Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Pendahuluan
Pendidikan pada bangsa kita telah terjadi dikotomi, yakni antara pendidikan umum dan pendidikan Islam. Dua hal ini telah menjadikan suatu problem tersendiri dalam dunia pendidikan. Karena salah satu sisi yang mengatasnamakan pendidikan Islam adalah sebuah pendidikan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang beragama Islam, nama lembaganya adalah lembaga Islam, dan materinya di dominasi oleh ajaran-ajaran Islam dari Al Qur'an dan Hadits yang merupakan landasan Islam. Jika demikian akan bermunculan pula yang dinamakan pendidikan Kristen, pendidikan Hindu dan lain-lain, bahkan bisa saja terjadi pendidikan Komunis, pendidikan Atheis dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana dengan pendidikan umum, apakah yang dinamakan umum yang menyelenggarakan orang umum, tidak terdapat simbol-simbol apapun, baik itu Islam, Kristen, Hindu dan lain sebagainya. Apakah yang dinamakan pendidikan umum atau pendidikan saja itu selama ini seperti yang diselenggarakan oleh pemerintah yang berada dibawah naungan Diknas? Selanjutnya apa bedanya antara pendidikan atau pendidikan umum dengan pendidikan Islam. Tetapi dalam kajian kita saat ini lebih menekankan kepada hakikat pendidikan Islam (ontologi pendidikan Islam). Adapun sebagaimana dalam pertanyaan tersebut hanya membedakan wilayah umum ataukah wilayah Islam.
Dalam kajian tentang Filsafat Pendidikan Islam yang difokuskan kepada Ontologi Pendidikan Islam ini berusaha untuk mengupas tentang hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi pendidikan Islam. Sementara itu, ontologi sendiri memiliki arti ilmu hakikat. [1] Kalau kita membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik alam nyata ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang terbatas oleh panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah ke-real-an, real yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana. Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam.
Walaupun sebenarnya kajian yang penulis lakukan kali ini belum mampu mengupas secara mendalam tentang hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi di dalamnya. Oleh karena itu, penting rasanya untuk diutarakan bahwa masukan, kritik, dari hasil diskusi akan sekiranya membantu dalam penyempurnaan dari tulisan ini dan akan lebih menyenangkan apabila dalam kritik dan saran tersebut disertai rujukan yang jelas, yang akan mempermudah dalam pelacaka
1.2 Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian dari Filsafat Pendidikan ?
  2. Apa Pengertia Ontologi ?
  3. Rung lingkup dari filsafat Pendidikan Islam ?
  4. Bagaimana Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selain itu, teori lain mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia; philos berarti cinta, suka dan Sophia berarti pengetahuan, hikmah. Jadi, philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Dengan demikian, filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Pendapat yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau arti hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga cirri pokok dalam filsafat, sebagai berikut:
1.          Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggunakan akal.
2.          Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir tersebut, yaitu mencari hakikat atau inti mengenai segala sesuatu.
            Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Ahmad D. Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu:
1)     Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan, atau pertolongan yang dilakukan secara sadar,
2)     Ada pendidik, pembimbing atau penolong,
3)     Ada yang dididik, atau si terdidik,
4)     Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut,
5)     Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
            Muzayyin Arifin, mengatakan bahwa filsafat pendidikan islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandas ajaran-ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran islam.
Filsafat pendidikan islam itu merupakan suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber skunder. Dengan demikian, filsafat islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran islam. Jadi filsafat ini bukan yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.

B.    PENGERTIAN ONTOLOGI
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat.   Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada cusa prima  dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. [2]Atau suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesata ini, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Ontology merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat sudah menunjukan munculnya perenungan dibidang ontology. Yang tertua di segenap filusuf barat yang kita kenal adalah orang yunani yang bijak dan arif yang bernama thales.[3]  Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan sesuatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu adalah satu Zat  (monoisme) ataukah kekuatan pencipta Dua Zat ( Dualisme) atau banyak Zat (Pruralisme). Dan apakah roh, bilamana kekuatan itu besifat kebendaan, paham ini di sebut materialism dan bila bersifat roh, paham ini disebut spiritualisme (serba roh).[4]
Memang fiisafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah yang utama yaitu masalah tentang kenyataan, realitas, yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memcahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi  kita tentang realitas, mengontrol pertanyaaan tentang dunia kita ini. Oleh karena itu perhatian kita yang penuh dan dan tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filisofis utama adalah ontologi, yaitu studi realitas yang tertinggi.[5]
Pengetahuan melalui metode ilmiah bagaimanakah kita dapat mengetahui tentang apakah yang dinamakan alam itu. Sekurang-kurangnya seorang penganut naturalisme akan mengatakan bahwa yang dinamakan alam secara sederhana ialah “ apa yang oleh ilmu pengetahuan empiris diterangkan sebagai demikian keadaannya  Alam tersebut dihadapkan kepada kita, dalam perjalanan pengalaman kita sehari-hari, dan kita mempelajarinya dengan metode-metode ilmiah biasa. Yaitu yang dinamakan kenyataan ialah apa yang di sajikan kepada kita oleh ilmu-ilmu alam. Lebih tepat bila kita berfikir bahwa alam merupakan istilah genus yang dapat diterapkan kepada segala hal. [6]Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua sudut pandang. Orang yang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif.

            Filsafat pendidikan Islam merupakan pengetahuan yang memperbincangkan masalah-masalah pendidikan Islam. Masalah pendidikan tidak dibatasi oleh ideologi tertentu karena semua masalah pendidikan berkaitan dengan hal- hal di bawah ini:
1.     lembaga pendidikan;
2.     pendidik
3.     anak didik;
4.     kurikulum;
5.     tujuan pendidikan;
6.     proses pembelajaran;
7.     metode dan strategi pembelajaran;
8.     kepustakaan;
9.     evaluasi pendidikan;
10.  alat-alat pendidikan.

            Ahmad D. Marimba (1980:45) mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha untuk membimbing keterampilan jasmaniah dan rohaniah berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Ukuran-ukuran Islam ditujukan pada akhlak anak didik, perilaku konkret yang memberi manfaat kepada kehidupannya di masyarakat.
Hasan Langgulung (1980:23) mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki
1.     Fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan;
2.     Fungsi pengembangan kedewasaan berpikir melalui proses transmisi ilmu pengetahuan;
3.     Fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini dengan pemahaman ilmiah; dan
4.     Fungsi ibadah sebagai bagian dari pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam surat At- Tinayat 4:
 



Artinya:
"Sesungguhnya %ami telah menciptaan manusia daCam Sentu^yang se6ai^6ai^nya."
(Q.S. At-Tln: 4)

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ilmu pendidikan Islam adalah paradigma atau model pendidikan yang merujuk kepada nilai-nilai ajaran Islam. Yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber formal dan materiil pendidikan.
Yang dimaksud dengan perbuatan mendidik adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidik ketika menghadapi dan mengasuh anak didik. Pendidik adalah pelaku utama dalam memengaruhi anak didik dengan materi-materi pembelajaran sehingga citra pendidikan, salah satunya, ditentukan oleh para pendidik.

Ruang lingkup filsafat pendidikan tidak akan jauh dari beberapa hal di bawah ini:
1.     Hakikat para pendidik dan anak didik;
2.     Hakikat materi pendidikan dan metode penyampaian materi;
3.     Hakikat tujuan pendidikan dan alat-alat pendidikan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan;
4.     Hakikat model-model pendidikan;
5.     Hakikat lembaga formal dan nonformal dalam pendidikan;
6.     Hakikat sistem pendidikan;
7.     Hakikat evaluasi pendidikan; dan
8.     Hakikat hasil-hasil pendidikan.
Pertanyaan filosofis tentang peran pendidik adalah: (1) apa tugas dan fungsi para pendidik dalam dunia pendidikan? (2) bagaimana kinerja para pendidik? (3) untuk apa para pendidik melaksanakan tugas dan fungsinya? (4) mengapa para pendidik melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan jawaban filosofis dalam . pemaknaan yang berkaitan dengan pendidikan. Demikian pula, dengan hakikat materi pendidikan. Secara filosofis, materi pendidikan yang perlu disampaikan kepada anak didik adalah semua hal yang berhubungan dengan alam semesta dan kehidupan manusia serta segala sesuatu yang dihadapi oleh manusia yang sifatnya fisikal maupun metafisikal, yang lahiriah maupun yang batiniah.
Setelah pendidikan ketauhidan adalah pendidikan tentang manusia. Secara filosofis, pendidikan tentang manusia berkaitan dengan jati diri manusia sebagai satu-satunya makhluk Allah yang diciptakan dengan sangat sempurna, ideal, dan makhluk yang berpikir. Betapa mengherankan apabila manusia sebagai makhluk yang berpikir, tetapi enggan menuntut ilmu. Itu artinya, manusia telah menyia-nyiakan jati dirinya sendiri. Dengan akal, manusia memperoleh pendidikan dan pendidikan pun diwujudkan karena manusia berakal.
Dalam filsafat pendidikan Islam, selain ruang lingkup yang diterangkan di atas, terdapat substansi pendidikan yang sangat penting, bahkan-, menentukan nilai sebuah proses pendidikan, yaitu:
1.     Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran dalam pendidikan Islam;
2.     Akhlak Nabi Muhammad SAW. yang dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk membentuk akhlak anak didik;
3.     Keimanan kepada seluruh ajaran Islam yang dapat diterima oleh hati dan akal yang sehat;
4.     Kehidupan dunia yang oleh ajaran Islam dibebaskan pengembangannya;
5.     Alam semesta yang diciptakan untuk kemakmuran manusia;
6.     Baik dan buruk;
7.     Pahala dan dosa;
8.     Ikhtiar dan takdir yang menjadi bagian dari rencana kehidupan manusia dan kehendak Allah yang pasti adanya.

Dalam filsafat pendidikan Islam, anak didik adalah objek para pendidik. Anak didik dilihat dari beberapa segi, yaitu dilihat dari usia anak didik, minat dan bakat, latar belakang kehidupan dan lingkungan keluarga, dan kondisi psikologisnya. Kondisi-kondisi yang terdapat pada anak didik akan dijadikan barometer awal untuk menentukan proses pembelajaran, terutama berkaitan dengan pengembangan pendidikan ke arah yang lebih aplikatif.
Semua seluk-beluk yang berhubungan dengan pendidikan dan pengetahuan berlandaskan pada kemampuan kognitif atau kemampuan rasio yang disebut dengan rasionalitas. Pada dasarnya (an sich), rasionalitas bersifat netral, dengan kemampuan menyamakan dan membedakan, melakukan inferensi dengan logika deduktif atau induktif. Kemampuan tersebut diistilahkan dengan kecerdasan yang oleh Plato disebut sebagai innate ideas. Dari pemahaman itulah dihasilkan ilmu-ilmu formal seperti logika, matematika, statistika yang bersifat netral. Sumber pengetahuan bukan hanya berakar , dari akal pikiran manusia dengan kemampuan kognitifnya, tetapi karena dilengkapi dengan kecerdasan memahami sarwa yang ada yang real dan menantang manusia untuk menduga-duga dalam memikirkan dan memahaminya pada setiap kejadian dan yang mungkin teijadi secara fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang tampak dan dirasakan manusia merupakan hakikat keberadaan alam yang tidak pernah pasti dan mutlak. Perubahan yang terjadi pada alam memungkinkan pertumbuhan semua ilmu pengetahuan bersifat universal yang kebenarannya relatif, sebagai wujud daripadanya kebenaran mutlak. (Akhdhiyat, 2007:25)
Dalam pelaksanaannya, pendidikan sebagai proses timbal balik antara pendidik dan anak didik melibatkan faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang didasari oleh nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai mendalam itulah yang kemudian disebut sebagai dasar-dasaf pendidikan. Istilah dasar-dasar pendidikan dimaksudkan sebagai landasan tempat berpijak atau fondasi berdirinya suatu sistem pendidikan. Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Dari kedua sumber inilah, kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah paradigma pendidikan Islam. Oleh karena itu, secara garis besar, sumber penelaahan pendidikan Islam dapat diidentifikasi ke dalam dua corpus, yaitu: Al-Quran dan Al-Hadis, yang kemudian keduanya menghasilkan berbagai pendapat para ahli pendidikan.
Sebagai dasar pendidikan Islam, Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat, dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori dan teknik pendidikan Islam. Al-Quran dan Al-Hadis merupakan rujukan dalam setiap upaya pendidikan. Artinya,rasa dan pikiran manusia yang bergerak dalam kegiatan pendidikan mestilah bertolak dari keyakinan tentang kebenaran Al-Quran dan Al-Hadis. Selain itu, keduanya juga merupakan kerangka normatif-teoretis pendidikan Islam. Keduanya adalah sumber nilai, kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya, yang telah memperkenalkan dan mengajarkan manusia untuk selalu berpikir. Oleh karena itu, keduanya layak dan semestinya dijadikan sebagai fondasi pendidikan Islam. (Akhdhiyat, 2007:30)
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan Islam berkaitan dengan pendekatan yang diterapkan adalah sebagai berikut:
1.     Ontologi ilmu pendidikan, yang membahas hakikat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan Islam;
2.     Epistemologi ilmu pendidikan, yang membahas hakikat objek formal dan materi ilmu pendidikan Islam;
3.     Metodologi ilmu pendidikan, yang membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan Islam; dan
4.     Aksiologi ilmu pendidikan, yang membahas hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu pendidikan Islam. (Redja Mudyahardjo, 2006:7)
Secara ontologis, pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang berakal dan berpikir. Jika manusia bukan makhluk yang berpikir, tidak ada pendidikan. Selanjutnya, pendidikan sebagai usaha pengembangan diri manusia dijadikan alat untuk mendidik selain manusia, tidak terkecuali diterapkan kepada binatang. Jika seekor monyet dapat dididik dan dilatih, apalagi manusia.
C. HAKIKAT TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM    
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan, terdapat sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak mengalami kebingungungan dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas kemana ia akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia pendidikan, apakah pendidikan Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan, menurut Zakiah Darajat adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[7] Sementara itu, Arifin mengemukakan bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. [8] Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak mengherankan apabila terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya (philosophy of life) adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam. [9]Azra menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. [10]Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara –maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (ultimate aims of islamic education).
Menurut Mohammad ’Athiyah al Abrasy, pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya sebenarnya dari pendidikan Islam. [11] Definisi ini menggambarkan bahwa manusia yang ideal harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (لاتمما مكرم الاخلاق)
Sementara itu, Muhammad Quthb, berpendapat bahwa Islam melakukan pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara mental dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang diabaikan dan tidak memaksa apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.[12] Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang. Dengan terbinanya potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifa di muka bumi ini.
Selain itu, Ali Ashraf menyatakan bahwa pendidikan bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[13] Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam tiada lain adalah perwujudan pengabdian secara optimal kepada Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut, harus dibina seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi spiritual, intelektual, perasaan, kepekaan dan sebagainya.

D. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI SUBJEK PENDIDIKAN (PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana pemahaman Marimba tentang pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah adanya pembimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang memikul pertanggunganjawab untuk mendidik.[14] Kita sudah dapat membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia dewasa yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik, tidak hanya membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan segala pertanggunganjawab yang dipikulnya. Sementara itu, Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik, yang disebabkan oleh 2 faktor, yaitu pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. [15] Adapun guru yang kita pahami adalah seorang pendidik yang memberikan pelajaran kepada anak didik (murid), berupa mata pelajaran di sekolah. [16] Walaupun demikian, pendidik yang utama terhadap anak didik adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada beberapa istilah, seperti ustadz, mu’alim, mu’adib, murabi dan lain sebagainya. Dari istilah-istilah itu pada dasarnya mempunyai makna yang sama, yakni sama-sama pendidik (guru). Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan psikomotor.[17]  Senada dengan ini Moh. Fadhil al Jamali menyebutkan bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.[18] Sedangkan menurut al Aziz, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.[19] Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. [20] Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. [21]
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. [22] Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Pendapat yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau arti hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat.   Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada cusa prima  dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya, apalagi ini pendidikan Islam. Islam sebagai suatu agama dan ajaran mempunyai peran penting dalam menentukan arah kebijakan pendidikan dengan segala komponen yang melingkupinya, baik itu makna pendidikan itu sendiri, obyek manusianya, tujuan maupun kurikulumnya. Sehingga dari ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan yang diinginkan dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Dalam Al Qur'an dan Hadits telah jelas bahwa keberadaan manusia dimuka bumi adalah sebagai khalifah yang mengemban peran penting dalam mengelola bumi dan segala isinya demi kemaslahatan umat. Dan dengan pendidikan diharapkan manusia tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.



DAFTAR PUSTAKA

Al Naquib al Attas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984.
Al Qardhawi, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami A, Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al Toumy al Syaibany, Omar Muhammad ,Falsafatut Tarbiyah Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Arifin, HM., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Athiyah al Abrasyi, Mohammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1989.
Darajat, Zakaiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1980.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: al Ma’arif, 1984.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991.
Salih Abdullah, Abdurrahman, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah al Mukarramah: Umm al Qura University, tt.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
____________, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capr, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, sebagai kata puji dan syukur kepada Allah SWT. Atas kesempatan dan kesehatan yang telah diberikanNya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Walaupun masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Itu semua karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa.
Shalawat dan Salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga serta sahabat sekalian. Berkah kehadiran dan perjuangan beliaulah, saat ini umat Islam masih dapat mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.
Selanjutnya terimakasih penulis ucapkan kepada Dosen Pembimbing mata kuliah “Filsafat Pendidikan Islam”, Bapak Dr. Syahabuddin Gade, MA Yang telah mengarahkan penulis dalam hal penulisan makalah ini, Yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam dari Sudut Pandang Ontologi.
Demikian, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Amin.


Bireuen, 12 April  2013
Penulis,



Asniati
NIM. 24121402-2
Oval: i

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ..............................................................................................             i
DAFTAR ISI ............................................................................................................             ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................             1
1.1 Pendahuluan................................................................................................             1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................             1
     
BAB II  TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................             3
A.    Pengertian filsafat pendidikan......................................................................             3
B.    Pengertian ontologi ......................................................................................             5
C.    Ruang lingkup filsafat pendidikan................................................................             9
D.    Hakikat Tujuan Pendidikan Islam.................................................................             12
E.     Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan .............................................             14

BAB III PENUTUP ..................................................................................................             20
A.    Kesimpulan..................................................................................................             20

Oval: iiDAFTAR PUSTAKA................................................................................................             21


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 28.
[2] uparlan suhartono, Filsafat pendidikan, Jakarta : Ar-ruzz media, 2009, hlm. 97.
[3] Lois o. kattosof , Pengantar filsafat, Yogyakarta : Tiara wacana, 2004, hlm.185.
[4] Muzayyin Arifin, Filsafat pendidikan islam, Jakarta : PT Bumi aksara, 2010, hlm.7.
[5] Prasetya, Filsafat pendidikan, Bandung : cv pustaka setia, 1997, hlm.85.
[6] Lois o. kattosof , Pengantar filsafat, Yogyakarta : Tiara wacana, 2004, hlm.114.
[7] Zakaiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 29.
[8] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 223.
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 46.
[10] Lihat misalnya surat Al Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” atau surat Al Imran ayat 102: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam”.
[11] Mohammad Athiyah al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 15.
[12] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: al Ma’arif, 1984), 27.
[13] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan……..2
[14] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat……..37.
[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan………………….74.
[16] Ibid, 75.
[17] Ramayulis, Ilmu Pendidikan ………..85.
[18] Ibid, 85.
[19] Ibid, 85.
[20] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 79.
[21] Ibid, 79.
[22] Ibid, 80.