii wa liwaalidayya wa irham humaa kamaa rabbayanii shaghiraa?" Dari do'a tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa antara ayah –laki-laki- dan ibu –perempuan- keduanya mempunyai peran yang sama penting dalam pendidikan seorang anak.
Ibu adalah madrasah pertama bagi pendidikan seorang anak. Apa yang didapatkan oleh seorang anaknya pada masa-masa awalnya akan sangat berpengaruh ketika ia tumbuh besar kelak. Usia anak yang cenderung meniru apa yang dilakukan sangat ditentukan siapa yang ada di sekelingnya tersebut. Di sinilah letak peran penting seorang perempuan dalam pembentukan watak seorang anak, dimana perempuanlah orang yang pertama kali berhubungan kontak dengan sang anak, yaitu dimulai sejak sang anak berada dalam kandungan atau bahkan jauh sebelum itu.15
Ketika anak dalam kandungan, perempuan sebagai ibu –selain juga peran penting ayah- memainkan peran penting untuk pertumbuhan sang anak. Ketika ibu tidak menjaga pola kesehatan fisik dan mentalnya, akibat buruk tidak hanya dirasakan oleh perempuan itu sendiri, anak yang berada di dalam kendungannya pun turut merasakannya. Fenomena ini akan berlanjut hingga sang anak lahir. Kontak fisik dan batin begitu erat terjalin antara ibu dan anak. Maka ketika seorang ibu memperlakukan anak dengan kasar ketika merawat sang anak, maka pada saat itu pula ia telah memberikan contoh perilaku kasar pada sang anak.
Pada masa-masa berikutnya, anak akan melewati sebuah masa emas atau lebih sering disebut dengan golden age. Anak akan dengan mudah mencerap segala informasi yang sampai padanya. Ia akan menjadikan informasi-informasi tersebut melekat dengan kuat dalam ingatannya. Hingga dikatakan: "belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu." Bagi orang tua yang menyadari betul akan istimewanya masa-masa tersebut akan memanfaatkan masa tersebut dengan sebaik-baiknya. Ia akan melakukan pendidikan yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan psikologi anak. Dan bagi orang tua yang menyadari akan pentingnya nilai-nilai agama, penanaman nilai-nilai agama, moral dan akhlak akan dilakukan pada masa-masa emas ini pula.
Kita tentu mengetahui sejarah para ulama kita yang dalam usia yang sangat belia telah menguasai berbagai ilmu agama. Sebut salah satu di antaranya adalah Imam Syafi’i. Selain karomah Allah swt. yang teranugerahkan kepada beliau, peran ibu beliau yang jarang kita kenal- sangat berperan, dimana beliau sudah yatim semenjak kecil. Maka sekali lagi ditekankan, ibu haruslah mengerti dan memahami posisi penting ini dengan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk sebuah "misi suci," membangun generasi-generasi tangguh yang akan menjadi pelaku-pelaku sejarah di masa mendatang. Akan berbeda tentunya bila kita membandingkan perempuan yang mempunyai ilmu dan tidak. Ketika perempuan itu mempunyai ilmu dan memahami hakekat dirinya –sebagai khalifah- maka ia akan selalu berbuat apa yang disebut al Quran sebagai gelar al Quran bagi kaum Muslim, umat yang terbaik yang selalu bermanfaat bagi manusia. Perempuan yang menyadari dan memahami akan tugas ini pun akan melakukan tugas ini dengan posisi di mana ia berada.16
Sayangnya, sedikit sekali orang tua yang menyadari peranan penting mereka –lebih-lebih ibu yang mempunyai kedekatan emosional lebih- dalam pendidikan anak ini. Mereka beranggapan ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, maka tanggung jawab pendidikan sudah lepas dari tangan mereka dan beralih pada guru-guru yang ada di sekolah. Padahal, pada kenyataannya, lebih banyak waktu kebersamaan keluarga bagi anak daripada kebersamaan anak dengan guru-guru mereka.
Terlebih lagi pada ibu. Ibu yang mempunyai peran penting dalam sosialnya, seperti melahirkan, menyusui dan mendidik –di samping ayah- seyogyanya menyadari betul akan peran penting yang dimainkannya. Ia seharusnya memanfaatkan momen-momen penting yang dilalui oleh anak dan mengisinya dengan hal-hal yang berharga, melalui pendidikan yang ia berikan selama kebersamaannya dengan sang anak. Ia juga berpeluang untuk menanamkan nilai-nilai yang bersumber pada agama yang juga sesuai dengan fitrah sang anak. Maka ketika semua ini disadari, akan lahir generasi-generasi tangguh dari keluarga tersebut. Syauqi mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika kau persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi keringatnya.” Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain.
            Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut senang. Kemudian bertambah hari, minggu dan bulan, yang pada wakunya ia terlahir ke muka bumi. Dari enol hari, ia sudah berusaha memahami apa yang diajarkan oleh seorang ibu.
Bila seorang ibu membiasakan anaknya dari kandungan sampai dewasa dengan adab-adab Islam, ia pun akan terbiasa dengan hal itu. Tapi sebaliknya, bila ibu membiasakan dengan adab-adab yang tidak Islami, ia pun akan ikut seperti ibunya. Saat inilah shibgah seorang ibu sangat berpengaruh pada anak. Karena perkembangan otak sangat cepat. Daya ingat masih kuat. Bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :
1.     Pendidikan Akidah.
            Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku ikuti dan dijadikan idola ? Dan seterusnya.
2.     Pendidikan Ibadah.
            Ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam melakukan ibadah harian. Seperi: sholat, puasa, baca Alquran, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Walau mungkin anak tidak paham apa yang dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan mendengar, sehingga takkan terasa berat menjalaninya.
3.      Pendidikan Akhlak.
            Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak dewasa. Dari sini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan. Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.17
Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan."18 Yang paling penting kita kaji adalah Bagaimana cara mengoptimalkan peranan ibu dalam mendidik anak.? Diantara caranya adalah:
1.     Dimulai dari memilih istri shalehah.
            Sebagaimana tadi telah sama2 kita bahas bersama bahwa ibu memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap anak, oleh karenanya langkah pertama adalah memilih istri sholehah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: Sebaik-baiknya wanita adalah wanita quraisy, mereka mampu menunggang unta, sayang terhadap anak, dan perhatian terhadap suami.
2.   Kesiapan suami istri dalam mengemban tanggung jawab orang tua (sebagai ibu dan bapak)
            Para anbiya memahami bahwa orang tua memiliki tanggung jawab untuk membentuk generasi yang sholeh. Sesungguhnya ibu bapak adalah pemimpin anak2nya, karenanya keduanya bertanggung jawab atas segala yang berlaku di keluarga tersebut, Rasulullah bersabda: Barang siapa yang memimpin, kemudian ia tidak menasehati yang dipimpinnya ia tidak akan masuk surga. Adapaun bagaimana caranya para orang tua menyampaikan nasehat dan petunjuk kepada anak2nya tentu saja dengan penuh kasih sayang, lemah lembut dan hikmah. 3.   Menjaga keharmonisan keluarga,dan kemesraan antara pasangan
            Keharmonisan keluarga dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Seorang istri yang hubungan dengan suaminya kurang baik akan mendorong ia untuk membuat anaknya tidak menghormati bapaknya. Tentu saja hal ini tidak baik dalam proses tumbuh kembng anak yang memerlukan figur bapak yang bisa ia teladani. Karenanya Islam begitu perhatian terhadap hubungan baik antar suami istri. Al Qur'an dan hadits dengan gamblang menjelaskan hak dan kewajiban suami istri agar tercipta rumah tangga sakinah yang dihiasi mawaddah warahmah.19









               14 Murtadha Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 31
               15 Muhammad Utsman, Sulitnya Berumah Tangga, (Jakarta: GIP, 2007), hal. 209
               16 Fasli Jalal,  Reformasi Pendidikan ,( Yogyakarta: Aditia. 2001 ), hal. 22

               17 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995 ), hal : 243

18 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy, ( Kairo: Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986 ), hal.79.

19 Muhammad Ali Murshafi, Mendidik Anak Agar Cerdas dan Berbakti. Cet 1, (Surakarta: Cinta 2009). hal. 105