Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Pendidikan pada bangsa kita telah terjadi dikotomi, yakni antara pendidikan
umum dan pendidikan Islam. Dua hal ini telah menjadikan suatu problem
tersendiri dalam dunia pendidikan. Karena salah satu sisi yang mengatasnamakan
pendidikan Islam adalah sebuah pendidikan yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang beragama Islam, nama lembaganya adalah lembaga Islam, dan materinya di
dominasi oleh ajaran-ajaran Islam dari Al Qur'an dan Hadits yang merupakan
landasan Islam. Jika demikian akan bermunculan pula yang dinamakan pendidikan
Kristen, pendidikan Hindu dan lain-lain, bahkan bisa saja terjadi pendidikan
Komunis, pendidikan Atheis dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana dengan
pendidikan umum, apakah yang dinamakan umum yang menyelenggarakan orang umum,
tidak terdapat simbol-simbol apapun, baik itu Islam, Kristen, Hindu dan lain
sebagainya. Apakah yang dinamakan pendidikan umum atau pendidikan saja itu
selama ini seperti yang diselenggarakan oleh pemerintah yang berada dibawah
naungan Diknas? Selanjutnya apa bedanya antara pendidikan atau pendidikan umum
dengan pendidikan Islam. Tetapi dalam kajian kita saat ini lebih menekankan
kepada hakikat pendidikan Islam (ontologi pendidikan Islam). Adapun sebagaimana
dalam pertanyaan tersebut hanya membedakan wilayah umum ataukah wilayah Islam.
Dalam kajian tentang Filsafat Pendidikan Islam yang difokuskan kepada
Ontologi Pendidikan Islam ini berusaha untuk mengupas tentang hakikat
pendidikan Islam dan pola organisasi pendidikan Islam. Sementara itu, ontologi
sendiri memiliki arti ilmu hakikat. [1]
Kalau kita membicarakan ilmu hakikat ini sangat luas, apakah hakikat dibalik
alam nyata ini, menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang
terbatas oleh panca indera kita. Hakikat ialah realitas, realitas ialah
ke-real-an, real yakni kenyataan yang sebenarnya, kenyataan yang sesungguhnya,
keadaan sebenarnya sesuatu, bukanlah keadaan yang sementara atau keadaan yang
menipu, bukan pula keadaan yang berubah dan bukan sesuatu yang fatamorgana.
Jadi, ontologi pendidikan adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam,
kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang
melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam,
hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia sebagai subjek pendidikan yang
ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan
Islam.
Walaupun sebenarnya kajian yang penulis lakukan kali ini belum mampu
mengupas secara mendalam tentang hakikat pendidikan Islam dan pola organisasi
di dalamnya. Oleh karena itu, penting rasanya untuk diutarakan bahwa masukan,
kritik, dari hasil diskusi akan sekiranya membantu dalam penyempurnaan dari
tulisan ini dan akan lebih menyenangkan apabila dalam kritik dan saran tersebut
disertai rujukan yang jelas, yang akan mempermudah dalam pelacaka
1.2 Rumusan Masalah
- Apa Pengertian dari Filsafat
Pendidikan ?
- Apa Pengertia Ontologi ?
- Rung lingkup dari filsafat Pendidikan
Islam ?
- Bagaimana Hakikat Manusia Sebagai
Subjek Pendidikan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN FILSAFAT
PENDIDIKAN
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau
hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Selain
itu, teori lain mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah yang
berasal dari bahasa Yunani, philosophia;
philos berarti cinta, suka dan Sophia berarti pengetahuan, hikmah.
Jadi, philosophia berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta kepada
pengetahuan atau kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Dengan demikian, filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang
menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Pendapat
yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi
Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau arti hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.
Pendapat Sidi Gazalba ini memperlihatkan adanya tiga cirri pokok dalam
filsafat, sebagai berikut:
1.
Adanya unsur berpikir yang dalam hal ini menggunakan
akal.
2.
Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berpikir
tersebut, yaitu mencari hakikat atau inti mengenai segala sesuatu.
Ahmad
D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Ahmad D. Marimba
menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu:
1)
Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan, atau
pertolongan yang dilakukan secara sadar,
2)
Ada pendidik, pembimbing atau penolong,
3)
Ada yang dididik, atau si terdidik,
4)
Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut,
5)
Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Muzayyin
Arifin, mengatakan bahwa filsafat pendidikan islam pada hakikatnya adalah
konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandas
ajaran-ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya
dijiwai oleh ajaran islam.
Filsafat pendidikan islam itu merupakan suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber skunder. Dengan demikian, filsafat islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran islam. Jadi filsafat ini bukan yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Filsafat pendidikan islam itu merupakan suatu kajian filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim, sebagai sumber skunder. Dengan demikian, filsafat islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran islam. Jadi filsafat ini bukan yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
B.
PENGERTIAN
ONTOLOGI
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang
mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan
sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat.
Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada
cusa prima dalam suatu hubungan
menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.
[2]Atau
suatu pemikiran tentang asal usul kejadian alam semesata ini, dari mana dan
kearah mana proses kejadiannya. Ontology merupakan salah satu di antara
lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran
Barat sudah menunjukan munculnya perenungan dibidang ontology. Yang tertua di
segenap filusuf barat yang kita kenal adalah orang yunani yang bijak dan arif
yang bernama thales.[3] Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan
sesuatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu adalah
satu Zat (monoisme) ataukah kekuatan
pencipta Dua Zat ( Dualisme) atau banyak Zat (Pruralisme). Dan apakah roh,
bilamana kekuatan itu besifat kebendaan, paham ini di sebut materialism dan
bila bersifat roh, paham ini disebut spiritualisme (serba roh).[4]
Memang fiisafat itu meliputi berbagai macam
permasalahan. Adapun masalah yang utama yaitu masalah tentang kenyataan,
realitas, yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita
harus memcahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas, mengontrol pertanyaaan
tentang dunia kita ini. Oleh karena itu perhatian kita yang penuh dan dan
tertinggi dalam teori pendidikan yang mengandung permasalahan filisofis utama
adalah ontologi, yaitu studi realitas
yang tertinggi.[5]
Pengetahuan melalui metode ilmiah bagaimanakah kita
dapat mengetahui tentang apakah yang dinamakan alam itu. Sekurang-kurangnya
seorang penganut naturalisme akan mengatakan bahwa yang dinamakan alam secara
sederhana ialah “ apa yang oleh ilmu
pengetahuan empiris diterangkan sebagai demikian keadaannya” Alam tersebut dihadapkan kepada kita, dalam
perjalanan pengalaman kita sehari-hari, dan kita mempelajarinya dengan
metode-metode ilmiah biasa. Yaitu yang dinamakan kenyataan ialah apa yang di
sajikan kepada kita oleh ilmu-ilmu alam. Lebih tepat bila kita berfikir bahwa
alam merupakan istilah genus yang dapat diterapkan kepada segala hal. [6]Ontologi
dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua sudut pandang. Orang yang
dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini
merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan,
“Dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini
merupakan pendekatan secara kualitatif.
Filsafat
pendidikan Islam merupakan pengetahuan yang memperbincangkan masalah-masalah
pendidikan Islam. Masalah pendidikan tidak dibatasi oleh ideologi tertentu
karena semua masalah pendidikan berkaitan dengan hal- hal di bawah ini:
1. lembaga
pendidikan;
2. pendidik
3. anak didik;
4. kurikulum;
5. tujuan
pendidikan;
6. proses
pembelajaran;
7. metode dan
strategi pembelajaran;
8. kepustakaan;
9. evaluasi
pendidikan;
10. alat-alat
pendidikan.
Ahmad
D. Marimba (1980:45) mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha untuk
membimbing keterampilan jasmaniah dan rohaniah berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Ukuran-ukuran Islam ditujukan pada akhlak anak didik,
perilaku konkret yang memberi manfaat kepada kehidupannya di masyarakat.
Hasan
Langgulung (1980:23) mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah pendidikan yang
memiliki
1.
Fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan
memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan;
2.
Fungsi pengembangan kedewasaan berpikir melalui proses
transmisi ilmu pengetahuan;
3.
Fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang
diyakini dengan pemahaman ilmiah; dan
4.
Fungsi ibadah sebagai bagian dari pengabdian hamba
kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani
kepada manusia. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam surat At- Tinayat 4:
Artinya:
"Sesungguhnya %ami telah
menciptaan manusia daCam Sentu^yang se6ai^6ai^nya."
(Q.S. At-Tln: 4)
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya bahwa ilmu pendidikan Islam adalah paradigma atau
model pendidikan yang merujuk kepada nilai-nilai ajaran Islam. Yang menjadikan
Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber formal dan materiil pendidikan.
Yang
dimaksud dengan perbuatan mendidik adalah seluruh kegiatan, tindakan atau
perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidik ketika menghadapi dan mengasuh
anak didik. Pendidik adalah pelaku utama dalam memengaruhi anak didik dengan
materi-materi pembelajaran sehingga citra pendidikan, salah satunya, ditentukan
oleh para pendidik.
Ruang
lingkup filsafat pendidikan tidak akan jauh dari beberapa hal di bawah ini:
1. Hakikat para
pendidik dan anak didik;
2. Hakikat materi
pendidikan dan metode penyampaian materi;
3. Hakikat tujuan
pendidikan dan alat-alat pendidikan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan;
4. Hakikat
model-model pendidikan;
5. Hakikat lembaga
formal dan nonformal dalam pendidikan;
6. Hakikat sistem pendidikan;
7. Hakikat evaluasi
pendidikan; dan
8.
Hakikat hasil-hasil pendidikan.
Pertanyaan
filosofis tentang peran pendidik adalah: (1) apa tugas dan fungsi para pendidik
dalam dunia pendidikan? (2) bagaimana kinerja para pendidik? (3) untuk apa para
pendidik melaksanakan tugas dan fungsinya? (4) mengapa para pendidik
melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam proses pembelajaran?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas memerlukan jawaban filosofis dalam . pemaknaan yang berkaitan dengan
pendidikan. Demikian pula, dengan hakikat materi pendidikan. Secara filosofis,
materi pendidikan yang perlu disampaikan kepada anak didik adalah semua hal
yang berhubungan dengan alam semesta dan kehidupan manusia serta segala sesuatu
yang dihadapi oleh manusia yang sifatnya fisikal maupun metafisikal, yang
lahiriah maupun yang batiniah.
Setelah
pendidikan ketauhidan adalah pendidikan tentang manusia. Secara filosofis,
pendidikan tentang manusia berkaitan dengan jati diri manusia sebagai
satu-satunya makhluk Allah yang diciptakan dengan sangat sempurna, ideal, dan
makhluk yang berpikir. Betapa mengherankan apabila manusia sebagai makhluk yang
berpikir, tetapi enggan menuntut ilmu. Itu artinya, manusia telah
menyia-nyiakan jati dirinya sendiri. Dengan akal, manusia memperoleh pendidikan
dan pendidikan pun diwujudkan karena manusia berakal.
Dalam
filsafat pendidikan Islam, selain ruang lingkup yang diterangkan di atas,
terdapat substansi pendidikan yang sangat penting, bahkan-, menentukan nilai
sebuah proses pendidikan, yaitu:
1. Al-Quran dan As-Sunnah
sebagai sumber ajaran dalam pendidikan Islam;
2. Akhlak Nabi
Muhammad SAW. yang dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk membentuk
akhlak anak didik;
3. Keimanan kepada
seluruh ajaran Islam yang dapat diterima oleh hati dan akal yang sehat;
4. Kehidupan dunia
yang oleh ajaran Islam dibebaskan pengembangannya;
5. Alam semesta
yang diciptakan untuk kemakmuran manusia;
6. Baik dan buruk;
7. Pahala dan dosa;
8. Ikhtiar dan
takdir yang menjadi bagian dari rencana kehidupan manusia dan kehendak Allah
yang pasti adanya.
Dalam
filsafat pendidikan Islam, anak didik adalah objek para pendidik. Anak didik
dilihat dari beberapa segi, yaitu dilihat dari usia anak didik, minat dan
bakat, latar belakang kehidupan dan lingkungan keluarga, dan kondisi
psikologisnya. Kondisi-kondisi yang terdapat pada anak didik akan dijadikan
barometer awal untuk menentukan proses pembelajaran, terutama berkaitan dengan
pengembangan pendidikan ke arah yang lebih aplikatif.
Semua
seluk-beluk yang berhubungan dengan pendidikan dan pengetahuan berlandaskan
pada kemampuan kognitif atau kemampuan rasio yang disebut dengan rasionalitas.
Pada dasarnya (an sich),
rasionalitas bersifat netral, dengan kemampuan menyamakan dan membedakan,
melakukan inferensi dengan logika deduktif atau induktif. Kemampuan tersebut
diistilahkan dengan kecerdasan yang oleh Plato disebut sebagai innate ideas. Dari pemahaman itulah
dihasilkan ilmu-ilmu formal seperti logika, matematika, statistika yang
bersifat netral. Sumber pengetahuan bukan hanya berakar , dari akal pikiran manusia
dengan kemampuan kognitifnya, tetapi karena dilengkapi dengan kecerdasan
memahami sarwa yang ada yang real dan menantang manusia untuk menduga-duga
dalam memikirkan dan memahaminya pada setiap kejadian dan yang mungkin teijadi
secara fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang tampak dan dirasakan manusia
merupakan hakikat keberadaan alam yang tidak pernah pasti dan mutlak. Perubahan
yang terjadi pada alam memungkinkan pertumbuhan semua ilmu pengetahuan bersifat
universal yang kebenarannya relatif, sebagai wujud daripadanya kebenaran
mutlak. (Akhdhiyat, 2007:25)
Dalam pelaksanaannya, pendidikan
sebagai proses timbal balik antara pendidik dan anak didik melibatkan
faktor-faktor pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang didasari oleh
nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai mendalam itulah yang kemudian disebut sebagai dasar-dasaf pendidikan. Istilah dasar-dasar pendidikan dimaksudkan
sebagai landasan tempat berpijak atau fondasi berdirinya suatu sistem
pendidikan. Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar Islam itu sendiri.
Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Dari kedua
sumber inilah, kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam
yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah paradigma pendidikan
Islam. Oleh karena itu, secara garis besar, sumber penelaahan pendidikan Islam
dapat diidentifikasi ke dalam dua
corpus, yaitu: Al-Quran dan Al-Hadis, yang kemudian keduanya
menghasilkan berbagai pendapat para ahli pendidikan.
Sebagai
dasar pendidikan Islam, Al-Quran dan Al-Hadis adalah rujukan untuk mencari,
membuat, dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori dan teknik
pendidikan Islam. Al-Quran dan Al-Hadis merupakan rujukan dalam setiap upaya
pendidikan. Artinya,rasa dan pikiran manusia yang bergerak dalam kegiatan
pendidikan mestilah bertolak dari keyakinan tentang kebenaran Al-Quran dan
Al-Hadis. Selain itu, keduanya juga merupakan kerangka normatif-teoretis
pendidikan Islam. Keduanya adalah sumber nilai, kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya, yang telah memperkenalkan dan mengajarkan manusia untuk
selalu berpikir. Oleh karena itu, keduanya layak dan semestinya dijadikan
sebagai fondasi pendidikan Islam. (Akhdhiyat, 2007:30)
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam berkaitan dengan pendekatan yang diterapkan adalah sebagai
berikut:
1. Ontologi ilmu
pendidikan, yang membahas hakikat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan
Islam;
2. Epistemologi
ilmu pendidikan, yang membahas hakikat objek formal dan materi ilmu pendidikan
Islam;
3. Metodologi ilmu
pendidikan, yang membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu
pendidikan Islam; dan
4. Aksiologi ilmu
pendidikan, yang membahas hakikat nilai kegunaan teoretis dan praktis ilmu
pendidikan Islam. (Redja Mudyahardjo, 2006:7)
Secara
ontologis, pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai
makhluk yang berakal dan berpikir. Jika manusia bukan makhluk yang berpikir,
tidak ada pendidikan. Selanjutnya, pendidikan sebagai usaha pengembangan diri
manusia dijadikan alat untuk mendidik selain manusia, tidak terkecuali
diterapkan kepada binatang. Jika seekor monyet dapat dididik dan dilatih,
apalagi manusia.
C. HAKIKAT TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu
tujuan, terdapat sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat
ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu
tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak mengalami kebingungungan
dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas kemana ia akan sampai.
Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia pendidikan, apakah pendidikan
Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan, menurut Zakiah Darajat adalah
sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[7]
Sementara itu, Arifin mengemukakan bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan
kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang
tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. [8] Meskipun
banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian
itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud
tertentu. Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari
pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak
mengherankan apabila terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh
masing-masing manusia, baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara,
karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya
pendidikan Islam, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan
dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya (philosophy of life)
adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran
Islam. [9]Azra menyatakan
bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara
keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di
dunia dan akhirat. [10]Dalam konteks
sosial-masyarakat, bangsa dan negara –maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan
lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia
dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan
Islam (ultimate aims of islamic education).
Menurut Mohammad ’Athiyah al Abrasy,
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan
Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya sebenarnya
dari pendidikan Islam. [11] Definisi ini
menggambarkan bahwa manusia yang ideal harus dicapai melalui kegiatan
pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi
kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (لاتمما مكرم الاخلاق)
Sementara itu, Muhammad Quthb,
berpendapat bahwa Islam melakukan pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh
terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan
sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara mental
dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas,
mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang
diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang diabaikan dan tidak
memaksa apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya.[12]
Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam
mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang.
Dengan terbinanya potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat
melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifa di muka bumi ini.
Selain itu, Ali Ashraf menyatakan bahwa
pendidikan bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian
total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan
kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginatif,
fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan
memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir
pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada
tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.[13]
Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam tiada lain adalah
perwujudan pengabdian secara optimal kepada Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan
pengabdian tersebut, harus dibina seluruh potensi yang dimilikinya, baik
potensi spiritual, intelektual, perasaan, kepekaan dan sebagainya.
D. HAKIKAT MANUSIA
SEBAGAI SUBJEK PENDIDIKAN (PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman
sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk
yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain
sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada
makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al
Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih
difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah
yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain
diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam
pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik
dan peserta didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana
pemahaman Marimba tentang pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah
adanya pembimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang memikul
pertanggunganjawab untuk mendidik.[14]
Kita sudah dapat membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia
dewasa yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik,
tidak hanya membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan segala
pertanggunganjawab yang dipikulnya. Sementara itu, Tafsir mengatakan bahwa
pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap
perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggungjawab
tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik, yang disebabkan oleh 2
faktor, yaitu pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan
menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab
mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua
berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah
sukses orang tua juga. [15] Adapun guru
yang kita pahami adalah seorang pendidik yang memberikan pelajaran kepada anak
didik (murid), berupa mata pelajaran di sekolah. [16] Walaupun
demikian, pendidik yang utama terhadap anak didik adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada
beberapa istilah, seperti ustadz, mu’alim, mu’adib, murabi dan lain sebagainya.
Dari istilah-istilah itu pada dasarnya mempunyai makna yang sama, yakni
sama-sama pendidik (guru). Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah
orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan psikomotor.[17] Senada dengan ini Moh. Fadhil al Jamali
menyebutkan bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada
kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan
kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.[18]
Sedangkan menurut al Aziz, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggungjawab
dalam menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan
individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.[19]
Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan
tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak
didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun
psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah
yang lebih baik.
Sedangkan anak didik (peserta didik)
adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing. [20] Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal
kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta
didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya
sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan
sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih
anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam
sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik
tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga
harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka
dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. [21]
Dengan demikian bahwa peserta didik
adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam
berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses
memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal
dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai
Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. [22] Bertolak dari
hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa
sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang
merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses
pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia
agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang
menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Pendapat
yang lebih jelas lagi tentang filsafat antara lain dikemukakan oleh Sidi
Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau arti hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada.
Ontologi adalah
bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebat- akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada cusa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan
tertib dalam keharmonisan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk
upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi
pendidikannya, apalagi ini pendidikan Islam. Islam sebagai suatu agama dan
ajaran mempunyai peran penting dalam menentukan arah kebijakan pendidikan
dengan segala komponen yang melingkupinya, baik itu makna pendidikan itu
sendiri, obyek manusianya, tujuan maupun kurikulumnya. Sehingga dari ini dapat
dijadikan tolok ukur keberhasilan yang diinginkan dalam suatu proses
pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan
yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits
sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Dalam Al Qur'an dan Hadits telah
jelas bahwa keberadaan manusia dimuka bumi adalah sebagai khalifah yang
mengemban peran penting dalam mengelola bumi dan segala isinya demi
kemaslahatan umat. Dan dengan pendidikan diharapkan manusia tidak melakukan
hal-hal yang menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al Naquib al
Attas, Syed Muhammad, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 1984.
Al Qardhawi,
Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, terj. Bustami A,
Gani et.al, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al Toumy al
Syaibany, Omar Muhammad ,Falsafatut Tarbiyah Islamiyah, terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Arifin, HM., Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Ashraf, Ali, Horison
Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Athiyah al
Abrasyi, Mohammad, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A.
Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Azra,
Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Crow and Crow, Pengantar
Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1990.
D. Marimba,
Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif, 1989.
Darajat,
Zakaiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Langgulung,
Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al Ma’arif,
1980.
Nata, Abudin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Quthb,
Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: al Ma’arif,
1984.
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
S. Nasution, Pengembangan
Kurikulum, Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991.
Salih Abdullah,
Abdurrahman, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah al Mukarramah:
Umm al Qura University, tt.
Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
____________, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capr, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, sebagai kata puji dan
syukur kepada Allah SWT. Atas kesempatan dan kesehatan yang telah diberikanNya,
sehingga penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Walaupun
masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Itu semua karena
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa.
Shalawat dan Salam senantiasa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarga serta sahabat sekalian.
Berkah kehadiran dan perjuangan beliaulah, saat ini umat Islam masih dapat
mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.
Selanjutnya terimakasih penulis
ucapkan kepada Dosen Pembimbing mata kuliah “Filsafat Pendidikan Islam”, Bapak Dr. Syahabuddin Gade, MA Yang telah
mengarahkan penulis dalam hal penulisan makalah ini, Yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam dari Sudut Pandang Ontologi.
Demikian, semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua.
Amin.
Bireuen, 12 April
2013
Penulis,
Asniati
NIM.
24121402-2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Pendahuluan................................................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA.............................................................................. 3
A. Pengertian
filsafat pendidikan...................................................................... 3
B. Pengertian
ontologi ...................................................................................... 5
C. Ruang lingkup filsafat pendidikan................................................................ 9
D. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam................................................................. 12
E. Hakikat Manusia Sebagai Subjek
Pendidikan ............................................. 14
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 20
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 21
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), 28.
[10] Lihat misalnya surat Al Dzariyat ayat 56: “Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” atau surat Al Imran
ayat 102: “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam”.
[11] Mohammad Athiyah al Abrasyi, Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), 15.