Sistem Pendidikan Islam Era Reformasi
A. Sistem
Pendidikan Islam Era Reformasi
Indonesia adalah sebuah negara multikultur dengan
berbagai diversitas di dalamnya. Budaya yang tumbuh dan berkembang tercirikan
dalam setiap aktivitas masyarakat dari dulu hingga sekarang. Namun budaya
Indonesia saat ini semakin samar-samar kehadirannya. Hal ini dikarenakan budaya
barat yang masuk ke Indonesia tanpa disaring terlebih dahulu yang kemudian
langsung diterima oleh masyarakat. Ya, penyebabnya adalah reformasi. Era
reformasi memberikan dampak yang kurang baik terhadap Indonesia khususnya pada
aspek pendidikan. Kualitas kebudayaan sebagai dasar pendidikan luntur dan
menjadikan kapitalisme sebagai ideologi pendidikan. Penampilan anak muda jaman
sekarang sama sekali tidak mencerminkan budaya Indonesia. Mencontek menjadi hal
yang lazim dilakukan oleh pelajar dan juga mahasiswa demi kepuasan sebuah
nilai. Sama halnya dengan pemerintahan di Indonesia. Pemerintah maupun wakil
rakyat sebagai panutan bagi masyarakat seharusnya bisa dicontoh oleh masyarakat
tetapi sebaliknya malah berbuat hal yang menyimpang dari jalurnya.
Era reformasi yang memaksa kita untuk tampil brilliant
ternyata membuat kita menjadi keteteran. Masyarakat tidak bisa berpikir jernih,
menuntut hak tapi lupa akan kewajiban, serta mengkritik tapi tanpa solusi.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan sumber daya manusia
dikalahkan oleh ideologi politik sehingga membuat kreativitas masyarakat dalam
pengembangan pendidikan menjadi tidak berkembang. Ketidakefektivan dalam proses
pendidikan adalah kata yang paling tepat dalam menggambarkan sistem pendidikan
di era reformasi ini. Beberapa faktor adalah karena masuknya teknologi ke dalam
budaya Indonesia yang berlangsung secara cepat tanpa bertahap membuat
masyarakat Indonesia kaget dan terkesan dipaksakan. Sehingga yang dihasilkan
adalah dampak negatif terhadap pemakaian teknologi bukan dampak positif yang
diperoleh. Institusi pendidikan melupakan tujuan utamanya yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa tetapi malah berorientasi kepada bisnis pendidikan dengan
biaya dan fasilitas yang serba mahal. Maka dari itu perlu dikaji ulang terhadap
pendidikan di era reformasi saat ini. Kita sebagai generasi muda penerus bangsa
jangan hanya diam saja tetapi harus bergerak karena siapa lagi yang bertanggung
jawab selain pemuda Indonesia penerus bangsa.
Program peningkatan mutu pendidikan yang ditargetkan oleh
pemerintah Orde Baru akan mulai berlangsung pada Pelita VII terpaksa gagal,
krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi
politik maupun ekonomi nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan
digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan”
meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari
rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan
multi partai.
“Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya
melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1994
serta melakukan perbaikan sistem pendidikan agar lebih demokratis.”[1] Tugas
jangka pendek Kabinet Reformasi yang paling pokok adalah bagaimana menjaga agar
tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi dan tidak banyak yang
mengalami putus sekolah.
Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang berkepanjangan,
beban pemerintah menjadi sangat berat. Sehingga terpaksa harus memangkas
program termasuk didalamnya program penyetaraan guru-guru dan mentolerir
terjadinya kemunduran penyelesaian program wajib belajar 9 tahun. Sekolah
sendiri mengalami masalah berat sehubungan dengan naiknya biaya operasional di
suatu pihak dan makin menurunnya jumlah masukan dari siswa. Pembangunan di
bidang pendidikan pun mengalami kemunduran.
Beberapa hal yang menyebabkan program pembangunan
pemerintah dalam sektor pendidikan belum terpenuhi secara maksimal sebagai
berikut:
Pertama, distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan sosial
kelas bawah. Kedua, kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang
bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum
mendapatkan pos yang strategis. Ketiga, munculnya sektor industri yang
membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikan Islam di
Indonesia pada masa pembangunan ini. Keempat, Perubahan-perubahan sosial
yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam
dialektik pembangunan sebagaimana tersebut di atas[2].
Semua hal diatas adalah faktor penyebab dari tidak
terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam menjalankan pembangunan dalam
sektor pendidikan agama khususnya bagi Islam. Semua itu sangat memprihatinkan
apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya retrospeksi atas kegagalan
tersebut. Yang harus disadari adalah lembaga pendidikan Islam adalah lembaga
pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembangunan
di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada
sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak
melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa:
Betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia hanya
dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. sebagai lembaga
pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap
proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus
pendidikan Islam bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam
arti yang seluas-luasnya. Dari titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara
kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara
penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk
manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.[3]
“Selama ini banyak dijumpai pesantren-pesantren yang
tersebar dipelosok tanah air, terlalu kuat mempertahankan model tradisi yang
dirasakan klasik, sebagai awal dari system pendidikan itu sendiri.”[4] Tapi,
pada saat ini sudah banyak pesantren dan madrasah yang modern dengan mengacu
kepada tujuan muslim dan memperhatikan tujuan makro dan mikro pendidikan
nasional Indonesia, maka pendidikan pesantren akan memadukan produk santri
untuk memiliki outputnya (lulusan) agar memiliki 3 tipe lulusan yang terdiri
dari:
Pertama, religius skillfull people yaitu insan muslim yang akan menjadi
tenaga-tenaga terampil, ikhlas, cerdas, mandiri, iman yang tangguh sehingga
religius dalam tingkah dan prilaku, yang akan mengisi kehidupan tenaga kerja
didalam berbagai sector pembangunan. Kedua, religius community
leader, yaitu insane Indonesia yang ikhlas, cerdas dan mandiri akan menjadi
penggerak yang dinamis dalam transformasi sosial dan budaya dan mampu melakukan
pengendalian sosial (sosial control). Ketiga, Religius
intelektual, yaitu mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisa
ilmiah dan concern terhadap masalah-masalah ilmiah[5].
Pada masa ini pendidikan Islam sudah memiliki jenjang
yang baku seperti Madrasah Ibtidaiyyah untuk tingkatan dasar. Madrasah
Tsanawiyyah untuk tingkatan menengah pertama dan Madrsah Aliyah untuk tingkatan
menengah atas. Tujuan Pendidikan Agama Islam berdasarkan jenjang pendidikan, di
antaranya yaitu:
1.
Tujuan untuk jenjang pendidikan MI /SD dan MTS / SLTP
meliputi:
a. Tumbuhnya keimanan dan ketaqwaan dengan mulai
belajar Al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah secara verbalistik dalam rangka
pembiasaan dan upaya penerapannya.
b. Tumbuhnya sikap beretika melalui keteladanan
dan penanaman motifasi.
c. Tumbuhnya penalaran (mau belajar, ingin tahu
senang membaca, memiliki inofasi, dan berinisiatif dan bertanggungjawab)
d. Tumbuhnya kemampuan berkomunikasi sosial.
e. Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan.
2.
Tujuan pendidikan pada jenjang MA/SLTA meliputi:
a. Tumbuhnya keimanaan dan ketaqwaan dengan
memiliki kemampuan baca tulis Al-qur’an dan praktek-praktek ibadah dengan
kesadaran dan keikhasan sendiri.
b. Memiliki etika.
c. Memiliki penalaran yang baik.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi sosial.
e. Dapat mengurus dirinya sendiri.
“Tujuan Pendidikan Tingkat Tinggi didalam penguasaan ilmu
pendidikan dan kehidupan praktek ibadahnya bukan hanya untuk dirinya sendiri
tetapi telah memiliki kemampuan untuk menyebarkan kepada masyarakat dan menjadi
teladan bagi mereka”[6].
Dalam Islam, tujuan pendidikan yang dikembangkannya
adalah mendidik budi pekerti, oleh karenanya pendidikan budi pekerti dan akhlak
merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna
adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan Islam tersebut.
Pemahaman ini bukan berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan
pendidikan jasmani, akal dan ilmu pengetahuan (science). Namun,
pendidikan Islam memperhatikan segi-segi lainnya. Untuk itu, sebagaimana Suwendi
menyatakan bahwa:, “umat Islam harus mampu menciptakan sistem pendidikan yang
didasari atas keimanan kepada Allah, karena hanya imanlah yang benar yang
menjadi dasar pendidikan yang benar dan membimbing umat kepada usaha mendalami
hakikat menuntut ilmu yang benar”[7].
Keadaan pendidikan islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan
pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan
islam era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai
bagian dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui
penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.Jika pada Undang-Undang No 2
Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan
nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren,
ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk
dalam system pendidikan nasional.[8]
Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan
Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi
dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi
dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan
peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan
Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan
Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga
tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah
Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan.
Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan islam
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya
termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa
bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana
prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga
pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan
Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan
saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan
dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan Islam.
Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak
Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib
belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang
belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria
Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen
pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini,
pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI
harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf
nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung
di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg
bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik
Negeri maupun Swasta, baik umum maupun Guru agama, baik Guru yang berada di
bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah
Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu
tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah
sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen,
-juga mengalokasikan anggaran biayanya
sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka
kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun
2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui
kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran
(subject matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995,[9]
melainkan juga dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan
tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data,
mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para
peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan
mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik
yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era
globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya
terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga
berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan
research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam
kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar,
pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar
ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara
menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan juga sebagai subjek pendidikan yang berhak
mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.[10]
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian
pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for
all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang
diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut
harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen
pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh
sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan
dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan
ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :
“Pertama, standar isi (kurikulum). Kedua, standar mutu
pendidikan. Ketiga, standar proses pendidikan. Keempat, standar pendidik dan
tenaga kependidikan. Kelima, standar pengelolaan. Keenam, standar
pembiayaan. Ketujuh, standar penilaian”[11].
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi
sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah
menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan
Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada
sekolah umu seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka
tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama
masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah
tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh
seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai
inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan telah
banyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk
menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah
menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya
dengan baik. Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan
proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga
dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran bagi kalangan
para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang dilaksanakan.
[5] Ibid., hal. 45.
[7]
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Gravindo Persada, 2004), hal. 171.