Perjalanan Dakwah Ashhabul Kahfi
Dalam
kisah Ashhabul Kahfi yang
dijelaskan secara gamblang oleh Al-qur’an tentang bagaimana perjuangan mereka
mempertahankan keyakinan akan eksistentsi Tuhannya mendapat tantangan berat
dari Penguasa yang berusaha terus untuk memburu dan melenyapkannya.
Kisah pertama merujuk pada tafsir Al-qur’an dalam Surat Al-Kahfi. Dalam kisah singkat
yang sering kita dengar bahwa Ashhabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang
hidup pada masa Raja Diqyanus, beberapa generasi sebelum diutusnya Nabi Isa
a.s. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja
yang dzalim. Pada saat itu kerajaan Roma membina Liga Decapolis yang berpusat
di Philadelphia (kini dikenali sebagai Amman ) di mana Raja
Daqyanus atau Decius memerintah pada ketika itu. Ketika sang raja mengetahui
ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang
raja. Tapi Ashhabul Kahfi menolak
dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja,
sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat
persembunyian. Dengan izin Allah mereka kemudian
‘ditidurkan’ selama 309 tahun di dalam gua, dan ‘dibangkitkan kembali’ ketika
masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang
beriman kepada Allah SWT.[1]
Kisah kedua dari kajian arkeologis temuan yang diperoleh adalah gua-gua
berlorong panjang yang terdapat di wilayah Jordania diperkirakan ada sejak 300
tahun sebelum Masehi. Salah satu telaah tentang Gua Ashhabul Kahfi adalah tinggalan sejarah dan arkeologi bahwa
gua yang terdapat di Abu Alanda ,
Jordan
merupakan gua di mana berlakunya peristiwa tersebut.
1.
Terdapat
tulisan pada lengkungan pintu di dinding sebelah Timur yang menyatakan ‘Masjid
diperbaharui pada tahun 117 hijrah yang merujuk kepada zaman Hisham bin Abdul
Malik bin Marwan. Ini membuktikan bahwa ketika era kerajaan Umawiah mereka
sudah memperharui masjid yang sebelum itu menjadi rumah ibadat nasrani. Kesan
yang boleh dilihat ialah binaan mihrab (petunjuk arah kiblat) yang terdapat di
atas gua tersebut.
2.
Tulisan
khat Kufi turut ditemui yang mengisyaratkan bahwa masjid kedua di Ashhabul
Kahfi diperbaharui pada zaman
Khomarumiah bin Ahmad Tholun dari kerajaan Abasiah. Masjid kedua yang
dimaksudkan ialah masjid yang dikelola berhadapan dengan gua Ashhabul Kahfi
setelah masjid pertama diwujudkan di
atas gua ketika zaman Umawiah.
3.
Kesan
Nawawis di dalam gua. Nawawis di dalam Mu’jam Wasit memberi arti kubur orang
nasrani yang diletakkan mayat di dalamnya. [2]
Pada Nawawis tersebut terdapat bintang segi lapan yang membuktikan tanda zaman
kerajaan Rum-Byzantium pada kurun ke-3 Masehi. Menjadi adat pada ketika itu,
mayat-mayat nasrani akan dikuburkan di dalam bekas batu.
4.
Penemuan
barangan tembikar, uang (coin) tembaga dan perak, lampu dari pelbagai zaman
(Umawiah, Abasiah, Turki Uthmaniyyah) di dalam gua tersebut dan sekitarnya. Ia
membawa maksud bahwa tempat itu telah dipelihara oleh pelbagai zaman yang
berlalu.
5.
Al-Waqidi
di dalam kitabnya Futuhat Sham telah menulis bahwa beliau bersama yang lain
telah berhenti di Ain Ma’ berdekatan dengan gua Ashhabul Kahfi . Mereka
berhenti di Ain Ma’ tersebut berwudlu, solat dan tidur di situ sebelum
meneruskan perjalanan keesokkan harinya ke tanah Palestin. Ain Ma’ terletak 70
meter dari gua Ashhabul Kahfi .
6.
Pokok
zaitun berusia ratusan tahun tumbuh berhadapan gua. Pokok tersebut telah mati
dan kesan batang pokok zaitun yang berusia ratusan tahun itu kini ditempatkan
di dalam museum mini di dalam gua.
Telaah di atas
menggambarkan bahwa ‘komunitas’ yang hidup di dalam gua telah telah mampu
survive untuk kurun waktu tertentu dengan cara mereka hidup layaknya kehidupan
suatu masyarakat. Komunitas penghuni gua merupakan masyarakat yang taat akan
keyakinannya terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka harus
mempertahankan keyakinan tersebut atas penindasan Penguasa yang memburu dan
membunuhnya.
Kisah ketiga dalam telaah komprehensif yang mempunyai sudut pandang berbeda,
kajian yang dilakukan oleh Hazrat Maulana Nuruddin menerangkan bahwa Ashhabul
Kahfi adalah satu golongan jemaat
yang tauhid dari permulaan kaum Masehi. Mereka takut dari dakwah syirik yang
dipaksakan sehingga mereka merantau ke negeri lain. Mereka tinggal disana untuk
beberapa waktu lamanya dengan tidak berhubungan dengan masyarakat lain atau
tidak memperkenalkan diri. Pada saatnya, akhirnya Allah Ta’ala memberi kemajuan
kepada komunitas ini dan berkembanglah mereka ke seluruh dunia. Buah pikiran
ini menginspirasi telaah lanjutan yang dikembangkan oleh Hazrat Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad tentang Ashhabul Kahfi . Selanjutnya beliau
merujuk berbagai sumber-sumber literatur baik dari literatur para mufasirin di
kalangan Islam, buku-buku Masehi dan referensi sejarah Roma.
Ahli sejarah yang
masyhur, Ibnu Isak menceritakan bahwa pada suatu masa kalangan Masehi terjadi syirik
yang ditandai oleh menyembah berhala dan dihadapan patung-patung mulai
dipersembahkan korban-korban. Sebagian dari antara mereka yang masih berpegang
pada tauhid merasa hal ini tidaklah pantas. Pada saat itu seorang raja yang
berkuasa bernama Diqyanus atau sebagian menyebutnya Daqyus melakukan banyak
pembunuhan kepada orang-orang Masehi yang berpegang tauhid. Beberapa pemuda
bangsawan yang berasal dari Afyus yang tauhidpun ditangkap dan dihadapkan Sang
Raja. Disaat diberi waktu berpikir untuk melepas sikap tauhidnya, mereka
memperoleh kesempatan untuk lari dan bersembunyi. Mereka bersembunyi didalam
gua dan mereka terus berdo’a mohon pertolongan yang khas dari Allah Ta’ala.
Selanjutnya kisah itu dijelaskan sebagaimana tafsir Al-qur’an dalam Surat Al-Kahfi.[3]
Kisah lain seperti
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa beliau berkata “Aku bersama Amir
Mu’awiyah pernah pergi berjihad melawan bangsa Rum. Dalam perjalanan ini kami
melihat bekas-bekas gua Ashhabul Kahfi , dan Amir Mu’awiyah menyuruh
beberapa orang untuk melihat ke dalam. Tetapi secara kebetulan berhembus angin
yang kencang sehingga mereka tidak dapat masuk kedalamnya.[4].
Dalam beberapa
riwayat pada kitab-kitab tafsir antara lain dijelaskan Allah Ta’ala menidurkan
mereka dalam waktu yang amat panjang, kemudian mereka dibangunkan. Salah
seorang diantara mereka pergi ke kota
untuk membeli kebutuhan makanan. Dan ketika si Pemuda memberikan uang kepada si
Penjual maka si Penjual terheran-heran melihat uang yang begitu kuno. Cerita si
Pemuda yang membawa uang kuno menyebar ke seluruh negeri dan akhirnya rajapun
mendengarnya. Akhirnya raja mendengar cerita dari Pemuda itu dan kemudian
mereka ke gua untuk bertemu dengan Ashhabul Kahfi . Tak lama susudah
mereka bertemu, para pemudapun berbaring dan akhirnya meninggal dunia.[5]
Allamah Abu Hayyan
menulis dalam Bahr Muhith bahwa di Spanyol ada sebuah tempat bernama Lusha,
disana ada sebuah gua yang dikatakan orang didalamnya terdapat tulang-belulang Ashhabul
Kahfi beserta anjing mereka. Ibnu
Abi ‘Athiyah berkata “saya sendiri pernah melihat tempat itu, dan sejak empat, lima ratus tahun lamanya
mayat-mayat mereka terhampar disana”[6]
Setelah begitu
banyak referensi dijelajahi Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam
Tafsir Kabir Al-qur’an Surah Al-Kahfi menjelaskan bahwa kaum Masehi pada
permulaannya tidaklah musyrik. Hal ini tampak bahwa terdapat sejumlah gua-gua
tempat mereka berkehidupan untuk bersembunyi didalamnya karena menghindarkan
diri dari penindasan oleh Penguasa Roma. Didalam gua-gua tersebut terdapat
peninggalan artefak yang melukiskan kehidupan mereka. Dari peninggalan artefak
tersebut diketahui bahwa mereka mempercayai akan kedatangannya Al-Masih sebagai
seorang nabi yang akan menunjukkan jalan keselamatan kepada mereka. Al-Masih
hanya digambarkan sebagai seorang penggembala, bukan sebagai anak Tuhan. Untuk
ibu beliaupun (Siti Maryam) tidak ada tanda yang luar biasa. Rupanya mereka
tidak meninggalkan kitab Taurat dan terhadap Al-Masih mereka hanya memandang
sebagai Nabi dan sebagai penggembala rohani. Penganiayaan terhadap mereka
berlangsung berabad-abad lamanya, sehingga komunitas ini benar-benar
berkehidupan didalam gua dengan sedikit cahaya. Akhirnya setelah tiga ratus
tahun lamanya dalam sebuah riwayat, barulah penderitaan kaum Masehi berakhir
ketika Roma dipimpin seorang raja bernama Theodecuis. Dizaman Theodecuis,
kerajaan Roma bagian Asia , agama Masehi
menjadi berkembang dengan pesat, dan komunitas Masehipun telah merasa aman.
Secara singkat merujuk riwayat yang terdapat pada the Catacombs of Rome bahwa
penganiayaan terhadap kaum Masehi secara sendiri-sendiri memang sudah ada sejak
disalibnya Nabi Isa a.s. namun secara kelembagaan penganiayaan baru dimulai
sejak jaman Raja Nero yang satu jaman dengan kaum Hawariyin (54 s/d 68 Masehi).
Penindasan terus berlangsung lama sampai dengan jaman Raja Galys yang sebelum
kematiannya tahun 311 Masehi, ia menghapuskan undang-undang penganiayaan
terhadap kaum Masehi. Konstantin raja Roma memeluk agama Mashehi (337 Masehi)
dan Theodecuis ember pencerahan dan mereka berkembang. Dari keterangan tersebut
dapat disimpulkan sejak kejadian Herodecuis di Palestina dan di jaman Nero
hingga tahun 311 Masehi kaum masehi di Roma mengalami penderitaan yang hebat
sekali. Dan dimasa penganiayaan itu mereka lari bersembunyi mencari
perlindungan ke dalam gua-gua.
Dari kajian dan
berbagai rujukkan dengan mudah dapat dimengerti bahwa Ashhabul Kahfi adalah orang-orang abad permulaan Roma yang
beragama Masehi. Mereka hidupnya teraniaya karena perbedaan prinsip ketuhanan
yang mereka anut dengan penguasa. Diawali jaman Nero dan dijaman Decuis
penganiayaan menjadi-jadi dan akhirnya dijaman Galys mereka diampuni. Kemudian
dizaman Konstantin penganiayaan itu dilarang dengan undang-undang dan puncak
perkembangan dijaman Thedodecuis mereka mendapat kemajuan pesat.[7]
Keseluruhan kisah Ashhabul
Kahfi dari para mufasirin dan
sejumlah referensi diatas, maka semuanya menunjukkan kebenaran tentang
keberadaan Ashhabul Kahfi . Perbedaan yang tajam adalah pada pemahaman
tentang mereka adalah hanya pada satu komunitas belaka atau justru terjadi pada
banyak komunitas dan berlangsung dalam periode waktu yang panjang pula. Didalam
situs arkeologis tampaknya tipologi gua-gua perpenghuni tersebar dibeberapa
wilayah seperti: Jordania, Turki, Spanyol dan Roma. Periodisasi waktu
berlangsungnya peristiwa penindasan terjadi dalam kurun yang panjang, sejak
sebelum diutusnya Nabi Isa a.s. sampai dengan penindasan terhadap kaum
Hawariyin (sahabat Isa a.s.) dan berakhir pada jaman Konstantin 337 M. Khusus
untuk kisah yang terjadi di wilayah Roma.
Benjamin Scott dalam
bukunya ‘the Catacombs at Rome ’
menulis sebagai berikut “menurut dugaan saya pada jaman itu (ketika Paulus
pergi ke Roma) orang-orang Masehi (yang tauhid) untuk menghidarkan diri dari
kemarahan masyarakat (umum) dan dari penindasan orang-orang Yahudi serta dari
penganiayaan Pemerintah Roma, pergi berlindung ke gua-gua”. Penulis menamai
kamar-kamar dibawah tanah itu dengan kata cave yang berasal dari bahasa Arab Kahf
.
Dalam kisah
selanjutnya Innahum Fityatun Aamanu Birabbihim artinya ‘mereka itu
adalah beberapa pemuda yang sungguh-sungguh iman kepada Tuhan mereka’ yang
dapat dimaknai sebagai sebuah jemaat yang terdiri dari beberapa/banyak
komunitas atau orang-orang berbangsa yang pemurah (fatan artinya pemurah, orang
baik-baik, bangsawan, bersedia rugi untuk orang lain, dan atau pemuda). Allah
Ta’ala berjanji akan Wazidnaahum Hudan artinya Kami tambahi mereka
dengan petunjuk, karena mereka begitu banyak pengorbanannya, bangsawan dan
orang-orang baik yang teguh dengan keimanannya. Maka pada masa 300 tahun itulah
pengorbanan yang dipersembahkan Ashhabul Kahfi kepada Tuhannya, atau semua golongan yang
mampu melaksanakan pengorbanan yang begitu banyak kepada Tuhannya dapat dinilai
setaraf Ashhabul Kahfi .
Meskipun raja
(Pemerintah Otoriter), masyarakat (Nasrani) dan orang-orang cendekia keras
hatinya (Yahudi) memusuhi mereka, namun mereka tetap sabar dan dianugrahi oleh Allah
Ta’ala keteguhan hati yang luar biasa, serta tidak mundur setapakpun dan tetap
saja berdiri atas kepercayaan mereka sambil bertabligh sedapat mungkin.
Sebagaimana dijelaskan pada ayat berikutnya dalam Surah Al-Kahfi ayat 14:
وَرَبَطْنَا عَلَى
قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ
السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَ مِن دُونِهِ إِلَهاً لَقَدْ قُلْنَا إِذاً شَطَطاً)
الكهف:١٤(
Artinya: Dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka bangun hijrah
dari kampungnya berdiri dan berkata ‘Tuhan kita adalah Rabb seluruh langit dan
bumi; sama sekali tidak akan menyeru tuhan lain selain daripada-Nya; sebab jika
kita berbuat demikian (menyeru tuhan lain), niscaya kita mengucapkan sesuatu
yang jauh dari kebenaran.
(Qs. Al-kahfi :14)
Dalam ayat diatas,
kalimat “kami teguhkan hati mereka” yaitu Allah menguatkan dan mengokohkan hati
mereka untuk memerangi fitnah, menghadapi ganasnya cobaan, dan melawan
gelombang kekufuran yang dahsyat beserta seluruh alirannya yang menghanyutkan,
dimana kendali dan benderanya dipegang oleh seorang raja beserta para
pengawalnya dan orang-orang yang menyerukan kekufuran . lalu Allah memberikan
ilham kepada pemuda Al-kahfi tersebut agar mereka bersabar dan teguh
dalam menghadapi raja yang dhalim dari kejahatan mereka.
[1] Ibnu Katsir; Tafsir
al-Quran al-’Adzim (Terjemahan),Cet 5, Jilid:3,( Bandung : Pustaka Azzam, , 2004 ), hal.67-71
[2] Mujammak Lughah Arabiyah, Mu’jam Al-Washit, Cet 4 ( Mesir:
Maktabah Syuruk Dauliyyah, 2004 ) hal: 962
[3] Asayyid Mahmud
Syihabuddin Al-Alusi, Rauhul Ma’ani fi tafsiir Al-qur’an al-‘adhiim Wa
Sab’ul Mastan, Cet. 4, Jilid 5,( Beirut : Daar Al-Ihya’
At-Turats Al-Arabi, 1405 H), hal. 16
[4] Jalaluddin As-Sayuti, Darr Mantsur
Fi Tafsiir Bil Ma’tsuur, Jilid 4 ( Damaskus: Daarul Al-Fikr,1413 H),hal, 22
[5] Ibnu
Katsir; Tafsir Al-Quran Al-’Adzim (Terjemahan), Cet 5, jilid:3, ( Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,2004)
hal.67-71
[6]. Abu Hayyan, Muhammad Bin Yusuf
Al-Andalusi, Bahr Muhith, Cet.2, Jilid 6, (Beirut :
Daarul Ihyaa’ Al-‘Arabi, 1411 H), hal. 102.
[7]. Al-imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Kabir, (Damaskus:
Daar Al-Fikr 1405 H ), hal 32-43.
0 Comments
Post a Comment