Syarat Berpegang Kepada Hadist Ahad
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar Belakang
Masalah
Menurut jumlah transmiter (penyampainya), hadis secara
global dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: hadis mutawatir dan
Ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada
semua tabaqat (tingkatan) sanad yang menurut kebiasaan mereka mustahil
bersepakat untuk berdusta dalam meriwayatkannya. Hadis dalam kategori mutawatir
baik secara lafdzi (redaksional) maupun maknawi (substansial) ataupun mutawatir
‘amaly (perilaku aktual yang diwariskan kaum muslimin dari Nabi SAW dan menjadi
ijma’ sahabat).[1]
Adapun
hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Hal ini dilihat
dari kuantitas perawi yang jumlahnya tidak mencapai standar jumlah perawi yang
hadis mutawatir.[2]
Pembedaan hadis antara yang ahad dan mutawatir belum
muncul pada masa Rasulullah dan para sahabat. Para sahabat menerima hadis dari seseorang yang
meriwayatkan kepada mereka setelah jelas status dan kredibilitas penyampainya.[3]
Pembedaan tersebut muncul pada masa tabi’in dan
sesudahnya. Menurut Ibnu Hazm, seluruh umat Islam menerima hadis dari satu
orang yang terpercaya hingga datangnya para ahli ilmu kalam Mu'tazilah yang
mengambil sikap berbeda.[4]
Di luar studi hadis, munculnya diskursus kategorisasi
hadis menjadi mutawatir dan ahad, minimal dipengaruhi dua hal; pertama, masalah
aqidah yaitu pengaruh perdebatan ulama tentang beberapa masalah dalam ilmu
kalam dan pemikiran filsafat. Dalam perspektif beberapa ahli hadis kategorisasi
demikian diperlukan untuk menghindari pengkafiran dari kelompok yang ghuluw
(ekstrim) terhadap orang yang masih ragu dalam menerima argumentasi dengan
hadis ahad dalam masalah akidah.[5]
Kedua, masalah fikih dan ushulnya yaitu perdebatan
tentang otoritas hadis ahad yang sebagai zhaniyah tsubut dalam me-naskh hukum
yang tersebut dalam ayat Alquran yang statusnya qath’iyuts tsubut.
Berikutnya, penetapan suatu hadis termasuk hadis ahad
ataukah mutawatir juga menjadi ajang perdebatan yang cukup tajam. Hal ini
disebabkan minimal tiga faktor. Pertama, tidak adanya patokan jumlah perawi
yang disepakati sebagai angka minimal suatu hadis disebut mutawatir. Penetapan
mengenai batasan jumlah tertentu perawi yang menjadi syarat atau standar
mutawatir memang cukup riskan sehingga menjadi ajang ikhtilaf di antara para
ulama.
Hal ini pula yang mempengaruhi penghitungan berapa
sebenarnya jumlah hadis Nabi yang mutawatir. Sebagian ulama ada yang memberikan
ketentuan kuantitas perawi untuk mencapai derajat mutawatir yaitu harus
berjumlah 4 orang, 12 orang, 40 orang, 70 orang atau 313 orang dan lain-lain
dalam tiap tabaqahnya. Bahkan mereka cenderung mencari-cari dasar ketentuan
jumlah tersebut dari ayat-ayat Al-quran.
BAB
II
P
E M B A H A S A N
A.
Pengertian Hadist Ahad
Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa al-wahid atau
satu. Dengan demikian khabar wahid adalah berita yang disampaikan oleh satu
orang.
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara
singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis
selain hadis mutawatir atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga
sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni
dan tidak samapi kepada qat’i dan yaqin.[6]
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah
hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi
jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang
telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib, sedangkan golongan Qadariah,
Rafidhah dan sebagain ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis
ahad hukumnya tidak wajib.[7]
Menurut Al-Ma’udi,Hafidz dalam bukunya Ilmu Musthalahah
Hadist, yang dimaksud dengan hadist Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir[8].
Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhanniy".
B.
Pembagian Hadist Ahad
Pembagian hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya
di bagi kepada tiga tingkatan yaitu :
1. Hadits Masyhur
Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau
lebih,serta belum mencapai derajat Mutawatir.[9]
Hadis ini
dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ulama
Hanafiah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat
kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir.[10]
Adapun Contoh hadist masyhur adalah sebagai
berikut:Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits
ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu
Umar,
قال رسول الله صلى الله
عليه وآل وسلم: بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد ا رسول
الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان
Artinya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa
tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad
itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan
(dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).( HR. Muslim )
2.
Hadits ‘Azis
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walupun dua
orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang
pada meriwayatkannya.[11]
Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat
dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia
atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu
jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist ‘aziz
adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada
satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.[12]
Adapun contohnya adalah :
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين
Artinya: Tidak sempurna iman salah
seorang diantara kamu sampai ia lebih mencintai Rasulnya dari orang tuanya dan
seluruh manusia
(HR. Muslim )
3.
Hadits gharib
Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.[13]
Ada juga yang menyatakan bahwa hadis gharib adalah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya
tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa
berkaitan dengan personalianya, yakni tidak ada orang yang meriwayatkannya
selain perawi itu sendiri, yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda
dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu.[14]
Adapun contohnya adalah sebagai berikut:
عَنْ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar
bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
niatnya). Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan
apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnyakarena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena
wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang
dia niatkan. ( HR. Bukhari Muslim )
1. Dari Segi Kualitas Sanad Dan Matannya
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu
hadits sahih, hadits hasan, dan hadis dhaif. Pada umumnya para ulama tidak
mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan
pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
a.
Hadits Sahih
Hadits Sahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan)
oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
berillat dan tidak janggal.
Contohnya sabda Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam,
من يرد
اللّه به خيرا يفقهه في الدين
Artinya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan
maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)
2.
Hadis Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang
yang yang adil yang kurang sedikit kedhabitannya, bersambung-sambung sanadnya
sampai kepada Nabi SAW. dan tidak mempunyai ‘Illat serta syadz.
Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم
Artinya; “Sholat
itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”(
HR. Abu Daud )
3.
Hadis Dhaif
Hadis dhaif adalah hadis yang tidak menghimpun
sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan
C.
Syarat Berpegang Kepada Hadist Ahad
Dalam masalah hadis, Imam Syafi’i
juga sama seperti halnya imam Abu Hanifah, beliau juga dikenal dengan nashir
al-sunnah tsani. Apabila Abu Hanifah menyelamatkan sunnah dari kaum mu’tazilah
yang dikenal dengan nashir al-Sunnah awwal, imam Syafi’i mempertahankan eksistensi
sunnah dari kelompok yang mencoba mengingkari keberadaan hadis {munkir
al-Sunnah}
Pada masa imam Syafi’i, muncul
beberapa kelompok pengingkar sunnah, ada kelompok yang hanya mengakui
eksistensi al-Qur’an dan menolak keseluruhan hadis. Ada pula yang hanya
mengakui hadis mutawatir saja, dan tidak mengakui kehujjahan hadis ahad dan
kelompok yang menolak hadis yang tidak jelas landasannya dalam al-Qur’an. Menghadapi ketiga kelompok ini, imam
Syafi’i memberikan penjelasan bahwa hadis Rasul tidak dapat ditinggalkan,
karena banyak masalah ibadah yang tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan
sunnah. Meskipun ada kegiatan pemalsuan hadis, bukan berarti semua hadis tidak
dapat digunakan, karena tidak semua hadis itu palsu.
Imam Syafi’i menerima hadis ahad sebagai
dalil dalam mengistinbatkan hukum. Ada beberapa persyaratan untuk menerima
hadis ahad, yaitu :
- Periwayatnya tsiqah dalam agamanya,
diketahui benar dalam hadisnya, dan semua periwayatnya tsiqah dari awal
hingga akhir.
- Periwayat sudah balig ketika ia menyampaikan
hadis, dan mengerti makna hadis jika ia meriwayatkan secara makna, kalau
ia tidak memahaminya, ia harus meriwayatkan secara lafal yang berasal dari
Nabi.
- Periwayatnya hafal hadis yang
berdasarkan kepada hafalan dan menjaga kitabnya jika ia meriwayatkannya
secara kitabah.
- Periwayatannya tidak berbeda dengan
riwayat orang tsiqat.
- Periwayatnya tidak mudallis, seperti ia
meriwayatkan sesuatu yang tidak didengarnya dari orang yang ditemuinya.
Riwayatnya diterima apabila ia menggunakan haddatsani atau sami’tu.[15]
Tampaknya
imam Syafi’i menggunakan kritik sanad (ekstern) dan kritik matan (intern) untuk
menilai suatu hadis. Kritik sanad terlihat dari kriteria yang terdapat pada
huruf a,b,c, dan e dan kritik matan terlihat dari kriteria yang terdapat pada
huruf d.
Dengan
terpenuhinya persyaratan di atas, yaitu syarat yang berkaitan dengan sanad dan
matan hadis, tidak ada alasan untuk tidak mengamalkan hadis ahad. Nampaknya ,
persyaratan hadis ahad yang diterima adalah hadis yang shahih, karenanya, Syafi’i
tidak menerima hadis mursal, kecuali mursal Sa’id bin Musayyab.
D. Hukum Hadis Ahad
Ada
golongan yang berkeyakinan --dan keyakinannya itu salah-- bahwa hadits Ahad
bukanlah hujjah/argumen dalam hal aqidah. Karena, menurut mereka, hadits Ahad
itu bukan qath’iyus tsubut (pasti ketetapannya), maka mereka anggap tidak
memberi (apa-apa) terhadap ilmul yaqin/pengertian yang ketetapannya pasti.
Hadits
Ahad adalah hadits yang periwayatnya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga
tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits
ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamakan
hadits gharib. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut
hadits ‘aziz. Sedang hadits ahad yang diriwayatkan jama’ah (banyak orang) namun
tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits masyhur.
Jadi
hadits Ahad itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir. Hadits
Ahad, menurut muhadditsin (para ahli hadits) dan jumhur (mayoritas) ulama
muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya
hadits itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Hadits Ahad yufiidul ‘ilmal
yaqiin (memberikan ilmul yaqin/pengertian yang ketetapannya pasti) menurut
jumhur (mayoritas) umat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dari awal sampai
akhir. Adapun ulama salaf (terdahulu, generasi sahabat Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam, tabi’in, dan tabi’it tabi’in/tiga generasi awal Islam), maka tidak
ada percekcokan di antara mereka dalam hal itu.[16]
Adapun
ulama khalaf (belakangan), maka (bahwa hadits Ahad memberikan ilmul yaqin) ini
adalah madzhab para fuqaha’ (ulama fiqh) yang besar, yaitu para imam empat
(madzhab) dan sahabat-sahabatnya. Masalah itu
dikutip/dinukil dalam kitab-kitab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
BAB
III
P
E N U T U P
Berdasarkan
uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab
terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan
beberapa saran.
A. Kesimpulan
1. Al-Ahad jama’ dari ahad,
menurut bahasa al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah berita
yang disampaikan oleh satu orang.
2. Menghadapi ketiga
kelompok ini, imam Syafi’i memberikan penjelasan bahwa hadis Rasul tidak dapat
ditinggalkan, karena banyak masalah ibadah yang tidak dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan sunnah. Meskipun ada kegiatan pemalsuan hadis, bukan berarti semua
hadis tidak dapat digunakan, karena tidak semua hadis itu palsu.
3. Jadi hadits Ahad itu
hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir. Hadits Ahad, menurut
muhadditsin (para ahli hadits) dan jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib
diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu.
B. Saran - Saran
1. Disarankan kepada umat
islam untuk dapat mengamalkan islam sesuai dengan petunjuk Al – qur’an dan as –
Sunnah.
2. Disarankan kepada para
mahasiswa/I untuk dapat meningkatkan pembelajaran tentang kajian Al – Qur’an
dan As – Sunnah.
3. Disarankan kepada umat
islam untuk berpegang tuguh kepada Al – Qur’an dan as – Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,Fatchur,Ikhtisar Musthalahul Hadits.
Bandung: PT Al-ma’arif, 1974
Al-Ma’udi,Hafidz
Hasan. Ilmu Musthalahah Hadits.Surabaya:Al-Hidayah,1999.
Anwar,Muhammad..Ilmu
Mushtalah Hadits.Surabaya:Al-Iklas,1981
Al-khatib,Muhammad
‘Ajaj..Ushulul Al-Hadits.Jakarta:Gaya Media Pratama,1997
Shiddiqie.
M. Hasbi., ”Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits", Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 1999
Ahmad
Muhammad. H., "Ulumul Hadis", Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Soetari Endang. H.
2005, "Ilmu Hadis", Yogyakarta: Qalam.
[1] Moh. Anwar, Ilmu Musthalahah Hadits, (Surabaya:AL-IKLAS,
1981) hal:119-128
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadit.( Bandung:PT
Alma’arif, 1974) hal:69
[3] Al-Ma’udi,Hafidz Hasan,Ilmu Musthalahah Hadits.(Surabaya:Al-Hidayah,1999),
hal 29
[4] Al-khatib,Muhammad ‘Ajaj.Ushulul Al-Hadits.(Jakarta:Gaya
Media Pratama, 1997),hal. 29
[5] Moh. Anwar,………………….IMH. hal:18
[6] Suparta, Munzier, Ilmu Hadis ( Jakarata: PT Raja Grafindo
Persada,2002 ), hal.107
[7] Suparta, Munzier,……………………IH, hal: 109
[8] Rahman,Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits.( Bandung:PT
Alma’arif, 1974 ), hal. 20
[10] Suparta, Munzier,……………………IH, hal: 111
[11] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadit.( Bandung:PT
Alma’arif, 1974) hlm:69
[13] Moh. Anwar, Ilmu Musthalahah Hadits, (Surabaya:Al-Iklas,
1981) hlm:119
[14] Suparta, Munzier,……………………IH, hal:119