BAB III
PENDIDIKAN ISLAM DI ERA REFORMASI DI INDONESIA
A. Reformasi
Pendidikan Islam di Indonesia
Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada masa
krisis ini dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup
berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi di bidang
pendidikan. Pada era reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan
perubahan dalam semua aspek kehidupan. Tilaar mengatakan “masyarakat Indonesia
kini sedang berada dalam masa reformasi”[1]. “Era
reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam
semua aspek kehidupannya. Euforia domokrasi sedang marak dalam masyarakat
Indonesia”[2].
Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan,
konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain
berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang
dicita-citakan di masa depan. Upaya untuk membangun suatu masyarakat, bukan
perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan persoalan budaya dan
sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai terobosan dalam penyusunan konsep,
serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan suatu paradigma-paradigma
baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf
Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan
menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi
kegagalan[3].
Berbicara masalah reformasi pendidikan, banyak substansi
yang harus direnungkan dan tidak sedikit pula persoalan yang membutuhkan
jawaban. Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam
upaya membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi
dari suatu perubahan, karena pendidikan sebagai sarana terbaik yang didisain
untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan
ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka.[4]
Milenium ketiga baru saja kita masuki. Tentu saja bekal
hidup pada milenium tersebut harus berbeda dengan bekal hidup kita pada
milenium kedua, khususnya pada abad ke -19-20. Kehidupan pada milenium ketiga
benar -benar berada pada tingkat persaingan global yang sangat ketat. Artinya,
siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan kualitas global, akan tersingkir
secara alami dengan sendirinya.[5]
Salah satu paradigma yang berbeda adalah paradigma di dalam aspek stabilitas
dan predikbilitas, bila pada milenium kedua orang selalu berfikir bahwa segala
sesuatu itu stabil dan bisa diprediksi, pada milenium ketiga semakin sulit
untuk melihat adanya stabilitas.[6]
Untuk menghadapi kondisi milineum ketiga yang semakin
tidak bisa diprediksi tersebut, diperlukan kesipan sikap mental manusia untuk
menghadapi perubahan yang sangat cepat. Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif,
hanya menunggu dan menghindari setiap persoalan atau resiko demi resiko, dengan
mempertahankan status. Tepai pada era milineum ketiga, orang lebih bersifat
dengan memiliki toleransi atas ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan
dengan tingkat dinamika yang tinggi.
Pertanyaannya, sudahkan kita siap untuk menghadapi
perubahan tersebut? Kelihatannya belum. Itulah sebabnya perlu selalu melakukan
pembaruan dalam bidang pendidikan Islam dari waktu ke waktu tanpa henti.
Nampaknya, kita tidak boleh lagi selalu membanggakan keberhasilan pendidikan
pada masa lampau (bukan melupakan sejarah), karena tanpa mengkaji ulang
relevansi keberhasilan itu dengan setting kehidupan global masa kini dan masa
yang akan datang.[7]
Maka, untuk mewujudkan reformasi yang sedangkan digulirkan sekarang ini,
nampaknya perlu kita memperhatikan metafora John F.Kennedy yang dikutip oleh
Colling yaitu Change is a way of
life. Those who look to the past or present will miss the future. Metafora
tersebut menurut Suyanto, pantas diterjemahkan dalam kepentingan reformasi
pendidikan kita. Artinya, dalam melakukan reformasi pendidikan kita harus tetap
berpegang pada tantangan masa depan yang penuh dengan persaingan global. Kita
semua perlu melakukan intropeksi, apakah sekiranya sebagai bangsa, kita sudah
yakin memiliki kemampuan seperti yang dituntut dalam persaingan global pada
milenium ketiga nanti.[8]
Apabila kita berbicara kemampuan dan kesiapan sebagai
anak bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan global pada
milenium ketiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk siap bersaing di
tingkat global. Apabila dilihat dari pendidikannya, angkatan kerja kita saat
ini sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja (53%) tidak
berpendidikan, yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah
11%, dan berpendidikan tinggi hanya 2%. Padahal tuntutan dari dunia kerja pada
akhir pembangunan jangka panjang II nanti mengharuskan angkatan kerja kita
berpendidikan.[9]
Sebenarnya
sektor pendidikan menjadi tumpuan harapan dan memiliki peran strategis dan
fungsional dalam upaya membangun dan meningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia. Pendidikan sebenarnya selalu didesain untuk senantiasa berusaha
menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai
konsekuensi dari suatu perubahan. Tetapi pada kenyataannya, kondisi pendidikan
kita masih melahirkan mismatch yang luar dengan tuntutan dunia kerja. Kondisi seperti
ini juga berarti bahwa daya saing kita secara global amat rendah.[10]
[1]
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Cet. I, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hal. 33.
[2] Ibid., hal. 34.
[3]
Muslim Usa (editor), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 44.
[4] Ibid., hal. 45.
[5]
Suyanto dan Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal. 21.
[6]
Ancok, Peran Perguruan Tinggi dalam Menyiapkan
Manusia di Milenium Ketiga, (Yogyakarta: UII, 1998), hal. 13.
[7]
Hisyam, Refleksi...., hal. 22.
[9]
Boediono, Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, Conference Book, 1978), hal. 45.
0 Comments
Post a Comment