Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.
Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan
Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada
tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak pribadi maupun kolektif antara
mubaligh dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu
daerah, maka mulailah mereka membangun masjid, yang difungsikan sebagai tempat
ibadah dan pendidikan. Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut
adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik.
Kitab-kitab ini adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama
seseorang. Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan
barat yang dibangun oleh pemerintah colonial Belanda pada abad ketujuh belas.
Di awal abad
kedua puluh muncullah ide-ide pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Yang
melatar belakangi hal ini ialah; Pertama, daya dorong dari ajaran Islam itu
sendiri yang mendorong umat Islam untuk memotivasi umatnya guna melakukan
pembaruan (tajdid), dan juga kondisi umat Islam Indonesia yang jauh tertinggal
dalam bidang pendidikan. Kedua, daya dorong yang muncul dari para pembaru
pemikir Islam yang diinspirasi dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran
Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridho,
dan lain sebagainya.
Perjalanan
sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga saat sekarang ini telah meleui
tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan Islam ke Indonesia
sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam awal abad kedua puluh.
Periode ini ditandai dengan pendidikan Islam yang terkonsentrasi di pesantren,
adayah, surau atau masjid dengan titik focus adalah ilmu-ilmu agama yang
bersumber dari kitab-kitab klasik[1].
Periode kedua, periode ini telah dimasuki ole hide-ide pembaruan pemikiran
Islam pada awal abad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya
madrasah, dan juga telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam program
kurikulum, serta telah mengadopsi system pendidikan modern, seperti metode,
manajerial, klasikal, dan lai sebagainya. Periode ketiga, pendidikan Islam
telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003.
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989)
yang kemudian dilengkapi dengan beberapa Peraturan Pemerintah, dan diperkuat
pula dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru maka jelaslah bahwa pendidikan di Indonesia telah
diatur oleh satu peraturan yang telah disepakati.
Pendidikan
Islam yang dimaknai sebagai mata pelajaran dan lembaga telah mendapat kedudukan
dalam system pendidikan nasional. Bab-bab dan pasal-pasal serta ayat-ayat yang
tercantum dalam PP 28, 29 Tahun 1990, serta PP 72, 73 Tahun 1991, PP 38, 39
Tahun 1992 dan PP 60 Tahun 1999, dan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003,
Pasal 12, 17, 18, 20, 26, 27, 28, dan Pasal 30 telah menggambarkan betapa
pendidikan Islam telah duduk dalam sistem pendidikan nasional yang dengan
demikian kedudukannya adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari
system Pendidikan Nasional.
Selanjutnya,
pembahasan tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti
penahapan perkembangan sebagai berikut:
Pertama, Periode
pembinaan pendidikan Islam, berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. Selama
lebih kurang dari 23 tahun, yaitu sejak beliau menerima wahyu pertama sebagai
tanda kerasulannya sampai wafat. Kedua, Periode pertubuhan pendidikan,
berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sampai dengan akhir kekuasaan
Bani Umaiyah, yang diwarnai oleh penyebaran Islam ke dalam lingkungan budaya
bangsa di luar bangsa Arab dan perkembangannya ilmu-ilmu naqli. Ketiga, Periode
kejayaan pendidikan Islam, berlangsung sejak permulaan Daulah bani Abbasiyah
sampai dengan jatuhnya kota Bagdad yang diwarnai oleh perkembangan secara pesat
ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam serta mencapai puncak kejayaannya. Keempat,
Tahap kemuduran pendidikan berlangsung sejak jatuhnya kota Bagdad sampai dengan
jatuhnya Mesir oleh Napoleon sekirat abad ke-18 M. yang ditandai oleh lemahnya
kebudayaan Islam berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan peradaban
manusia ke dunia Barat. Kelima, Tahap pembaharuan pendidikan Islam,
berlangsungnya sejak pendudukan Mesir Oleh Napoleon pada akhir abad ke-18 M.
sampai sekarang, yang di tandai oleh masuknya unsur-unsur budaya dan pendidikan
modern dari dunia Barat ke dunia Islam[2].
Sementara
itu, kegiatan pendidikan Islam di Indonesia lahir dan tumbuh serta berkembang
bersamaan dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia. Sesungguhnya
kegiatan pendidikan Islam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang
penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Pendidikan Islam itu bahkan menjadi tolak ukur,
bagaimana Islam dan umatnya telah memainkan perananya dalam berbagai aspek
sosial, politik, budaya. Oleh karena itu, untuk melacak sejarah pendidikan
Islam di Indonesia dengan periodisasinya, baik dalam pemikiran, isi, maupun
pertumbuhan oraganisasi dan kelembagaannya tidak mungkin dilepaskan dari
fase-fase yang dilaluinya.
Fase-fase
tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi; Pertama, Periode
masuknya Islam ke Indonesia. Kedua, Periode pengembangan dengan melalui
proses adaptasi. Ketiga, Periode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam
(proses politik). Keempat, Periode penjajahan Belanda (1619 – 1942). Kelima,
Periode penjajahan Jepang (1942 – 1945). Keenam, Periode kemerdekaan I
Orde lama (1945 – 1965). Ketujuh, Periode kemerdekaan II Orde
Baru/Pembangunan (1966- sekarang)[3].
Muslih Usa
dalam bukunya Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta (Suatu
Pengantar), menjelaskan secara garis besar membagi sejarah Islam ke dalam tiga
periode, yaitu perode klasik, pertengahan, dan modern. Selanjutnya, pembahasan
tentang lintasan atau periode sejarah pendidikan Islam mengikuti tahapan
perkembangan sebagai berikut:
1.
Pendidikan
Islam Sebelum Penjajahan Eropa
Pada awal
berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara
informal. Didikan dan ajaran Islam diberikan dengan perbuatan, contoh dan
keteladanan. “Pendidikan dan pengajaran Islam secara Informal ini ternyata membawa
hasil yang sangat baik, karena dengan berangsur-angsur tersebarlah agama Islam
keseluruh kepulauan Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Maluku”.[4]
Karena dengan
cepatnya Islam tersebar diseluruh Indonesia, maka banyaklah didirikan
tempat-tempat ibadah seperti Mesjid, Langgar atau Surau, yang mana
tempat-tempat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi
juga sebagai tempat pendidikan yang sangat sederhana. “Modal pokok yang mereka
miliki hanya semangat menyiarkan agama dan semangat menuntut ilmu bagi yang
belum memilikinya”.[5]
Tempat-tempat
pendidikan Islam seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya system
pendidikan pondok pesantren dan pendidikan Islam yang formal yang berbentuk
madrasah atau sekolah atas dasar keagamaan. Usaha untuk menyelenggarakan
pendidikan Islam menurut rencana yang teratur sebenarnya telah dimulai sejak
tahun 1476 dengan berdirinya Bayangkara Islah di Bintara Demak yang ternyata
merupakan organisasi pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. “Dalam rencana
kerja dari Bayangkara Islah disebutkan bahwa supaya mudah dipahami dan diterima
oleh masyarakat maka didikan dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan
kebudayaan yang hidup dalam masyarakat itu asal tidak menyalahi hukum syara”.[6]
Untuk
merealisasikan rencana ini, maka pada suatu Sidang Dewan Walisongo dan Kerajaan
Demak, memutuskan bahwa semua cabang kebudayaan Nasional yakni filsafat hidup,
kesenian, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya sedapat mungkin diisi
dengan anasir-anasir pendidikan dan pengajaran agama Islam. “Kebijaksanaan
Wali-wali menyiarkan agama dan memasukan anasir-anasir pendidikan dan
pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan nasional Indonesia, sangatlah
memuaskan, sehingga agama Islam tersebar di seluruh kepulauan Indonesia”.[7]
2.
Pendidikan
Islam di Zaman Penjajahan
Kedatangan
bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah
untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang
dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan, mereka memperkenalkan system dan
metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu
kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus
mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaruan pendidikan itu
adalah Westernisasi dan Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani,
dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah Barat di Indonesia selama
± 3,5 abad. Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu Badan Khusus
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan Pendidikan Islam yang disebut
Pries Terraden. “Atas nasihat dari Badan inilah maka pada tahun 1905 pemerintah
mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran
(pengajian) harus minta izin terlebih dahulu. Pada tahun-tahun itu memang sudah
terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kemungkinan
kebangkitan pribumi”.[8]
Pada tahun
1925 pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan
pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan
organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh. Jika kita melihat
peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat mengenai pengawasan,
tekanan dan pemberantasan aktivitas Madrasah dan pondok pesantren di Indonesia,
maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan Islam akan menjadi
lumpuh. Akan tetapi yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang
sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau
air bah yang sulit dibendung.
3.
Pendidikan
Islam di Zaman Kemerdekaan
Pendidikan
agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada
bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan Agama sebagai pengganti pendidikan
budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di
masing-masing daerah. Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama
dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang
menetapkan bahwa Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat =
SD) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap
sehingga SKB (Surat Keputusan Bersama) Dua Menteri tersebut belum dapat
berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah diluar Jawa masih banyak yang
memberikan pendidikan Agama mulai dari kelas 1 SR.
Pemerintah
membentuk majelis pertimbangan pengajaran agama islam pada tahun 1947, yang di
pimpin oleh Kihajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit
dari Departemen Agama. Tugasnya untuk mengatur pelaksanaan dan materi
pengajaran agama yang diberikan sekolah umum. “Pada tahun 1950 kedaulatan
Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan Agama
untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya Panitia
bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr.Hadi
dari Departemen P dan K, untuk menyempurnakan kurikulumnya maka dibentuk
panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo.
Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952”.[9]
Berdasarkan
tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama
khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi
pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam siding-sidang MPR yang
menyusun GBHN pada tahun 1973 – 1978 dan 1983 yang menegaskan bahwa pendidikan
Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Negeri dalam semua
tingkat (Jenjang) pendidikan.
[1] http://id.shvoong.com/books/dictionary/2020367-sejarah-pertumbuhan-dan-pembaruan-pendidikan/. Diakses tanggal 18 Oktober 2010.
[2]
Bakar, U.A. dan Surohim, Fungsi Ganda
Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang Sisdiknas, Cet. I, (Yogyakarta:
Safiria Insani Pres, 2005), hal. 39.
[4]
Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta [Suatu
Pengantar], Cet. II, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 55.
[9]
Soeroyo, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya,
Volume I, (Yogyakarta: Fak. Tarbiyah IAIN Suka, 1991), hal. 45.